Sebuah maneken berbalutkan furing warna kulit berdiri manis di tengah ruangan. Seperti lebah, Lisbeth berkali-kali mengelilingi maneken.

Tidak seperti ini! Ia menggeleng. Salah seorang kliennya meminta gaun pesta dengan gaya nude dan transparan. Setelah koreksi desain beberapa kali, akhirnya disepakati desain terakhir, gaun body fit dengan bagian luar kain transparan yang dihiasi oleh kristal Swavoski dan payet-payet putih. Masalah timbul ketika Lisbeth mencoba membuat dalamannya.

Kain furing terlalu tebal! Ini bukan nude. 

Lisbeth menggigit bibir. Membuat desain sketsa itu tak mudah, tetapi membuat desainnya menjadi nyata itu tantangan yang lebih sulit.

Tini melongok. “Wow! Bagus!”

“Tidak, ini jelek sekali,” keluh Lisbeth. Bagaimana bisa Tini tidak menyadari bahwa gaun ini sangat buruk? Lisbeth mencubit-cubit bibirnya lagi. Tak bisa! Ia harus mencari kain lain. Sekonyong-konyong ia teringat seseorang yang bisa membantunya.

Sore harinya, Lisbeth dan Nala menyusuri toko-toko kain di Pasar Baru. Mereka sudah mencoba di Toko Kintan, tapi tak ada kain seperti yang ia mau.

Nala menunjuk ke sehelai kain berwarna kulit. “Ini bagaimana?”

“Tidak bisa, terlalu mengilat,” tolak Lisbeth. Terpaksa mereka berjalan keluar lagi. Ini sudah toko ketiga yang mereka masuki.

“Terima kasih sudah mau bantu,” ucap Lisbeth.

“Tidak apa-apa. Hari ini tidak ada kelas,” jawab Nala. Lisbeth gembira proses konseling Nala berjalan lancar. Nala perlahan-lahan pulih. Kini, ia mengajar kelas Matematika, Sempoa di Yayasan, dan membantu Bu Euis untuk pembukuan. Kintan kecil pun tumbuh sehat dan gendut.

“Coba lihat sketsa lagi,” pinta Nala. Lisbeth memberikan buku sketsanya.

“Kain dalam harus ringan, tipis tetapi tidak terlalu tipis. Transparan tapi tidak terlalu transparan. Bisa membayangkan?” Lisbeth mencoba menjelaskan. Nala mengamati sketsa Lisbeth dengan saksama.

Mereka tiba di toko keempat. Lisbeth memberikan sketsa sambil mencoba berkomunikasi dengan pelayan toko sedangkan Nala berjalan-jalan di antara gelondongan kain. Pelayan mencoba memberikan beberapa kain furing tipis, tetapi semuanya tak seperti yang Lisbeth mau. Mendadak, ia merasa tangan Nala menggamitnya. Ia menunjukkan kain yang sepintas kelihatan seperti bahan stoking warna kulit.

“Ini?”

Lisbeth memasukkan tangannya ke bawah kain dan dengan jelas ia bisa melihat bayangan tangannya. “Terlalu transparan.”

Nala tidak hilang akal, ia melipat kain itu menjadi dua dan memasukkan tangannya ke bawah kain. “Bisa?”

Sontak, Lisbeth menjadi cerah. Ia buru-buru mengeluarkan kain berhiaskan Swaroski yang ia bawa. Ia menaruh kain Swarovski di atas kain yang Nala pilih dan … sempurna!

Nala dan Lisbeth tertawa girang. Berhasil!

Lisbeth menatap sahabatnya. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Sebenarnya, Nala lebih bisa membantunya daripada Tini. Nala seperti dirinya, besar di toko kain. Ia paham karakteristik kain dan Nala bagus dalam berhitung. Jauh lebih bagus daripada dirinya.

“Ayok kita makan bakso!” ajak Lisbeth membawa Nala ke kedai bakso terdekat. Sambil menunggu bakso, mereka bercakap-cakap.

“Danar bagaimana? Suka di kafe?” tanya Nala.

Wajah Lisbeth sedikit muram. “Besok kata Bryan, Danar harus dites.”

“Tes apa?”

“Apakah bisa bekerja di kafe.”

Nala mendecak dan memutar bola matanya. “Orang dengar aneh-aneh saja. Mengapa Anak Tuli tidak bisa?”

Lisbeth hanya mengangkat bahu. Besok, ia akan ke outlet pagi-pagi untuk memberi semangat kepada Danar.

***

Bryan tak ingat kapan ia merasa begitu grogi menghadapi ujian. Ia tak pernah belajar, tak pernah berjuang mendapat nilai bagus. Ia selalu masa bodoh. Percuma, sekeras apa pun ia belajar, ia selalu kalah dari Benny. Hari ini, bukan ia yang diuji, tetapi kenapa jantungnya sedari pagi terasa seperti orang sehabis berlari maraton.

Hi Bryan,” sapa Johnny sambil menjabat erat tangan Bryan. Jam baru menunjukkan pukul 8.30. Biasanya, hanya ada 1-2 pegawai yang mempersiapkan outlet. Hari ini tidak. Ada Dimas, Danar, Ayu, Lisbeth, dan dirinya.

