Tubuh Nala serasa mau rontok, tetapi hatinya senang. Open house kali ini sukses. Pidato pembukaan Lisbeth pun lancar. Banyak orang yang datang, para orang tua anak-anak Tuli, maupun beberapa aktivis Tuli. Sebentar lagi gilirannya memberi kelas pengenalan singkat Bisindo. Beberapa orang sudah duduk. Namun, Bu Euis yang akan menjadi penerjemah belum tampak juga. Dengan gelisah, Nala melirik jam dinding. Tiba-tiba, bahunya ditepuk. Bryan berdiri di belakangnya.
Muka Nala langsung cemberut. Bryan tetap bersikap biasa aja. “Nala, Ibu Euis tiba-tiba kepalanya pusing. Mungkin capek. Bryan yang gantikan.”
Nala hanya mendengus.
“Mau mulai sekarang?” tanya Bryan mengabaikan sikap Nala. Nala mengangguk. Ia tak berharap banyak kepada Bryan. Cowok dengar seperti dia mana bisa membantunya?
Nala memulai dengan mengatakan halo, lalu Bryan mulai menerjemahkan. Ketika beralih ke alfabet, Nala terkejut. Bryan dengan fasih dan lumayan cepat memperagakan alfabet. Nala menebak Bryan menambahkan beberapa keterangan di terjemahan verbalnya, karena ia melihat reaksi para peserta sangat antusias. Terkadang, mereka tertawa mendengar penjelasan Bryan. Suasana kelas jadi hidup dan menyenangkan.
Ketika sesi tanya jawab, seorang ibu bertanya tentang sekolah Nala dulu. Nala mulai bercerita tentang kisahnya, menempuh kuliah Akuntansi di universitas umum dan pengalamannya bekerja di perusahaan. Ia memandang beberapa ibu menyeka matanya ketika Powerpoint menayangkan foto Nala diwisuda, lalu foto Nala berpose di depan kantornya yang berlogo perusahaan internasional.
“Anak Tuli tidak berarti tidak bisa apa-apa. Orang tua harus percaya, setiap anak punya jalannya sendiri.” Nala menutup dengan kalimat wejangan Mak Kintan, “Anak Tuli harus bisa mencari makan dengan tangannya sendiri.” Nala menunduk dan membuat isyarat terima kasih. Ia menyaksikan para peserta bertepuk tangan. Dadanya bergemuruh dengan rasa bangga. Nala tahu banyak orang tua dengan anak Tuli belum pernah bertemu dengan Tuli dewasa, sehingga wajar mereka merasa masa depan anak Tuli suram.
Selesai kelas, beberapa orang tua berbicara dan mengajak Nala berfoto. Nala mengamati Bryan yang diam-diam membantu membereskan kursi-kursi.
“Bryan,” panggil Nala seusai berbicara dengan ibu terakhir.
“Ada apa?” tanya Bryan menggunakan Bisindo.
“Bryan bisa Bisindo? Paham?’
Bryan tersenyum lalu membentuk isyarat kata “paham” dengan menguncupkan jari tangan kanannya dan menaruhnya di dahi.
“Belajar?”
“Iya.” Lalu Bryan membuat huruf B dan menaik-turunkan tangannya. “Nama isyarat Bryan.”
Seuntai senyum muncul di bibir Nala.
***
Lisbeth melambai dari dalam mobil ke Kintan kecil yang digendong Dodo. Rambut Kintan diikat dengan pita kuning. Senyum merekah di bibir Lisbeth, pita kuning Kintan serupa dengan pita kuning yang ia kenakan di ulang tahunnya yang kesembilan. Wim mengadakan pesta besar, seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, tahun itu Lisbeth tidak gembira. Ia menangis. Hari sebelumnya, Dini, teman sekelasnya, bercerita bahwa orang tuanya tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Dini tinggal dengan kakek neneknya.
