Dunia Lisbeth #23: 他已有了爱人 – Yang Sudah Berpunya

Apakah jatuh cinta itu seumpama batu yang dijatuhkan dari gedung yang tinggi ataukah seperti akar yang tak terlihat hingga tahu-tahu ia berbunga?

Mata Lisbeth masih terpejam sekalipun kesadarannya mulai datang. Ia mengerjapkan mata, tetapi yang ia lihat bukan langit-langit kamarnya. Lisbeth menenggelamkan diri di bantal, tetapi bukan aroma green tea familier yang ia hirup. Wangi yang mampir ke hidungnya … maskulin. Lisbeth berpikir, ini bukan parfum Papi. Ketika ia membuka mata, di hadapannya bukan foto wisuda yang tergantung di dinding, melainkan lukisan hitam putih Marilyn Monroe dengan tahi lalat di pipinya.

Di mana ini?

Kamar itu didominasi warna hitam dan putih. Pelan-pelan, ia teringat ia ada di mana. Ini kamar Bryan! Ia memeriksa pakaiannya dan baru sadar ia mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin. 

Ya ampun, kemarin malam langsung tidur tanpa ganti baju! Jorok!

Lisbeth segera meloncat dari ranjang seolah-olah ia tidur di atas ranjang berduri. Padahal, semalam tidurnya nyenyak sekali. Ia bergegas membawa tas berisi baju ganti ke kamar mandi. Lisbeth terkesima melihat kamar mandi pribadi monochromatic Bryan. Lisbeth mengakui Bryan tahu memadukan warna untuk menghasilkan kombinasi yang bagus. Aroma musk tercium dari rak di ujung kamar mandi. Tanpa sadar, Lisbeth tersenyum, pantas ia nyaman dengan Bryan. Ia suka cowok yang bersih dan rapi.

Selesai mandi, Lisbeth merasa tubuhnya sangat segar. Ia terdiam sejenak. Apa yang harus ia lakukan? Turun ke lantai bawah? Ia tidak tahu Bryan ada di mana. Bagaimana kalau ia turun dan bertemu Tante Mei Hwa atau Om Ah Liong? Apa yang harus ia katakan? Ia memutuskan untuk tetap diam di kamar dan merapikan tempat tidur Bryan. 

“Lisbeth?” Bryan masuk kamar sambil membawa handuk. “Ah, Lisbeth sudah bangun,” sapa Bryan. “Sori, harus mandi lalu berangkat. Lisbeth turun ke bawah dulu saja.”

Bryan bergegas membuka lemarinya. Ia mengambil sehelai kemeja hitam dan sepasang celana dengan tergesa-gesa sehingga setumpuk kausnya jatuh ke lantai.

“Argh!” keluh Bryan kesal. Tanpa merapikan, buru-buru ia masuk ke kamar mandi. Menyadari kaus Bryan berserakan, Lisbeth segera merapikannya. Dalam waktu singkat, Lisbeth mempelajari bagaimana Bryan menata kausnya. Kemeja digantung. Kaus rumah dilipat, kaus kaki dilipat. Selesai merapikan, Lisbeth menatap jejeran kemeja Bryan.

Gradasi warnanya tidak rapi. Dengan gesit, Lisbeth mengganti urutan beberapa kemeja. Kemeja Bryan ditata dari warna terang ke warna gelap. Lisbeth mengangguk puas. Ia asyik menata hingga tak sadar Bryan keluar dari kamar mandi dan menepuk bahunya.

“Tidak usah repot-repot, Lisbeth.”

Lisbeth hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Sambil menunggu Bryan selesai. Perlu dasi?” Bryan mengangguk, Lisbeth mengambil sehelai dasi berwarna abu-abu bermotif garis-garis miring. Ia menyerahkannya kepada Bryan.

“Kok bisa tebak harus pakai dasi?” tanya Bryan sambil memasang dasinya.

“Bryan kalau hanya ke outlet atau informal meeting, biasanya pakai kemeja lengan pendek atau seragam. Tapi kalau kemeja tangan panjang, biasanya meeting penting dan Bryan selalu pakai dasi.” Lisbeth menjabarkan pengamatannya selama ini.

Lisbeth tertawa ketika menyadari Bryan menatapnya dengan pandangan yang tak pernah Lisbeth lihat sebelumnya. “Kenapa melihat seperti itu?”

“Tidak apa.” Sebelum berpaling, Lisbeth menyadari pipi Bryan sedikit memerah. Lisbeth menahan geli, Bryan selalu begitu. Gampang sekali wajah Bryan memerah seperti tomat. Bryan membuka pintu kamar, ia membawakan tas Lisbeth. Mau tak mau Lisbeth mengikuti Bryan keluar dari kamar. Jantungnya berdebar kencang sembari membuntuti Bryan menuruni tangga. Ia sedikit grogi., Entah kenapa ia sedikit sungkan jika bertemu dengan orang tua Bryan. Namun, tak tampak ada seorang pun di rumah itu. 

