The Royal Safari Hotel, Bungalo Grand Deluxe Royal Elephant.

Jika Lisbeth berpikir bahwa dirinya sudah gila, apa yang ia rasakan bertambah berlipat kali ketika melihat Bryan bersama Clara. Ada donatur yang membiayai anak-anak YST, guru, dan para relawan untuk berlibur 3 hari 2 malam di Hotel Royal Safari Garden. Lisbeth tahu anak-anak sangat menanti-nantikan liburan ini. Namun, ia meradang ketika ia tahu, ia tidur sekamar dengan siapa, Clara. Bryan mengajak Clara ikut.

Tentu saja, Lisbeth, mereka kan pacaran! Lisbeth berusaha memusatkan perhatiannya kepada Zara dan Susi yang sedang menggosok gigi. 

“Lisbeth,” ujar Clara. Wajahnya muncul dari balik pintu kamar mandi. “Ada lagi yang perlu dibantu?” 

“Tolong bantu Tina cuci kaki.” Lisbeth menunjuk Tina, balita dengan pipi montok yang masih berbalut handuk.

Zara, Tina, dan Susi terus-menerus tertawa kegirangan. Bungalo tempat mereka menginap dua malam ini besar dan bagus. Ini kali pertama anak-anak YST menginap di bungalo dua lantai dengan dua kamar tidur lengkap dengan ruang tamu dengan TV. Ada dua kamar di lantai dua. Satu kamar untuk anak-anak perempuan dan satu kamar lagi untuk Lisbeth dan Clara. Sedangkan di Bungalo sebelah diisi Bryan dan anak-anak laki-laki. 

“Sudah?” Ia bertanya kepada Zara, Tina, dan Susi yang sibuk memamerkan gigi putih mereka. Lisbeth tersenyum, “Ayo keluar.” Lisbeth sengaja berlama-lama di kamar Zara. Ia tersenyum menyaksikan Zara, Tina, dan Susi meringkuk di dalam selimut dengan wajah gembira. Dalam sekejap, ketiga anak itu jatuh tertidur.

Lisbeth kembali ke kamarnya dan mendesah lega ketika mendapati kamarnya kosong. Ia tak tahu harus bicara apa dengan Clara. Ia mengganti piamanya dan mengoleskan krim malam di wajah. Lisbeth bersiap tidur ketika ia teringat tak ada air minum di kamar ini. Lisbeth sering terbangun malam-malam karena kehausan. Ia pun berjalan ke bawah membawa botol minum untuk diisi.

Rencananya buyar ketika ia mendapati Clara sedang mengobrol dengan seru bersama Bryan di dapur. Jarak keduanya … dekat. Sedikit terlalu dekat. Bryan bersandar di kulkas sedangkan Clara berdiri tepat di depannya. Bryan sedang tertawa entah mendengar apa yang dikatakan Clara. Tiba-tiba, jantung Lisbeth berdebar lebih cepat. Ia tidak suka melihat Clara berdiri dekat Bryan.

“Lisbeth!” Bryan menyadari kehadiran Lisbeth. “Perlu apa?”

Lisbeth berdiri mematung. Bryan dan Clara serasi. Clara dengan badannya yang mungil dan wajahnya yang manis lalu Bryan yang … Lisbeth tak pernah sadar bahwa Bryan punya wajah tak kalah dengan foto model. Mereka berdua berdiri bersisian di depan kulkas, sungguh pantas menjadi cover majalah keluarga.

“Lisbeth?” tanya Clara lagi.

“Ah um.” Lisbeth bergumam, dalam sekejap kembali ke atas tanpa sempat mengisi botol minumnya. Lisbeth buru-buru menarik selimut dan membalikkan tubuh menghadap dinding. Ia mencoba menghapus adegan tadi. Namun, ia tidak mengerti kenapa ia merasa tidak suka? Apa yang salah? Kenapa hatinya terasa sakit melihat Bryan mengobrol berdua dengan Clara? Apa salahnya? Bantalnya tiba-tiba basah. Lisbeth cepat-cepat menghapus matanya. Konyol, batinnya.

Clara sudah beberapa kali datang ke Sentul dan Lisbeth menyukainya sejak awal. Beberapa relawan datang dan maunya mengatur-atur. Anak Tuli harus begini begitu. Relawan lain datang membawa anak-anaknya dan berkata, “Bersyukur kalian semua normal.” Eh! Lisbeth langsung protes, anak Tuli bukan obyek wisata yang dipertontonkan hanya untuk membuat beberapa anak manja tahu bersyukur! Kurang ajar! 

Namun, Clara tidak seperti mereka. Ia tidak banyak mengatur atau memberi ide aneh-aneh. Ia justru berkata, “Aku harus belajar dari kalian, ajari aku ya.” Clara mendengarkan dengan saksama. Ia bertanya kenapa orang Tuli lebih suka disebut Tuli dan bukan tuna rungu. Lisbeth menjelaskan,

“Tuli itu identitas, punya budaya yang berbeda dengan budaya dengar. Tuna rungu itu istilah medis, ada yang kurang. Aku lebih suka dipanggil Tuli daripada tuna rungu.”

Biasanya masih banyak orang dengar yang ngotot mengatakan, “Tuna rungu lebih sopan daripada Tuli!” Lisbeth meninggalkan orang semacam itu. Clara tidak, ia hanya mengangguk dan berkata, “Terima kasih, ya. Saya jadi belajar.”

Lisbeth suka Clara. Namun, kenapa menyaksikan Clara bersama Bryan membuat hatinya pedih? Seandainya ada penghapus ajaib yang bisa mengenyahkan ingatan Lisbeth. Ia berpikir betapa menyenangkannya jika ia bisa menghapus adegan Clara dan Bryan tertawa bersama. Tiba-tiba, cahaya masuk lewat pintu yang terbuka. Perlahan, ada yang menepuk bahunya. Ternyata Clara berdiri di pinggir tempat tidur sambil membawa segelas air.

