Apa yang terpampang di sosial media, itu selalu benar. Betul, kan?
Nala menaruh kedua tangannya di pipi Lisbeth dan menarik wajah Lisbeth ke arahnya. “Lisbeth, Fokus!”
Lisbeth tersenyum lemah. Sekarang, kerjaannya hanya luntang-lantung.
Nala memberinya saran untuk mencoba membuat ready to wear fashion. “Bikin foto, pasang di IG. Komunikasi semua lewat teks. Lebih mudah.” Nala meyakinkannya.
Rencana Nala menarik. Namun, ketika Lisbeth mencoba menggambar sesuatu di kertas kosong, hanya ada butiran-butiran air mata. Tangannya tak bisa bergerak. Benaknya yang biasanya penuh dengan aneka warna dan bentuk, menjadi hanya ada satu warna, hitam. Kini, ia lebih banyak diam, terkadang ia mengurung diri di kamar, memeluk Bibi seraya menatap langit-langit kamar selama berjam-jam.
Nala membawa Lisbeth ke Sentul, memberi Lisbeth segudang tugas. Namun, ia mengerjakan semuanya seperti robot. Jiwanya ada di tempat lain. Dari Danar, Lisbeth mendengar bahwa Bryan pergi ke Taiwan. Tak ada satu pun pesan yang masuk dari Bryan.
Lisbeth lalu berubah menjadi stalker. Ia akan membuka akun Instagram Bryan setiap memegang ponsel. Awalnya, tidak ada update apa pun. Lalu muncul satu foto koper di airport. Taiwan, here I come. Tiap hari, foto yang muncul makin banyak. Dari foto kamar tempat ia tinggal, hingga … new friends. Bryan berfoto dengan orang-orang lain. Gadis-gadis lain di tempat karaoke, makan BBQ di pinggir jalan, atau hiking. Di setiap foto, Bryan tersenyum lebar dan cerah. Ia tak tampak seperti pemuda yang baru ditolak cinta.
Bryan bahagia sedangkan ia merana.
Benarkah … cowok dengar seperti itu. Hidup Bryan lebih sempurna tanpa dirinya.
Pintu gedung sekolah terbuka, Anissa dan Dimas masuk bersamaan dengan nanny yang menggendong Kayleen. Sudah beberapa minggu, Dimas rutin datang kemari sejak Bryan …. Lisbeth menggelengkan kepala mencoba menghilangkan bayangan Bryan di sana. Ia buru-buru bangkit dan menghampiri mereka. Anissa seperti biasa membawa banyak barang untuk anak-anak. Sekali waktu, ia membawa sepuluh kotak besar Häagen-Dazs. Beberapa anak sampai menangis karena baru kali itu mereka makan es krim. Kadang dua koper penuh buku. Kehadiran mereka selalu ditunggu anak-anak.
“Lisbeth, apa kabar?” tanya Anissa.
“Baik,” jawab Lisbeth sambil tersenyum kecil. Senyumnya terlalu kecil. Terlalu lemah.
Jantung Lisbeth tiba-tiba seolah-olah berhenti ketika menyaksikan sebuah mobil yang sangat ia kenal masuk kompleks. Seorang pria cepak gagah keluar dari sana. Jimmy. Ada gadis lain yang juga turun. Gadis itu berambut pendek dan mengenakan kaus ketat berwarna hitam.
Punggung Lisbeth seakan-akan membeku. Ia melihat Jimmy dan gadis itu berjalan bergandengan. Ketika mereka sudah dekat, Lisbeth mendapati ada kilau di jari manis mereka berdua. Cincin emas putih di tangan kiri mereka.
Jimmy tersenyum dan melambai kepada Bu Euis. Setelah memberi salam, Jimmy memperkenalkan gadis di sebelahnya.
“Ibu Euis … ini Sinta … calon Jimmy,” kata Jimmy.