Sorry yah, kita beli sarapan di luar saja,” kata Bryan sambil memanaskan mesin mobilnya. Lisbeth mengangguk lega.

“Enggak pamit sama papa-mama Bryan?” tanya Lisbeth, “Pak Sopir ke mana?”

“Papa-Mama lagi di Shang Hai.” Bryan mengeluarkan mobilnya. “Bryan sudah tidak pakai sopir lagi. Sekarang Pak Tono untuk Mama saja. Begini lebih hemat, jadi bisa nabung.”

Dalam perjalanan, Lisbeth baru menyadari ia sama sekali belum mengecek ponselnya. Lisbeth membuka dan terkejut. Banyak missed video call dari papinya. 10 messages dari papinya, maminya, dan Livi. Semuanya menanyakan pertanyaan yang sama.

Lisbeth di mana?

Ia buru-buru menekan opsi video call kepada papinya. Papinya pasti khawatir sekali. Tak lama Video call-nya segera tersambung.

“Papi … maaf, aku baru lihat handphone.”

“Papi coba hubungi Lisbeth dari tadi pagi!” Suara Wim menggema di dalam mobil. “Lisbeth tidur di butik kemarin?”

“Oh, kemarin tidur di rumah B—” Ucapan Lisbeth terhenti.

Tidur di rumah Bryan. Ia. Tidur. Di. Ranjang. Bryan.

 Ia baru menyadari apa yang kemarin terjadi. Refleks ia mematikan video call-nya. Jantungnya tiba-tiba berdebar.

Ya ampun, Lisbeth! Kamu sudah gila!

Ia merasa Bryan menyentuh bahunya. “Tadi papi Lisbeth? Kenapa ditutup?”

Lisbeth tidak mengatakan apa-apa. Buru-buru ia mengirim pesan ke papinya.

Pi, sinyalnya jelek. Sebentar lagi aku call lagi.

Oke, balas papinya.

Lisbeth merasa jantungnya berdebar makin kencang. Ia berbohong kepada Papi. Semua kejadian kemarin malam hingga pagi tadi tiba-tiba terputar ulang di benaknya.

Lisbeth … kamu tidur di ranjang cowok, mandi di kamar mandinya, dan beresin lemari pakaiannya! Dan orang itu bahkan bukan pacarmu. Dia pacar orang lain!

Lisbeth mencoba menenangkan pikirannya. Bryan bukan orang lain, mereka sudah kenal dari kecil. Dulu sering menginap bersama. Tak ada yang spesial. Ia membereskan kamar karena biasanya ia juga begitu. Ia merapikan baju Bryan karena ia tidak suka baju berantakan. Nothing special.

Namun, ingatannya kembali ke adegan tadi. Bryan keluar dari kamar mandi dan ia memberikan dasi. Oh, tidak. She acted like … his wife. Muka Lisbeth langsung merah padam. Ia mencoba memejamkan mata dan menghapus ingatan itu.

“Lisbeth?” Bryan menghentikan mobilnya di drive through sebuah franchise fast food. “Mau pesen apa?”

Lisbeth mengangkat bahu. Pikirannya kacau-balau. Bryan punya pacar! Ia merasa sangat bersalah kepada Clara.

Tak lama, sebuah kantong kertas dengan logo M besar diletakkan Bryan di pangkuan Lisbeth. Lisbeth mengatakan terima kasih tanpa menoleh ke Bryan. Ia terlalu malu untuk menatap Bryan.

Bryan menepuk bahunya. Lisbeth melirik sedikit, Bryan bertanya, “Lisbeth kenapa? Pusing?”

Lisbeth mengangguk lemah. Oh, tidak! Kini, ia juga berbohong kepada Bryan! Memang kebohongan hanya menelurkan kebohongan lainnya. 

“Makasih …,” kata Lisbeth pelan saat mobil Bryan berhenti di depan butiknya.. Ia tetap berusaha tidak melihat Bryan. Jantungnya masih berdebar terlalu cepat. Seperti mau copot rasanya. Lisbeth membuka pintu, mengambil tasnya, lalu lari masuk ke butik.

Sepanjang hari, Lisbeth sulit berkonsentrasi. Pikirannya melayang-layang ke Bryan. Berulang kali, ia mengatakan kepada dirinya, Bryan punya pacar. Namun, memorinya seolah-olah mengkhianatinya. Semua kejadian di masa lampau, khususnya ketika Bryan muncul saat ia sedang down, bagaimana ia menangis di pelukan Bryan, percakapan di lapangan basket ketika open house gagal total, lalu di Oku ….

Ia sendiri sebenarnya heran. Mengapa ia bisa mudah bicara dengan Bryan. Biasanya Lisbeth tertutup, bahkan dengan Jimmy pun, pembicaraan mereka tidak selancar ketika ia dengan Bryan. Dan Bryan cowok dengar!

Lisbeth tidak berani menutup mata, karena begitu matanya terpejam, bayangan Bryan yang muncul. Lisbeth tidak tahu kenapa ia begitu.

Gila… ia sudah gila.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here