Ketika habis putus, apa yang ingin kaulakukan? Lisbeth ingin mengurung diri di kamar dan menangis selama-lamanya. Namun, butiknya harus berjalan.
Sudah sebulan sejak Jimmy mengakhiri hubungan mereka. Sebulan yang entah terasa berapa tahun. Sebulan Lisbeth terseok-seok. Terkadang, air mata mengalir sendiri. Ia melewati aneka fase dari menyesal, marah, lalu menangis. Mata Lisbeth sering bengkak. Ia tak pernah merasa sesepi itu seumur hidupnya. Bahkan, ia hanya bercerita kepada Nala, tanpa mengatakan sepatah kata kepada keluarganya maupun orang-orang lain. Ia tak ingin semua orang bertanya kenapa putus, karena itu pertanyaan yang ia tak tahu apa jawabannya.
Seorang gadis semampai dengan rambut dicat cokelat kemerahan memasuki butik. Lisbeth mengenali sepatu Louboutin dan tas Birkin yang dipakai gadis itu. Senyum Lisbeth mengembang. Sebelumnya, Anissa sudah memberi tahu bahwa temannya, Maureen, ingin memesan gaun pesta.
“Morning, Darling!” Maureen memeluknya. Ia mengibaskan rambutnya dan mengamati sekeliling butik. Tangannya meraba beberapa gaun yang dipajang lalu ia berbalik ke arah Lisbeth.
“Bagus! Ba … gus …,” puji Maureen sambil mengacungkan jempol. Ia berdecak kagum melihat motif payet-payet Lisbeth. “Anissa tidak salah. Gaun Lisbeth top!”
“Terima kasih.” Lisbeth tersenyum. Rambutnya rapi tertata, senyum tak lepas dari wajahnya. Biarpun pagi ini ia harus menyapukan foundation lebih tebal untuk menutupi kantong matanya, Lisbeth tetap terlihat menawan dan profesional. Derita hati dan lukanya, biar hanya dia saja yang mengerti.
Maureen membuka Birkin Bag-nya dan mengeluarkan sehelai kain halus. French embroidery lace berwarna peach.
“Ini dari Paris. PA … RIS …,” ejanya pelan-pelan. “Untuk dua bulan lagi. Bisa? Du-aaa.” Maureen membentuk angka dua dengan jarinya, serta-merta kilau cincin bertatahkan berlian tiga karat masuk ke mata Lisbeth. Ia sedikit terganggu dengan gaya bicara Maureen yang menganggapnya seperti anak TK. Lisbeth tahu orang seperti Maureen tak bermaksud jahat. Mereka tulus, hanya saja mereka berusaha terlalu keras.
Lisbeth tersenyum. “Bisa. Mau model seperti apa?” Tangan Lisbeth sedikit bergetar ketika menerima kain dari Maureen. Ia selalu deg-degan ketika pelanggan membawa kain sendiri. No room for error. Jemarinya meraba halus tekstur kain di hadapannya. Di benaknya langsung terpatri beberapa model yang cocok digunakan untuk Maureen.
Maureen membuka ponselnya dan menunjukkan beberapa gambar. Mereka terlibat diskusi untuk membahas gaun untuk Maureen. Sejenak, Lisbeth melupakan rasa sedihnya. Kain-kain cantik dan kerling payet membuatnya tersenyum. Ia mungkin gagal dalam cinta, tetapi ia masih punya cinta yang lain, butiknya.
Tangannya mulai bergerak cepat menggambar model yang ada di benaknya, renda di sini, sedikit Swarovski di bagian depan. Hatinya puas ketika Maureen menyukai karyanya.
***
Bryan memacu mobilnya dalam perjalanan pulang.
“Cepetan lamar Clara, ya.” Mamanya berpesan.
Bagaimana bisa ia menikah dengan Clara? Menikah dengan Clara berarti melepaskan harapan sepenuhnya untuk bersama dengan Lisbeth. Ia tidak mungkin menikah dengan Clara dan masih bertemu dengan Lisbeth seperti sekarang. Namun, Bryan butuh bertemu Lisbeth. Hanya dengan Lisbeth ia bisa merasa relaks, terutama ketika pekerjaannya banyak. Lisbeth is his doping.
Sayup-sayup suara Elvis Costello memenuhi mobil. She may be the love that cannot hope to last.
Atau ya bisa saja ia menikah dengan Clara, tetapi menyimpan Lisbeth di dalam hatinya. Nobody has to know ….
Seperti hari ini, ia mampir ke butik Lisbeth sambil membawa majalah Sunter Lyfe edisi terbaru.
