Kenapa orang merayakan ulang tahun? Kenapa harus dirayakan? Itu pertanyaan Bryan. Bukannya karena ia tak suka perayaan ulang tahun. Ia selalu mengajukan pertanyaan itu untuk menghibur hatinya ketika tak ada yang ingat jika ia berulang tahun.

Bryan berjalan memasuki butik. Siang tadi, Lisbeth mengirim chat memintanya untuk datang ke butik. Ia bertanya-tanya kenapa Lisbeth memintanya datang? Saat menyaksikan kedatangan Bryan, Lisbeth membereskan pekerjaannya. Sambil tersenyum manis, ia menyodorkan kotak beludru hitam yang diikat dengan pita satin biru kepada Bryan. “Selamat ulang tahun.”

Ulang tahun? Tentu saja ia ingat hari ini ia berulang tahun. Namun, ia tak ingat kapan ia menerima hadiah ulang tahun dari keluarganya. Kerongkongan Bryan tersekat. Lisbeth ingat.

Dengan terbata-bata, Bryan memberi gestur dengan bahasa isyarat, “Thank you.”

“Dibuka ya,” kata Lisbeth.

Bryan membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat tiga dasi sutra bercorak berwarna biru, abu-abu, dan hitam.

Lisbeth tertawa. “Bagus tidak? Aku jahit pakai tangan.”

“Coba, ya.” Lisbeth mengambil dasi hitam bergaris-garis. “Ini silk. Halus. Bryan biasanya pakai dasi corak.”

Lisbeth mengalungkan di leher Bryan dan mulai memasang dasi di kemeja Bryan. Bryan nyaris tidak berani bernapas. Ia bisa mencium samar-samar rambut Lisbeth. Tampaknya Lisbeth sama sekali tidak sadar Bryan menelan ludah beberapa kali. 

“Maaf. Aku tidak biasa … memasang dasi dari sini,” kata Lisbeth sambil tertawa.

Bryan hanya tersenyum gugup. “Tidak apa-apa.”

Sebenarnya, ia ingin waktu berhenti. Ia ingin memeluk gadis itu erat-erat, menciumnya. Dengan Clara, ia tidak pernah berpikir untuk menciumnya. Kissing is too personal. Tiap mereka berdekatan, bayangan Lisbeth selalu muncul. Bryan tak ingin mengkhianati Lisbeth. Stupid thought. Terkadang Bryan dikejar cemburu membayangkan Lisbeth berduaan dengan Jimmy.

Setelah beberapa kali mencoba, Lisbeth berhasil memasang dasi dengan posisi yang benar. Lisbeth mundur.

“Bagus. Seperti bayanganku!” Lisbeth bertepuk tangan.

Bryan menatap Lisbeth. Mencari rasa di mata Lisbeth yang bening. Apa yang ia temukan … lagi-lagi tatapan desainer yang puas dengan hasil kerjanya. Desainer yang sedang menatap pelanggannya.

“Suka?”

Bryan mengangguk. “Bagus. Terima kasih, ya.”

Lisbeth sibuk mencari di tumpukan kainnya. Ia lalu kembali membawa beberapa kain sutra.

“Bryan punya banyak kemeja biru muda, putih, merah marun, hitam,” kata Lisbeth sambil memisahkan beberapa kain. “Nanti kalau Lisbeth sudah ada waktu, Lisbeth jahitkan lagi, ya.”

Bryan tertegun. “Lisbeth.” ia menepuk bahu Lisbeth.

“Ya?” Lisbeth menatap Bryan.

“Lisbeth hafal kemejaku?”

Lisbeth tertawa. “Aku payah mengingat nama orang, tidak bisa memasak, tidak bisa membaca peta, tapi aku ingat baju orang, warna dan modelnya.”

Ia menata beberapa kain sutra. “Ini bagus untuk kemeja merah marun dan pink muda. Ini … untuk kemeja hitam. Ini untuk kemeja putih. Ini untuk acara kasual … Ini untuk business meeting … Ini untuk pesta. Bryan suka?” Lisbeth menatap Bryan.

“Ya suka, tapi tak usah. Lisbeth sibuk.”

“Tak apa. Bryan suka membelikan aku minuman. Membantu klien … dan kemarin waktu di Oku. Makasih, ya.” Lisbeth tertawa malu. Ia menggaruk kepalanya. “Tapi agak lama, ya. Ini jahit tangan. Tidak pakai mesin.”

“Kenapa jahit tangan? Apakah kain rusak jika pakai mesin?”

“Oo, tidak.” Lisbeth menatap Bryan sambil tersenyum. “Buat Bryan, harus paling bagus.”

Adakah yang lebih ironis daripada ini? Gadis yang ia cintai membuat sesuatu yang istimewa untuk hari ulang tahunnya, bahkan mengatakan untuk dirinya harus yang paling baik. Ingin rasanya Bryan berkata, “What I really want is you.” Namun, lidahnya terlalu kelu, Bryan terlalu penakut untuk mengatakan perasaannya.

Dengan tatapan nanar, Bryan berpamitan. Ia tak tahan lebih lama lagi di situ, khawatir dirinya bisa lepas kendali dan melakukan hal yang bisa ia sesali. Bryan memacu mobilnya, mencoba lari dari rasa bersalah. Setiap habis bertemu Lisbeth, rasa bersalah itu muncul. Mama dan papanya sudah bolak-balik memberikan tanda bahwa mereka menyetujui hubungannya dengan Clara.

“Lamar cepetan! Mama beliin kalung, ya!” ujar Mei Hwa dengan semangat 45.

Setiap mereka berpapasan untuk sarapan atau makan malam, pertanyaan Mei Hwa selalu sama, “Sudah beli cincin? Kapan mau dilamar?”

Bryan benar-benar kehabisan kata.

Clara is the girl he can live with.

Lisbeth is the girl he can’t live without.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here