“Bryan.” Clara mengaduk tehnya. “Kita kayaknya enggak bisa begini terus.” Clara setengah berharap Bryan akan bertanya mengapa, siapa tahu ia berjanji memperbaiki diri, siapa tahu ia—
“Kamu juga pikir begitu?” tanya Bryan bersemangat.
Wait … what? Sebentar, apa maksud Bryan?
“Aku—” Clara ragu-ragu. Apakah Bryan akan meresmikan hubungan mereka atau ia juga ingin mengakhirinya? Clara terdiam sejenak.
Ah, persetan Bryan mau apa, ini waktunya Clara memberi tahu apa yang ia mau. Ia menyodorkan amplop cokelat kepada Bryan. Bryan membukanya membaca sekilas isinya, alisnya naik.
“Wow. Selamat, La. Beasiswa ke Beijing, hebat!”
Pujian Bryan justru membuatnya ingin menangis. Tidak ada kata-kata, Kamu yakin, La? Hubungan kita bagaimana?
“Do you think I should go?” pancing Clara.
“Yes, why not?”
Clara tertawa kecut. “Ya, betul. Why not?”
Ekspresi wajah Bryan yang tadi sedikit ragu-ragu, kelihatan lega sekarang, seolah-olah ada batu besar yang terangkat. “Aku baru mau ngajak ngomong kamu soal ini. Kayaknya, kita lebih baik ….”
“Berteman saja,” sambung Clara cepat.
“Iya.”
Gumpalan emosi tertahan di tenggorokan Clara.
“You love Lisbeth, don’t you?” tanyanya pelan.
Bryan tertawa malu-malu sambil menyeruput minumannya. “Kelihatan banget, ya?” Detik berikutnya, ia berubah serius dan berkata dengan perlahan, “I’m sorry things didn’t work between us.”
“It’s okay.”
Clara mencoba menghibur dirinya dengan mengingat pertemuan keluarga di Putien. Bayangan masa depannya dengan Bryan. Bukan itu yang dia mau. Ia mungkin akan jadi perawan tua. Mamanya mungkin akan mengomel-ngomel, lalu nangis-nangis, lalu curhat-curhat ke keluarga besar. Namun … dia akan ke Beijing setelah ini. Tinggal mute WhatsApp Group keluarga saja, dan siap-siap banyak stiker emotikon.
“Gue juga bukan tipe yang tahan jadi nyonya besar di rumah,” balas Clara. Gue. Ia mengganti hubungan mereka seiring dengan kosakata yang ia pilih. Ini keputusan terbaik buat semua. Sekalipun hatinya teriris, pikirannya jernih.
Selesai makan, Bryan mengantarnya keluar. Clara memang sengaja menyetir mobil sendiri hari ini, mengantisipasi perpisahan di depan mata. Bryan menyodorkan tangannya, jabat tangan terakhir. Dari awal, mereka memang lebih terlihat seperti business partner daripada pasangan.
“All the best, La.”
“You too, Bryan.”
“Thanks for … everything.”
Di tempat parkir, keduanya berdiri canggung. Clara sadar ini saat terakhir ia akan bertemu dengan Bryan. Kalimat perpisahan apa yang ingin ia katakan? Jangan lupa undang-undang? Oh, tidak. Ia tak mau terjebak dalam dilema tak perlu. Thanks for everything. Berterima kasih kepada pria yang mematahkan hatinya? Maaf, ia bukan Bunda Teresa.
Clara menyibakkan rambutnya. Menatap pria yang mengisi hidupnya, yang sempat membuatnya bermimpi, dan waktunya untuk melepaskan. Ia tersenyum tulus lalu berkata,
“Salam buat Lisbeth.”
Salam. I hope you guys are happy even though I couldn’t say it out loud. Ia membalikkan badannya dan masuk mobil. Tak semua kisah harus berakhir di pelaminan. Clara tak mau jadi ban serep. Hatinya sakit, tetapi ia bisa berjalan dengan kepala tegak. Bahagiaku, kubuat sendiri.
