“Sudah jelas semua? Ayu yang gantiin saya sementara saya tidak ada.” Bryan memberikan briefing kepada para barista sebelum ia berangkat. Ayu yang biasa riang kini menatap lantai. Danar mematung Rusdi yang suka menimpali, hari ini seperti robot.
“Come on, saya cuma pergi dua bulan. Pak Dimas juga bakal datang seminggu dua kali.” Bryan melempar senyum ke arah Dimas yang ikut hadir. “Briefing selesai. Kerja kerja yo.”
Dimas menghampiri Bryan dan melingkarkan tangan di bahunya. “Enjoy, Bro! Street food Taiwan enak-enak!”
“Ogah, entar gue jadi gendut kayak lo.”
“Eh ngeledek … Ini perut hoki, tahu! Laki kalo dah married, bahagia, jadi perut laoban, perut bos.” Dimas menepuk perutnya sambil menyeringai. “Makanya married.”
“Tar gue cari cewek Taiwan,” jawab Bryan asal-asalan. Muka Dimas langsung berubah. “Lisbeth?” Sekonyong-konyong Dimas menepuk jidatnya. “Ah, dodol mestinya gue tahu. Kenapa lo tiba-tiba mau pergi. Gimana ceritanya, Bro?”
“Sok tahu,” gerutu Bryan. “Gue balik dulu mau beres-beres.”
“Bro …,” panggil Dimas. Bryan tidak mengacuhkan Dimas. Ia berjalan keluar lalu masuk mobilnya. Sejak hari itu, tidak ada kontak di antara Lisbeth dan Bryan. Lisbeth seolah-olah hilang ditelan bumi dan Bryan berusaha setengah mati tidak menghubungi Lisbeth.
Perjalanan pulang menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi Bryan. Mobilnya selalu melintasi ruko butik Lisbeth. Beberapa meter sebelum melintasi ruko, jantungnya selalu berdegup lebih cepat. He knows the route too well to ignore it. Biasanya, Bryan selalu pulang agak larut, berharap lampu butik Lisbeth sudah dimatikan. Jadi, ia tidak punya alasan menghentikan mobilnya untuk bertemu Lisbeth. Jika lampunya masih terang, ia ingin masuk dan mengantar Lisbeth pulang. Jantungnya seperti diremas oleh rasa rindu, sementara ia tidak dapat menemui gadis itu. Jarak mereka begitu dekat, tetapi juga begitu jauh.
Bryan tidak pernah ke Sentul lagi. Ia menghubungi Bu Euis dan berkata, sementara ia ada banyak pekerjaan, toh sekarang sudah mulai banyak sukarelawan yang lain.
Beberapa malam lalu, lampu di lantai satu dan tiga sudah mati. Namun, Bryan menangkap ada cahaya lemah dari lantai dua. Lisbethkah itu? Mobil Lisbeth tidak tampak di lapangan parkir, hanya ada sebuah mobil pikap. Pikiran dan pertanyaan berlari melintasi benaknya. Bagaimana kalau ia menghentikan mobilnya, lalu berpura-pura mengetuk pintu?
Bayangan Lisbeth siang itu memupuskan keinginannya. “Bryan … jangan memaksa.”
Ia benci dipaksa. Ia lelah dipaksa. Hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah dilihat sebagai orang yang memaksa. Bryan memalingkan kepala. Sudahlah … It’s over.
***
Lisbeth memeriksa ruangan yang kosong. Semuanya sudah bersih. Gaun-gaun sudah diangkut minggu lalu. Benang-benang, pita, bahan-bahan, payet, mesin jahit, dan mesin bordir sudah dipindahkan kembali ke rumahnya. Semua sudah beres. Napasnya berat. Matanya berair.
Beberapa minggu lalu, ruangan itu masih penuh dengan kain cantik dan renda. Tempat ini pernah penuh dengan model yang mengenakan gaun rancangannya. Sekarang, ruangan itu kosong.
Lisbeth akan menutup butiknya. Persaingan lebih ketat daripada yang ia sangka. Ia pikir, ia bisa bertahan dengan gaun-gaun bagus dan harga murah. Ternyata tidak. Banyak klien mengeluh sulit berkomunikasi dengan dirinya. Ia mencoba mencari staf untuk membantunya, tetapi sulit. Karena jangankan menjadi penerjemah, kadang stafnya pun tidak mengerti maksud Lisbeth. Menerangkan dengan tulisan terlalu lama. Banyak klien tidak sabar. Satu per satu beralih ke butik lain. Untuk apa bertahan dengan desainer Tuli ketika ada banyak desainer lain yang lebih murah, lebih bagus, lebih kreatif? She’s just one among many.