“Lisbeth haus, ya?” tanya Clara. Lisbeth tidak menjawab. Clara tersenyum dan meletakkan gelas itu di nakas sebelah tempat tidur Lisbeth. “Perlu diambilkan sesuatu?”

Lisbeth menggeleng.

“Kalau perlu apa-apa, bilang, ya. Aku di bawah,” pamit Clara. Benak Lisbeth langsung membayangkan Clara dan Bryan duduk berdua di sofa lalu mengobrol panjang lebar. Tertawa bersama. Kenapa hatinya perih? Clara baik, ramah, tak canggung pula bermain dengan anak-anak. Supel dan cocok dengan Bryan. Ia membenamkan wajahnya ke bantal.

Lisbeth terbangun ketika ada cahaya yang tiba-tiba masuk kamar. Dari sudut mata, ia melihat Clara berjingkat masuk ke kamar. Jam tangannya berpendar sedikit. Pukul satu pagi. Lisbeth menggigit bibir. Mereka mengobrol apa saja sampai pukul satu pagi? Apakah mereka berciuman? Apakah Clara menyandarkan kepalanya di bahu Bryan seperti pasangan-pasangan yang ia lihat di bioskop? Lisbeth memejamkan matanya erat-erat. 

***

Keesokannya, Lisbeth menyaksikan kejadian yang hampir serupa. Pagi-pagi, Clara sudah menyapa Bryan dengan riang sedangkan Lisbeth diam saja. Ketika mereka sarapan, Lisbeth sibuk mengambil makanan buat anak-anak, sementara Clara mengambilkan buah untuk Bryan.

“Lisbeth mau buah?” Bryan menawarkan piring berisi buah-buahan dari Clara kepada Lisbeth.

“Tidak.”

“Kenapa diam saja? Lisbeth sakit?” tanya Bryan.

Lisbeth menggeleng lagi. 

“Bryan mau kopi?” Clara datang menawarkan kopi. Bryan berpaling dan mereka bercakap-cakap dengan cepat. Lisbeth tidak bisa mengerti. Wajar. Mereka kan orang dengar, tak perlu bicara pelan-pelan.

“Mau tambah lagi?” tanya Lisbeth kepada Zara yang duduk di hadapannya. Zara menggeleng. “Makanan semua enaaak. Zara kenyang!”

Sepiring wafel tiba-tiba ada di hadapan Lisbeth.

“Lisbeth suka wafel, kan?” kata Bryan. “Dari tadi kamu sibuk, makan dulu.”

Lisbeth diam saja. Ia bahkan tidak mengatakan terima kasih. Setelah Zara dan Tina selesai makan, Lisbeth bergegas bangkit, ia mencari Nala dan duduk di sampingnya. Paling tidak, ia aman, tak perlu melihat Clara dan Bryan asyik makan berdua.

***

Clara menatap piring yang ia berikan untuk Bryan. Ia harus mengantre untuk mengambil buah, tetapi Bryan malah memberikannya kepada Lisbeth.

Ketika Lisbeth tidak makan, Bryan yang berdiri dan mengambil wafel buat Lisbeth. Bryan tidak bertanya apakah Clara mau makan. Sejuta alasan muncul di hati Clara. Bryan memang orangnya peduli, tetapi tidak kepada dirinya. Ia yang pontang-panting menyiapkan makanan untuk Bryan sedangkan Bryan dengan santai memberikannya kepada perempuan lain.

La, Lisbeth lagi suapin anak-anak! Bryan is just trying to help. Lagi-lagi hatinya membela Bryan. Seolah-olah Bryan selalu benar dan dirinya yang salah karena merasa cemburu. Lisbeth gadis yang baik. Demi Tuhan, ia cantik sekali. Kulit Lisbeth mulus tanpa perlu dipoles.

Kemarin malam, ia memandang Lisbeth turun dengan piama. Rambut hitam tergerai dan badan tinggi semampai membuatnya persis seperti gadis model Victoria Secret! Ketika bangun di pagi hari pun, Lisbeth sudah kelihatan cantik. Sedang gosok gigi saja ia tetap cantik. Wajah Lisbeth seperti artis Ruby Lin di film Huan Zhu Gege. Ya ampun. Kalau ia pria, mungkin ia sudah jatuh hati dengan Lisbeth yang begitu anggun bak putri keraton.

Tentu saja Bryan langsung melihat ke Lisbeth. Pria mana yang tidak suka yang bening-bening? pikir Clara getir.

 Lisbeth bukan hanya cantik dan anggun, cara Lisbeth bicara dengan anak-anak, mengambilkan mereka makan, memotongkan sosis sangat keibuan. Clara memperhatikan Lisbeth selalu membungkuk ketika bicara dengan anak-anak. Ia fasih membujuk anak yang menangis. Lisbeth benar-benar paket lengkap untuk istri dan ibu teladan.

Clara pun mengagumi Lisbeth yang tidak menyesal ataupun rendah diri bahwa ia terlahir Tuli. Ia tetap ramah, selalu tersenyum dan gaun-gaun Lisbeth, astaga cantik sekali. Iya, Clara tahu ia sudah menggunakan kata cantik berkali-kali. Sebagai guru bahasa mestinya ia menggunakan kata yang lebih bervariasi seperti rupawan atau menawan, tetapi berdiri di hadapan Lisbeth, boro-boro bisa memikirkan padanan kata, bernapas saja terkadang Clara lupa. 

Bila dibandingkan dengan Lisbeth, dirinya bagai remah kerupuk yang melempem karena ditinggal terlalu lama.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here