Tahun berikutnya, Lisbeth baru tahu bahwa papa Dini menceraikan mamanya lalu menikah lagi. Di ulang tahun Lisbeth ke-12, ia baru mengerti mengapa beberapa orang temannya tinggal berpindah-pindah, minggu ini di rumah nenek, minggu lalu di rumah papa, dan minggu depan di rumah mamanya. Ia baru tahu bahwa tak semua anak punya orang tua seperti dirinya. Tak semua diakui sebagai anak. Semakin Lisbeth besar, semakin banyak yang ia tahu, semakin besar lukanya.
Ketika Livi diberi tugas membuat karangan tentang keluarga, Livi bercerita karangan teman-teman sekelasnya bercerita tentang keluarga terdiri dari Papa, Mama, dan anak. Lisbeth bisa menebak jika tugas yang sama diberikan kepada teman-teman sekelasnya, beberapa dari temannya akan menulis tentang keluarga yang berbeda. Keluarga yang terpecah. Keluarga yang tidak utuh. Keluarga yang bertengkar.
Lisbeth tak mengerti mengapa kemampuan mendengar atau ketiadaan kemampuan mendengar menjadi tolok ukur kasih sayang? Mengapa Tuli dianggap tidak pantas diakui sebagai anak? Ia dan teman-temannya tidak mencuri. Dini rajin belajar, selalu mendapat 100. Ratih wicaranya bagus, pandai mengucapkan R, tetapi kenapa mama Ratih tidak pernah kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu Lisbeth simpan di dalam hati.
Kata orang, open house kali ini berhasil. Bagi Lisbeth, ini memang berhasil, berhasil mengorek kembali masa kecilnya.
Di acara tadi, seorang ibu menggendong bayi kurus menghampirinya sambil menangis, bercerita tentang mertuanya yang meminta suaminya menceraikannya dengan alasan ia tidak bisa memberi keturunan yang sehat. Tuli = tidak sehat. Bagaimana bisa membuat masyarakat mengerti jika keluarga saja membuang darah dagingnya sendiri?
Lisbeth menoleh, sosok Kintan sudah lama menghilang. Ia menatap bayangan wajahnya di kaca spion. Apa yang ia lihat bukan Lisbeth dewasa, melainkan Lisbeth kecil dengan pita kuning dan mata merah karena menangisi Dini yang tidak pernah meniup kue ulang tahun. Wajah di kaca spion berganti menjadi wajah Dini kecil dengan pipi terkena cokelat. Kue ulang tahunnya yang ia bawa untuk Dini. Tahun itu, tahun terakhir Lisbeth merayakan ulang tahun dengan pesta besar-besaran.
***
Alunan lagu jaz mengisi atmosfer kafe yang tak terisi penuh malam itu. Hanya ada 4-5 pasang dan 2 keluarga yang asyik menyantap hidangan. Clara melirik jamnya. Seperti biasa, ia datang lebih awal dan menemukan dua kursi kosong di meja yang sudah ia pesan. Ia berusaha tampak sibuk memperhatikan menu padahal benaknya berlari ke mana-mana.
Yakin, La? Yakin ini yang lo mau? Pertanyaan itu bertalu-talu di benaknya.
“Hi, La, sudah lama?” tanya Bryan yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Clara mencoba tersenyum.
“Mau pesen apa?” tanya Clara sambil menyodorkan menu.
“Kamu aja yang pilih.”
Jawaban standar. Lakukan, La! Lakukan.
“Ada yang harus gue omongin.” Clara membuka percakapan setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka undur diri.
“Oh, ada yang mau aku omongin juga.”
Jantung Clara berhenti berdetak. Apakah Bryan … mau melamarnya?
“Kamu mau ngomong duluan?” tanya Clara hati-hati.
“Kamu dulu aja.”
Lo yakin La? Suara itu berbisik lagi. Clara berhenti. Ia tidak yakin.
***
[1] qíng bǐ jīn jiān: Cinta yang lebih kokoh dari emas.