Kent Vale, Singapura.

Apa yang membuat orang suka ke Singapura? Sebagian untuk belanja, sebagian untuk makan-makan. Buat Lisbeth, kesukaan terbesar adalah bertemu dengan Livi dan kedua keponakannya, Timmy dan Thomas. Lisbeth tak bisa berhenti tertawa jika bermain dengan kedua keponakan kembarnya. Pipi montok, ditambah wangi bedak bayi, membuat Lisbeth betah bermain berjam-jam dengan mereka. Ada alasan lain yang diam-diam Lisbeth pendam, keponakannya bisa membuatnya melupakan Bryan walaupun sejenak.

Bryan. Lisbeth menghela napas, kenapa pria itu seolah-olah mengikutinya ke mana-mana? Ia menonton film di SQ, tokohnya bernama Bryan. Ia turun di Changi, mobil pertama yang ia lihat persis seperti mobil Bryan. Lalu ia berpapasan dengan pria yang parfumnya sama dengan parfum Bryan. Kenapa seolah-olah seluruh dunia mengingatkannya akan pria yang berusaha ia lupakan!

Kamu gila, Lisbeth! Benaknya langsung memasang senjata, menyusun rangkaian alasan kenapa tidak seharusnya ia memikirkan Bryan. Mereka berteman. Bryan punya pacar. Bryan cowok dengar. Lisbeth benci cowok dengar. Cowok dengar jahat. Cowok dengar ja—

Lamunan Lisbeth buyar ketika tiba-tiba Livi masuk kamar. Lisbeth buru-buru menyelipkan ponselnya ke bawah bantal. Ia tak mengerti juga mengapa ia berbuat demikian. Livi membawa setumpuk dokumen dan duduk bersila di hadapan Lisbeth. Sekali lihat, Lisbeth menerka itu adalah kertas-kertas berisi rencana YST buat open house. Livi mulai membahas rencana mereka.

“Program sukarelawan sudah mulai?” tanya Livi.

“Lanjut. Bagus,” Lisbeth membuka beberapa CV para mahasiswa yang mendaftar menjadi relawan dan menunjukkannya kepada Livi.

“Ide Bu Euis bagus-bagus,” decak Livi kagum.

“Ide awalnya dari Bryan, Ci,” koreksi Lisbeth. Ia ingat Bryan membicarakan hal itu dengannya beberapa kali. Lisbeth tak suka jika ide Bryan dianggap sebagai ide Bu Euis.

Livi memandang Lisbeth dengan hati-hati. “Masa? Bryan bantuin program ini?”

“Iya, Bryan suka ke Sentul. Ngajar basket, bacain cerita.” Lisbeth membuka folder foto dan menunjukkan beberapa foto Bryan mengikuti kegiatan-kegiatan di sana.

“Jangan dekat-dekat Bryan!” Livi memperingatkan Lisbeth dengan nada serius. “Bryan bukan orang baik. Mantan pacarnya banyak. Suka mabuk-mabukan. Clubbing. Jangan!”

Lisbeth diam saja. Livi tidak boleh tahu Bryan suka mampir ke butiknya, suka video call dengan dirinya, dan ia pernah tidur di kamar Bryan.

“Iya, Ci. Bryan punya pacar. Lisbeth tidak deket-deket.”

“Biar Bryan sudah punya pacar, pokoknya tidak boleh ya, Lisbeth! Denger Cici! Bryan … Pokoknya jangan!”

Lisbeth heran melihat Livi begitu ngotot. Livi jarang sekali melarang Lisbeth dekat-dekat dengan seorang pria. Livi malah sering mendorong Lisbeth untuk lebih terbuka dengan orang baru. Namun ia setuju, ia juga tidak berani dekat-dekat Bryan.

“Iya… tahu.”

“Pokoknya jangan!” tegas Livi lagi. 

“Program ini bagaimana?” Lisbeth berusaha mengalihkan perhatian Livi. Ia tak suka mendengar cara Livi bicara tentang Bryan seolah-olah Bryan benar-benar orang jahat. Selesai berdiskusi, Livi menidurkan anaknya sedangkan Lisbeth bersandar di balkon. Matahari baru saja tenggelam. Langit Singapura diwarnai semburat merah dan kuning emas. Ia jarang menyaksikan matahari tenggelam sejelas ini. Namun, pemandangan seindah ini tidak berhasil menenangkan hatinya yang gelisah.

