Pada batas mana ketika kau memutuskan untuk menyerah? Bryan merasa telah melewati garis itu. Reaksi Lisbeth yang dingin kemarin malam membuatnya sudah mempersiapkan yang terburuk. Tak habis-habisnya ia mentertawakan dirinya.
You’re a loser, Bryan.
Clara memilih untuk ke Beijing daripada bersama dengannya. Lisbeth yang ia pikir juga punya perasaan, juga tidak mengacuhkannya. Sejak Bryan mengungkapkan perasaannya, Lisbeth tidak membalas satu pun pesan Bryan. Langkah Bryan berat dan pelan. Ia berhenti di pintu butik dengan ragu. Haruskah ia pergi saja?
Man up, Bryan. Be a gentleman.
Suara bel berdenting ketika Bryan mendorong pintu kaca. Ia langsung ke lantai dua tanpa menyapa Tini yang berdiri di belakang meja resepsionis. Entah sudah berapa kali ia menaiki tangga ini dalam setahun terakhir. Apakah ini yang terakhir? Lisbeth sedang bersandar di tembok entah menatap apa. Jika Bryan fotografer, ia mungkin ingin mengabadikan adegan ini. Lisbeth dengan rambutnya yang terurai hitam kontras dengan warna dinding yang putih. Matanya yang besar tampak menyembunyikan rahasia. Ia mulai menyesal sudah menembak Lisbeth. Mungkin, jika ia lebih hati-hati, lebih sabar, mungkin kesempatannya lebih besar. Lisbeth tampaknya tidak sadar ada Bryan di ujung tangga. Ia memutuskan untuk tidak memanggil Lisbeth. Entah apa yang ada di benak Lisbeth hingga ia bisa berdiri begitu lama seperti maneken porselen.
“Oh, Hai, Bryan.” Lisbeth baru tersadar.
Hai cantik. “Hai, Lisbeth.” Bryan meletakkan minuman yang sebagian esnya sudah mencair di meja Lisbeth. Mereka berdua berdiri kaku seperti maneken kesembilan dan kesepuluh.
“Hmm … Lisbeth, ada acara nanti malam?” Bryan mencoba peruntungannya. Lisbeth menatap Bryan tanpa berkedip seolah-olah ia sedang sibuk menimbang-nimbang.
“Buat pertanyaanku waktu itu … Lisbeth—”
“Boleh kujawab sekarang?” potong Lisbeth.
“Silakan.”
“Tidak bisa. Maaf, kita berteman saja.”
Berteman saja. Ini kali kedua frasa itu keluar dari dua perempuan yang berbeda. Kenapa orang tidak kreatif ketika memutuskan hubungan? Mana bisa berteman setelah impian sirna?
“Oh ….” Bryan tertawa kaku. “Benar-benar … tidak bisa?”
Stop it Bryan!
“Sama sekali?” pancing Bryan.
“Bryan jangan memaksa,” ujar Lisbeth tajam dan lugas.
Tanpa sadar Bryan melangkah mundur. Seumur hidup, ia benci dipaksa.
“Bye … Lisbeth.” Tanpa menunggu jawaban, Bryan sudah berbalik dan menuruni tangga. Ketika ia kembali ke outlet, beberapa orang sedang mengantre. Buru-buru, Bryan memakai celemeknya dan bertanya sambil tersenyum kepada seorang pemuda.
“Selamat datang di Bubbly Tea. Menu spesial kami hari ini matcha macchiato.”
“Dua iced thai bubble time. Terima kasih, selamat menikmati.”
“Rusdi, meja nomor 8, french fries-nya mana?”
Bryan tidak berhenti bahkan untuk makan malam. Beruntung hari ini banyak pengunjung mampir sekalipun bukan akhir pekan. Perintah demi perintah ia berikan. Hingga tak sadar lagu penutup dari Michael Buble kembali dikumandangkan.
May be surrounded by a million people I still feel all alone.
“Terima kasih. Sampai jumpa kembali,” ujar Bryan sambil membukakan pintu bagi sepasang kekasih.
Di belakangnya, Rusdi sedang mengepel lantai. Ayu sibuk mencuci botol sirop, sedangkan Bryan mengganti tanda BUKA menjadi TUTUP.
“Yu, kamu pulang aja. Sisanya saya yang beresin.” Bryan mulai mencuci panci boba.
“Tapi Koh Boss— ”
Bryan terasa seperti mengalami dejavu. Suasana ini pernah terjadi setahun kemarin. Sebelum ia berkunjung ke fashion show Lisbeth, sebelum ada Danar dan Bu Euis.
“Kamu pulang saja.” Tahun lalu Bryan mengatakan itu dengan nada tak bisa ditawar. Ia masih penuh keyakinan bahwa hidupnya bisa lebih baik. Tahun ini, ia merasa seperti hamster yang dipaksa berlari dalam roda. Capek, tetapi ia tidak ke mana-mana.
“Koh Boss, balik, ya!” pamit Rusdi sembari mengenakan helm.
“Matiin lampunya, Di.”
Lampu depan dimatikan Rusdi. Ini persis setahun kemarin. Di mana dirinya setelah setahun? Masih di dapur. Berapa outlet baru yang ia buka? Nol. Berapa gadis yang ia dekati? Dua. Who wants to be with him? Zero.
You’re a pathetic loser. Bryan menggosok panci boba. You’re a loser.
Sebelum berjalan pulang, Bryan mengirimkan pesan buat Dimas.
Yang Taiwan masih buka?
Beberapa menit berlalu sebelum Dimas membalas pesannya.
Yo Bro! Kata Johnny masih. 3 minggu lagi kelasnya.
Gue berangkat lebih awal.
Liburan gih. Gue kasih tahu Johnny ya. 🙂
Bryan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Liburan? Lebih tepat melarikan diri.
***