“Hi Lisbeth, sudah lihat?” tanya Bryan semringah. Saat menyaksikan gelengan kepala Lisbeth, senyum Bryan makin lebar. Ia membuka halaman tengah, di situ ada pose dirinya berseragam Bubbly Tea merangkul Danar. Wawancara eksklusif tentang bagaimana Bubbly Tea merangkul kaum Tuli. Dalam wawancaranya, Bryan menjelaskan pentingnya memberi ruang kepada para teman Tuli untuk berkarya.
“Wow!” Lisbeth mengambil majalah itu dan dengan cepat membacanya. “Bagus sekali! Boleh difotokopi? Buat arsip sekolah.”
“Tentu saja!”
Hari ini, Bryan sengaja pulang lebih cepat. Urusan closing ia serahkan kepada Ayu. Ia tak sabar menunjukkan majalah itu kepada orang tuanya. Ini wawancara khusus pertamanya! Akhirnya, ada orang luar yang mengakui jerih payahnya. Semoga majalah ini bisa membuat orang tuanya terkesan.
Harapan Bryan sedikit menciut ketika memandang mobil Mercedes milik Benny terparkir di depan rumah. Ini baru hari Selasa, tidak biasanya Benny datang ke rumah Sunter di awal minggu. Ketika ia membuka pintu, suara tawa keponakan-keponakannya terdengar nyaring. Bryan makin bertanya-tanya. Hari libur? Bukannya besok mereka masuk sekolah?
Di area makan, Ah Liong dan Benny duduk santai sambil tertawa. TV mereka sedang menayangkan Peppa Pig. Dari dapur, Mei Hwa dan Vina membawa aneka hidangan. Alis Bryan terangkat, ada berita baik apa? Ia melirik dua botol wine di tengah meja. Ah Liong dan Benny duduk santai, sesekali mereka menyeruput red wine.
“Baru pulang, Bryan?” sapa Vina hangat ketika melihatnya. Ah Liong dan Benny seketika itu berhenti tertawa.
“Ayo makan-makan, Bryan,” ajak Mei Hwa cerah.
Bryan melirik Ah Liong dan ingat bagaimana ia dimarahi karena makan sebelum mandi. “Aku mandi dulu.”
“Jangan lama-lama!” pesan Mei Hwa.
Ketika Bryan kembali ke ruang makan setelah mandi dan mengganti baju, keponakan-keponakannya sudah mulai makan.
“Nata, Nathan, ayo bilang apa sama Shu-shu Bryan?” pancing Vina.
“Shu-shu, makan,” sahut Natasha dan Nathan serentak.
“Makan-makan,” kata Bryan sambil tersenyum.
“Ada acara apa, nih?” tanya Bryan mengamati hamparan makanan di meja, Udang galah asam manis, gurame goreng, nasi goreng seafood, angsio tahu, cah dou miao, dan semangkuk besar sup asparagus.
“Nothing special,” jawab Benny.
Vina tertawa dan merangkul suaminya. “Apanya yang biasa? You’re 40 under 40 Fortune magazine, Babe!”
Mei Hwa buru-buru mengeluarkan majalah dengan cover mengilap yang mewah. Tangan Mei Hwa yang mulai keriput membalik majalah itu dengan hati-hati seolah-olah takut membuatnya lecek. Di halaman 24, Benny mengenakan jas hitam dengan tangan tersilang di depan dada, aura percaya diri terpancar dari foto itu. Di bawahnya, dengan huruf tebal berwarna hitam tercetak Benny Lau. Age 35. Title: CEO. Company: Lau’s Group.
Senyum masam menghiasi wajah Bryan. Ia teringat akan majalah Sunter Lyfe, dengan cover seorang model lokal berfoto di sekitar Danau Sunter. DI bawahnya, ada judul berwarna hijau stabilo yang dibuat dengan Word Art, “Tempat Asyik Di Akhir Pekan”. Ia bersyukur ia tidak membawah majalahnya turun. Kalau tidak, mungkin Benny sudah akan menyindir, “Wow. Sunter Lyfe, what an achievement!”
“Selamat, Koh,” ujar Bryan kaku.
“Thanks, Gimana bisnis … eh bubble tea?” tanya Benny sambil memutar gelas wine-nya.
Bryan merasa perutnya mual. Apa yang ia bangga-banggakan sebelumnya, benar-benar tak ada artinya dibandingkan dengan Benny. Ia sudah bekerja membanting tulang, rekor tertingginya hanya masuk majalah lokal. What a joke ….
***