Ketika merasa bahunya ditepuk, Lisbeth menoleh. Livi datang membawa dua gelas jus dan memberi isyarat untuk ikut duduk di kursi taman yang tersedia di balkon.

“Timmy sudah bobo?” tanya Lisbeth. Livi mengangguk. “Capek ya punya anak kembar?”

“Pasti. Yang satu nangis, begitu diam, gantian Thomas yang nangis.”

Lisbeth tersenyum. Pikirannya kembali melayang. Seperti apa rasanya punya bayi? Bayinya sendiri. Ah, untuk apa berpikir seperti itu, pacar saja ia tidak punya.

“Kenapa diam saja?” ujar Livi. Ia menatap wajah Lisbeth muram. “Masih memikirkan Jimmy?”

Lisbeth hanya memainkan gelasnya. Pikiran Lisbeth penuh, tetapi sebenarnya ia sudah tidak memikirkan Jimmy, melainkan … Bryan.

Livi meraih jemari Lisbeth. “Nanti Tuhan kasih yang lain ya buat Lisbeth. Yang lebih baik.”

Sambil mengangkat bahu, Lisbeth menggeleng. “Tidak tahu. Lihat saja.”

“Jadi mau ganti tiket? Liburan lebih lama di sini. Kita bisa jalan-jalan ke Chinatown, Little India, cari inspirasi.” Livi menawarkan.

“Tidak usah, banyak pekerjaan.” Tentu saja Lisbeth bohong. Butiknya tak banyak pelanggan.

“Lisbeth perlu liburan! Ayolah!” bujuk Livi.

“Enggak mau!” tolak Lisbeth sedikit keras.

Lisbeth memalingkan muka dan kembali memandang ke depan. Hati Lisbeth senang sekaligus sedih ada di Singapura. Ia senang bertemu dengan Livi dan bermain dengan keponakannya. Namun, ketika melihat Simon dan Livi, hatinya gundah. Ia memperhatikan Simon memeluk Livi ketika Livi sedang memasak, Simon mencium Livi sebelum ia pergi bekerja, Livi mencubit pinggang Simon ketika mereka bercanda, atau bagaimana di balik meja kaki Simon dan Livi saling beradu. Lisbeth tak tahu perasaan apa yang ia rasakan, bukankah seharusnya ia bahagia mengetahui cicinya bahagia sekalipun itu bukan kehidupan yang bisa ia miliki? Lisbeth tak berani mengakui bahwa ia … cemburu.

 Lalu, ia … kangen Bryan. Tidak, tidak. Kangen itu rasa yang disimpan oleh kekasih. Tidak boleh kangen dengan pacar orang. Berkali-kali, Lisbeth memeriksa teleponnya, berharap ada pesan dari Bryan. Sayangnya tak ada. Sejak mereka kembali dari Taman Safari, Bryan tak pernah menghubunginya. Ia suka membuka WhatsAppmembaca tulisan online di bawah nama Bryan, dan tergoda untuk mengirimkan pesan.

Hi Bryan, apa kabar? (Tidak. Untuk apa ia bertanya kabar Bryan?)

Bryan mau titip apa dari Singapur? Sebenarnya hatinya sudah mendata barang-barang yang ingin ia belikan buat Bryan. Namun, semuanya ia taruh kembali ke rak. Untuk apa? Alhasil ia malah membeli cokelat untuk anak-anak. Ketika berada di supermarket, Lisbeth baru sadar bahwa ia ternyata mengenal Bryan jauh daripada yang ia pikir. Ia tahu merek mi instan Korea kesukaan Bryan, kopinya, atau buah kesukaannya.

Lisbeth sudah putus. Apa hubungannya dengan Bryan? Lisbeth buru-buru menghapus pesannya. Ia harus melupakan Bryan. Ia menatap nanar kata online di bawah nama Bryan. Lalu ia mencari nomor ponsel Clara yang ada di grup relawan YST. Ia menemukan kata online pula di bawah nama Clara.

Imajinasi liar Lisbeth langsung menari. Mereka mungkin sedang mengobrol atau video call.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here