Ternyata dirinya tak seistimewa yang ia kira.
Pengeluaran terus berjalan, sedangkan pemasukan tak menentu. Lisbeth salah langkah. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menutup butik.
Lisbeth menatap ruangan kosong yang sekosong hatinya. Matanya yang tadi hanya basah kini tak lagi bisa membendung air mata. Ia buru-buru menghapusnya, tetapi membiarkannya terus mengalir ketika menyadari tidak ada siapa-siapa di sini. Ia tidak perlu pura-pura kuat. Tidak perlu pura-pura optimis. Lisbeth bersandar di tembok. Untuk kali pertama, ia membiarkan air matanya jatuh.
Lisbeth meratapi mimpinya yang kandas. Ia tadinya berharap bisa memotivasi anak-anak Tuli lain. Memberi harapan, bahwa sukses di dunia nyata itu mungkin. Bahwa mereka juga bisa. Bahwa mereka tidak kalah bersaing. Itulah sebabnya ia menolak bantuan dari Papi.
“Papi … tidak semua anak Tuli punya Papi. Terus ada yang membantu. Memberi modal. Aku tidak mau, anak Tuli berpikir, oh, Lisbeth bisa karena Papi kaya. Lisbeth mau mencoba sendiri.”
Ia ingat senyuman bangga papinya. Dan senyum itu tetap sama, bahkan ketika ia berkata, “Papi … uang Lisbeth hampir habis. Maaf. Butik harus tutup. Aku salah. Semestinya tidak perlu menyewa butik mahal. Semestinya aku dengar kata-kata Papi. Maaf, Lisbeth gagal,” ujar Lisbeth terbata-bata.
“Tak apa, Lisbeth … anggap itu uang belajar Lisbeth. Seterusnya Lisbeth pasti lebih baik. Dalam bisnis, gagal itu biasa. Sukses baru luar biasa. Shi bai shi cheng gong zhi mu. Kegagalan itu induk dari keberhasilan,” kata Wim tenang.
Ia tahu papinya tidak marah. Hanya itu yang membuat Lisbeth bersyukur. Ia sedih karena mengecewakan mereka. Menghabiskan uang pula. Dan bayangan bahwa dirinya itu beban, kembali membayangi.
Air mata Lisbeth mengalir makin tak terkendali. Ia teringat review yang diberikan seorang kliennya yang mempertegas keputusannya.
Tadinya saya pesan baju di situ karena kasihan. Desainernya cacat. Tuli. Eh, ternyata hasilnya biasa aja. Mana sempet ada salah. Customer service-nya jelek. Nyesel banget, niatnya mau bantu, malah kecewa. Beware!
Kasihan … itukah alasan orang-orang memesan bajunya selama ini? Bukan karena Lisbeth bagus, tetapi karena kasihan.
Lisbeth memerosot ke lantai. Dan menangis tanpa terkendali. Ia merasa ingin menghilang ditelan bumi. Namun, ketika ia membuka mata, ia tetap di sana. Di dalam ruang kosong yang sama.
Kadang ia berharap sosok itu tiba-tiba datang. Membuka pintu. Membawa green tea matcha, atau pumpkin spice latte. Namun, tidak. Sejak hari itu, Bryan tidak pernah datang lagi. Ketika ia harus lembur, terkadang Lisbeth berharap tiba-tiba ada pesan masuk, atau seperti hari itu ketika Bryan datang malam-malam. Namun, tidak. Itu semua tidak terjadi.
Kondisi Lisbeth sekarang lebih buruk daripada ketika Jimmy memutuskan hubungan. Berkali-kali, ia berpikir bagaimana jika ia menerima Bryan? Namun, ia takut. Ia takut menjadi Nala kedua. Ia takut terlalu mencintai hingga terluka lagi. Bryan pasti tak sulit mencari pacar baru. Ia tak ingin orang menganggap Bryan bodoh.
Tak ada gunanya ia menangis di sini. Lisbeth bangkit, membawa kotak besar terakhir lalu mematikan lampu. Lisbeth bangkrut.
***
[1] jué zhī mén wài: ditolak di luar pintu.