***
Morning, Lisbeth, hari ini mau green tea matcha atau original? Begitu bunyi pesan dari Bryan.
Tangannya mengetuk meja. Sekarang, Bryan datang ke butiknya tiap hari. Kadang pagi membawakan minuman, kadang membawakan makan siang, dan beberapa kali juga ia menawarkan mengantar Lisbeth pulang. Jika sedang ada klien, Bryan pun tak segan membantu menjadi penerjemah yang membuat pekerjaan Lisbeth lebih mudah. Bisindo Bryan makin lama makin lancar. Ia sekarang sudah hampir selesai level 2. Di satu sisi, Lisbeth senang ada bantuan, tetapi di sisi lain ia gelisah.
Ucapan Livi terus terngiang-ngiang. “Jangan dekat-dekat Bryan. Pokoknya jangan!”
Enggak usah, Bryan. Makasih, tolak Lisbeth. Namun, ia tahu usahanya sia-sia. Bryan pasti tetap datang. Masalahnya, jika Bryan datang, jantungnya selalu serasa mau copot, komunikasi jadi sangat sulit karena ia tidak berani menatap Bryan. Bagaimana bisa membaca gerak bibir kalau ia tidak melihat ke arah Bryan? Lisbeth tidak mengerti kenapa ia bisa seperti ini. Beberapa hari lalu, Bryan memberitahunya kalau Clara mendapat beasiswa ke Beijing dan mereka putus. Semestinya Lisbeth senang, bukan? Namun, ia malah gelisah.
Saat ini, ada hal lain yang lebih penting untuk ia pikirkan. Dua bulan lagi, sewa ruko jatuh tempo. Pemilik ruko sudah bertanya apakah ia mau memperpanjang sewa. Mata Lisbeth menelusuri angka-angka di spreadsheet. Berapa lama pun ia memelototi, angka itu tidak akan berubah. Ia hanya memiliki setengah dari jumlah uang sewa yang harus ia bayarkan.
Haruskah ia meminjam uang kepada Papi? Ia tahu angka ini uang receh buat Papi, tetapi bukankah ia sudah berjanji untuk mandiri? Jika berhubungan dengan angka, ada satu orang yang ia tahu bisa andalkan. Semoga Nala dengan matanya yang seperti kalkulator bisa membantu Lisbeth.
***
“BO NAO! Enggak punya otak!” bentak Ah Liong. Pagi yang cerah, dibuka dengan tangan Ah Liong menggebrak meja. Semua ART mereka sudah lari ke dapur. Mei Hwa buru-buru memberikan air es untuk menenangkan Ah Liong.
Bryan memandang papanya dengan tatapan kosong. Nilai dirinya memang hanya sebesar kontribusinya kepada perusahaan dan keluarga mereka. Memutuskan hubungan dengan Clara membuat papanya murka. Hilang sudah menantu merangkap penerjemah.
“It’s settled, Pa. Kita sudah putus.” Bryan mengunyah kwetiau seolah-olah tak ada apa-apa.
“Lo tahu kita bisa hemat berapa?” geram Ah Liong.
See? It’s not about me or my happiness. It’s about him and his business.
“Aku berangkat dulu, Pa.” Bryan bangkit dan berusaha tetap sopan meninggalkan Ah Liong.
“Ma, jangan lupa siapin obat darah tinggi, Papa.” Bryan menepuk bahu Mei Hwa sambil menunjuk ke lemari obat.
Ia sudah terlalu lelah diperintah. Bryan menyetir sendiri mobilnya ke outlet. Ia baru mulai membuka e-mailketika lonceng berbunyi menandakan ada orang yang masuk. Sontak Rusdi menyapa, “Pagi, Pak Dimas.”
Sialan. Pasti ada kabar buruk lagi. Ia melirik ke sekitarnya. Ia harus menyibukkan diri. Perasaannya mengatakan Dimas akan bicara tentang Danar. Dengan langkah panjang, Bryan berjalan ke arah WC.