“Kenalin, ini partner gue.” Johnny menunjuk ke seorang gadis cantik berambut bob dengan peach working pants dan seorang pria muda berambut cepak dengan kaus hitam fit body. Bryan menjabat erat tangan mereka dan memberi isyarat supaya Danar mengikutinya.

Jangan lupa senyum. Bryan membuat kode senyum dalam Bisindo untuk mengingatkan Danar yang saking gugupnya lupa tersenyum.

Johnny dan kedua partnernya memulai wawancara mereka dengan Danar dari hal-hal sepele seperti motto Bubbly Tea – More Bubble More Life, hingga hal-hal teknis. Mereka menilai bagaimana Danar mencuci dan membersihkan peralatan membuat boba.

Matcha macchiato chocolate.” Johnny memesan minuman.

Peach cold brew tea,” ujar pemuda kaus hitam sambil tersenyum.

“Saya ….” Gadis berambut bob sedang berpikir. “Speciality—hari ini apa, Mas?”

Uh-oh, Bryan sedikit panik. Gadis itu berbicara sambil menaruh keempat jari di depan mulut. Gaya yang biasa dilakukan secara refleks oleh orang-orang ketika berpikir, tetapi itu menyebabkan Danar tidak bisa membaca gerak bibir gadis itu. Bryan hampir menyela ketika ia merasa tangan Dimas menahannya. Dimas menggelengkan kepala, memberi tanda supaya Bryan tidak ikut campur.

“Maaf … bisa tolong … ulangi?” tanya Danar terbata. 

“Hmm … enggak jadi, deh.”

Okay,” jawab Danar singkat.

Bryan menepuk jidatnya. Tidak boleh begitu, Danar! Barista harus proaktif. Ia menggeram kesal. Lisbeth menggamit tangan Bryan, tangannya bergerak membentuk kata, Kenapa?

Dalam Bisindo yang terpatah-patah, Bryan menjelaskan apa yang terjadi kepada Lisbeth. Raut wajah Lisbeth sama khawatirnya dengan dirinya. Tangan Bryan tanpa diduga meraih jemari Lisbeth dan meremasnya. Berusaha menenangkan Lisbeth padahal hatinya sendiri berdebar. Kulit Lisbeth halus sekali. Mereka berdiri bersisian seolah-olah ingin saling menguatkan. Wangi body lotion lavender yang Lisbeth pakai mengelitik di hidungnya. Sesaat, Bryan lupa bahwa ada Clara dan Lisbeth sudah ada yang punya.

Bryan menarik napas sedikit lega menyaksikan Danar dengan cekatan membuat matcha macchiato chocolatedan mengocoknya tepat seperti yang Bryan ajarkan. Ia pun memberikan matcha kepada Johnny sambil tersenyum dan menyebut nama minuman dengan jelas. Untuk peach cold brew tea juga Danar membuatnya dengan lancar dan cepat.

Johnny dan si kaus hitam menyeruput minuman mereka sambil mengangguk-angguk.

“Bagaimana, John?” Bryan bertanya berusaha supaya nadanya terdengar biasa aja.

“Enak,” puji Johnny. Senyum Bryan makin melebar.

“Nanti kita kasih keputusannya, ya,” kata Johnny. Sebelum pergi, Johnny menyalami Danar dengan erat sedangkan si kaus hitam menepuk bahu Danar dan menghadiahinya senyum lebar dan sebuah jempol.

“Semangat, ya,” pamit si gadis bob.

Danar mengantar mereka ke pintu dan membukakan pintu buat mereka. Suasana di outlet masih terasa tegang hingga mobil Johnny menghilang di belokan.

Not that bad, right?” tawa Dimas memecah keheningan. “Danar, bagus! Nothing to worry about.

Bryan berharap demikian.

“Aku balik dulu, ya,” pamit Lisbeth.

“Aku antar, yuk.” Bryan kangen bercakap-cakap dengan Lisbeth. Sepintas ia merasa ponselnya bergetar. Ada pesan dari Clara. Tanpa membuka pesannya, Bryan mematikan ponsel lalu berjalan ke arah Lisbeth yang menunggunya.

“Butik bagaimana?” tanya Bryan di perjalanan.

“Lumayan. Sekarang ada 2-3 pesanan,” cerita Lisbeth bangga. “Bryan sekarang sibuk?”

“Tidak? Kenapa?”

“Sekarang Bryan jarang WhatsApp seperti dulu,” kata Lisbeth polos.

Bryan tertawa sumbang. Harus menjawab seperti apa? Aku patah hati karena ternyata kamu sudah punya pacar?Aku sekarang kontak dengan Clara because I can’t contact you?

“Nanti Jimmy cemburu,” jawab Bryan.

Gantian Lisbeth yang tertawa. “Kenapa cemburu? Bryan kan teman. Kalau sudah pacaran apa tidak boleh berteman? Boleh, kan?”

Tentu saja boleh, but I want more, LisbethI want more, bisik Bryan getir. Getir bertambah ketika wajah Clara pun hadir.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here