Apa yang membuat harga emas berbeda dengan harga batu? Apakah emas lebih mahal karena ia melewati proses panjang dan sulit untuk memurnikannya?
Pagi ini, arus lalu lintas Jagorawi tidak begitu ramai. Semalam, Bryan menginap di Sentul, membantu Bu Euis mempersiapkan open house diselingi bercakap-cakap hingga larut malam.
“Jalan Danar, Siti, Lisbeth bukan yang paling mudah. Tetapi perjuangan mereka, ibu yakin tidak sia-sia. Kita orang dengar yang beruntung, Bryan, bukan karena kita bisa mendengar. Namun, karena kita kenal dengan anak-anak Tuli yang berjuang. Coba bandingkan hidupmu sebelum Bryan jadi relawan di sini? Kalau anak ibu bisa mendengar, ibu malah mungkin hanya di kampung. Untuk apa merantau? Siti berkat terindah dalam hidup ibu, karena Siti membawa Ibu keluar dan melihat dunia. Dari cuma lulusan SMA, ibu kuliah jadi guru, lalu jadi kepala sekolah,” ujar Bu Euis sambil memasukkan undangan ke dalam amplop.
Bukan jalan yang mudah. Bryan teringat alasannya memilih Clara. Jalan mudah. Jalan tol. Inikah kehidupan yang membuatnya bersemangat bangun tiap pagi? Dan apakah benar ia mau mengurusi usaha eksport importkeluarganya? Keluar masuk gudang, ke bea cukai, mengecek stok? Memang bekerja di waralaba Bubbly Tea dengan seragam pink dan celemek cokelat jauh dari kesan wow. Namun, jika Bryan menelisik ke dalam hatinya, saat paling menyenangkan ketika ia memberikan minuman kepada pelanggannya yang disambut dengan ucapan “Terima kasih.” atau memandang mereka keluar sambil menyeruput bubble tea dan tertawa.
“Bukan anak Tuli yang beruntung karena kita peduli, Bryan. Kita yang beruntung karena kenal anak-anak Tuli.” Suara Bu Euis kembali terngiang. Benar, hidupnya tahun lalu dan tahun ini begitu berbeda.
“Oya, Bryan sudah tahu?” tanya Bu Euis dengan senyum misterius.
“Apa, Bu?”
“Lisbeth sudah putus.”
“Oh,” jawab Bryan pendek berusaha biasa saja, padahal hatinya bersorak riang.
“Sudah agak lama, tapi Lisbeth hanya bercerita kepada Nala. Kata Nala, ia tak mau banyak orang bertanya kenapa putus,” terang Bu Euis.
Bryan hanya diam saja tak berusaha mengorek lebih jauh.
***
Open House Day
“Rame juga!” bisik Anissa kepada Dimas.
“Dimas!” panggil Bryan sembari melambaikan tangam.
“Yo … cieeeh yang jadi volunteers,” goda Dimas sambil menonjok bahu Bryan yang hari itu mengenakan kaus yang sama dengan para relawan lain.
“Apaan sih lo!” gerutu Bryan kesal.
“Ini rame. Marketing-nya siapa?” tanya Anissa sambil menyibakkan rambutnya.
“Kita kerja sama dengan beberapa blogger.” Bryan menunjuk beberapa orang yang tampil heboh. Ada yang sedang mengambil video, juga ada yang sedang mewawancara anak-anak. “Yuk masuk.”
Mereka masuk ke bagian dalam rumah. Lorong-lorong penuh dengan poster. Foto-foto anak-anak Tuli dengan nama, prestasi, atau pekerjaan mereka. Ada yang menjadi fotografer, membuka kedai makanan, makeup artist, seniman, product designer, dan lain-lain. Di ujung lorong, ada poster seorang gadis cantik yang berpose dengan para desainer top, di bagian bawah tertulis: Lisbeth Victoria Tanuwiharja.
Mereka sampai ke deretan ruangan-ruangan kelas. Para guru sedang mengajar anak-anak Tuli dan orang tua mereka duduk di bagian belakang, mengamati anak-anak mereka belajar.
“Ini kelas-kelas. Guru-gurunya ada yang memang lulusan guru SLB, tapi mulai dari beberapa bulan lalu, ada program baru, merekrut lulusan-lulusan terbaik dari luar negeri untuk menjadi sukarelawan sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.” Bryan menjelaskan. “Guru yang itu,” Bryan menunjuk seorang perempuan muda berjilbab yang sedang mengajar biologi, “Lulusan S3 Molecular Biology Biochemistry dari Osaka University.” Mereka berjalan ke kelas lain. “Ini lulusan MBA dari UCSD, Amerika.”
“Koneksinya Simon?” tebak Anissa sambil nyengir.
“Iya,” jawab Bryan pendek. Ia masih tidak nyaman setiap nama Simon atau Livi dibawa-bawa.
“Lo tuh ye … begitu denger nama Livi sama Simon aja, langsung kecut banget,” goda Anissa seolah bisa membaca pikiran Bryan. Bryan hanya mendengus.
“Mereka datang juga?” tanya Dimas dengan antusias.
“Enggak, cuman kirim bunga.” Bryan menunjuk karangan bunga besar bertuliskan Selamat dan Sukses. Simon & Livi. Jelas jika Livi datang, Bryan tidak ingin ada di situ. Tak lama, mereka sampai di booth Lisbeth. Empat maneken terpajang manis mengenakan aneka gaun rancangan Lisbeth.
“Lisbeth!” pekik Anissa sambil memeluknya. “Selamat, ya.”
“Makasih sudah datang!” Lisbeth tersenyum lebar. Ia menggandeng tangan Anissa dan menunjukkan beberapa gaun terbarunya.
Bryan menatap mereka. Tiba-tiba, Dimas menyodok lengannya. “Clara mana?”
“Ada acara di sekolah.”
“Ada acara apa ada acara,” cengir Dimas dengan nada sok tahu.
“Monyong.”
“Duh gue nggak buta. Kalau ada Clara, lu enggak bebas. Lu naksir Lisbeth, kan?” bisik Dimas sambil terkekeh.
“Enggak!” bantah Bryan cepat. Bryan mempercepat langkahnya berusaha menghindari tatapan Dimas.
“Enggak salah lagi …,” dendang Dimas sambil berjalan tak kalah cepat, “Cara lo lihat Lisbeth beda. Gue lihat lo suka diem-diem ngeliatin Lisbeth. Trus kalau Lisbeth post sesuatu di IG-nya lo pasti selalu like dan kasih komentar! Pertamax terus komentar lo.”
“I’m just being supportive,” elak Bryan.
“Mending lo putus deh sama Clara. Kasihan Clara. Cakep, baik. Kalau sama Clara, lo orang kaku banget, no chemistry!” tembak Dimas. Ia menepuk-nepuk bahu Bryan. “Tenang, Bro. My lips are sealed. Gue nggak bakal kasih tahu siapa-siapa lo naksir Lisbeth!”
Bryan diam saja, tidak mengacuhkan Dimas. Apa pun jawabannya, Dimas pasti akan mengejeknya habis-habisan.
“Gue tinggal dulu.” Tanpa menunggu jawaban Dimas, Bryan bergegas pergi.
***