“Pagi, Bro!”
“Ada apa lagi?” ujar Bryan tanpa melihat ke Dimas. Ia mencopot celemeknya dan bersiap mengosek WC. Dimas mengikutinya ke depan WC.
“Gue udah ngomong sama Johnny.”
Bryan memakai sarung tangan biru dan mulai menyemprotkan cairan disinfektan ke arah wastafel.
“Enggak dikasih, kan?” tembak Bryan. Ia menggosok wastafel sambil bersiul seolah-olah Dimas tak berdiri di kusen WC.
“Negatif amat jadi orang, Bro,” gelak Dimas. “Johnny bilang, Bubbly Tea Taiwan lagi mau ngadain pelatihan sebulan. Lo mau ke sana?”
“Pelatihan apaan, palingan mereka cari duit. Bayar, kan?”
Dimas berpaling ke arah Ayu yang sedang menyiapkan jeli. “Yu, bubble tea yang paling manis apaan? Bikinin satu buat bos kamu. Pahit amat jadi orang.” Dimas menatap Bryan. “Kita jualan bubble tea yang manis-manis. Lo minum sekali-kali biar hidup lo manis dikit.”
Bryan menatap berkeliling, kloset sudah bersih, wastafel sudah, tisu tersedia. Giliran lantai harus dipel.
“Johnny bilang, program inklusif kagak bisa dilanjutin. Tapi …” Dimas sengaja menggantung kalimat.
“Tapi apa?” tanya Bryan malas.
“Tapi tidak ada larangan buat lo rekrut pegawai lo sendiri,” simpul Dimas sambil tersenyum. “Johnny enggak bilang exactly like that. Tapi pas gue tanya, dia bilang pegawai urusan masing-masing outlet.”
Dimas masih bersandar santai di kosen pintu WC dengan senyum lebar, menunggu reaksi Bryan.
Dimas. Mentor menyebalkan yang acap kali membuat emosi Bryan naik turun. Dimas yang santai, yang punya moto, Easy, Bro.
“Lo ada otak juga,” dengus Bryan.
“Eh menghina amat sama mentor lo!” Dimas pura-pura mendelik. Bryan menepuk bahu Dimas ketika ia lewat membawa kain pel.
“Lo habis ngosek WC, bro! Ngapain tepuk-tepuk bahu gue,” omel Dimas disambut tawa Bryan.
“Taiwan, last chance?”
Bryan menggeleng. “Lo aja.”
“Gue mau, tapi mana dikasih sama bini gue. Kena tahanan rumah sampe anak gue 2 tahun. “
“Trus Anissa hamil lagi,” cengir Bryan. Awan mendung yang tadi menyelimuti sudah tertiup angin.
Dimas tertawa lebar lalu ia merangkul Bryan. “Udah lega, kan? Waktunya lo beresin yang satu lagi.” Dimas mengerling penuh arti.
“Apaan sih lo?”
“Aduh, jangan sok polos. Lo sama Lisbeth gimana? Lo dah putus sama Clara. Danar udah beres. Tunggu apa lagi? Lo mau ditikung cowok lain?” Dimas memanas-manasi Bryan.
Bryan diam saja walau hatinya mulai gundah.
“Hajar, Bro!” Dimas menepuk bahu Bryan keras-keras. “Gue tunggu kabar baiknya!” Dimas lagi-lagi memamerkan senyumnya sebelum pergi.
Hmm, orang tuanya mau cari mantu, bukan? Kenapa tidak Lisbeth?
Ini bunuh diri, tetapi bagi keluarganya memang lebih baik ia mati.
Kata Papa, ia bo nao, enggak punya otak. Selama ini, ia berusaha menunjukkan ia punya otak, tetapi tetap dianggap tidak punya otak. Tidak bisakah ia bahagia sekali ini saja? Bahagia dengan orang yang dia cinta dan bukan menjadi boneka orang tuanya?
***