Ibu Euis tersenyum keibuan. “Halo, Sinta.” Sinta memberi salam kepada Bu Euis.
Jimmy tersenyum kepada Lisbeth. Lisbeth hanya diam.
“Sinta … anak Tuli juga … dari Bandung. Dia MUA … hasil makeup bagus sekali,” puji Jimmy. “Sinta pandai membuat orang jadi cantik.”
“Ooo pintar, ya,” komentar Bu Euis.
“Kami … rencana menikah tiga bulan lagi. Bu Euis dan teman-teman datang, ya,” ungkap Jimmy malu-malu.
Lisbeth langsung bangkit dan masuk rumah. Jimmy menikah? Sembilu itu menghunjam berkali-kali menghancurkan sisa hati Lisbeth.
Dua pria pernah mengatakan mereka mencintainya. Dua pria yang justru hidup lebih bahagia tanpa dirinya. You’re not that special, Lisbeth. No man really loves you.
***
Taipei
“Brand story ….” Bryan bergumam sambil mengetik di laptopnya. Awal ia terjun ke bisnis waralaba Bubbly Tea semata-mata karena hanya ini yang tersedia. Namun, setelah dua bulan di Taiwan, bertemu dengan para pengusahayang sengaja diundang oleh induk perusahaannya mengubah pandangan Bryan.
“A sprinkle of sweetness in real life,” gumam Bryan. Because life is already hard enough.
“When life gives you a lemon, drink it with our bubble tea.” Ia mengetik lagi.
Bryan tercenung. Hidupnya jauh dari kata manis. But who knows, perhaps because everything was bitter, he could appreciate the small things that were sweet.
Bryan mengingat wajah para remaja yang meminum bubble tea-nya. Apa yang mereka cari di sana? Mungkin oasis di tengah pekerjaan sekolah, mungkin hal manis ketika percintaan mereka kandas, mungkin pelarian dari tuntutan keluarga.
Mungkin hidupnya akan selamanya pahit, mungkin dirinya memang pecundang, tetapi jika ada ia bisa menjual sesuatu can give a spark of joy, maybe just maybe his life wouldn’t go in vain.
Hal lain yang membuatnya sadar, bisnis F&B lebih cocok dengan dirinya daripada ekspor impor. Mungkin selamanya Benny akan mengejeknya, but who cares. Ia tak mau jadi Benny kedua.
Lalu … Lisbeth. Matanya mengarah ke satu tas kain superbesar berisi aneka kain, aksesori, dan pita. Barang-barang yang ketika ia melihatnya, ia berpikir, “Lisbeth pasti suka ini.”
Ia teringat Lisbeth pernah mengatakan ia suka katun-katun Taiwan yang motifnya lucu-lucu. Setiap ia menemukan kain yang bagus, ia pasti membelinya. Bryan tidak tahu bagaimana memberikannya kepada Lisbeth. Ia berusaha mengusir gundahnya dengan memuat aneka foto di sosial medianya, membuat dirinya tampak bahagia walaupun ia terus memikirkan Lisbeth hampir di setiap detiknya.
“Yo, Bro! Besok sampe jam berapa?” Terdengar suara Dimas ketika Bryan mengangkat teleponnya.
“Sekitar jam duaan.”
“Sip. Senin lo ngantor, kan?”
“Iya, dong. Makanya gue Kamis udah pulang. Siap-siap Senin udah ngantor lagi.”
“Jumat ini datang ke Sentul. Lo udah ditanyain sama Bowo, Ahmad, sama Zaki tuh. Ampun, tiap gue datang yang ditanya pasti, ‘Kak Bryan kapan pulang?’” keluh Dimas.
Bryan hanya tertawa.
Suara Dimas tiba-tiba berubah serius, “Eh, tapi … lo jangan kaget, ya.”
“Kaget kenapa?”
“Yah, jangan kaget aja,” pesan Dimas misterius. “Entar Jumat juga lo tahu, kok.”
***