Berapa banyak tenaga yang kau mau keluarkan untuk membantu orang lain menggapai mimpinya? Membantu orang lain mencapai mimpi? Terdengar konyol sekali, bukan? Pagi ini, lagi-lagi Bryan sengaja bangun lebih pagi untuk melatih Danar.
“Taro Brown Sugar Bubble Tea,” perintah Bryan kepada Danar. Danar mengangguk dan segera meracik minuman berwarna ungu muda. Di meja depan Bryan, sudah berjejer green tea matcha, Thai milk tea, dan slush mango. Ada catatan yang diberikan Bryan di depan masing-masing minuman. Matcha terlalu manis. Thai milk tea, kocok kurang kencang. Juga ada piring berisi cripsy chicken, sweet potato fries yang juga diberi catatan oleh Bryan.
Bryan harus memastikan Danar hafal di luar kepala semua resep minuman mereka.
“Taro brown sugar bubble tea,” ujar Danar sambil menyerahkan minuman itu dengan sedikit membungkuk.
“Jangan lupa senyum.” Bryan mengingatkan. “Harus senyum!”
“Iya, Pak.”
Bryan menyeruput minuman ungu itu. Ia mencecap rasa segar yang memenuhi rongga mulutnya. “Pas.”
Senyum lebar mengembang di wajah Danar. Bryan menepuk bahu Danar. “Besok kita latihan lagi. Ini sudah mau jam peak hour.”
“Terima kasih, Pak.”
Ponsel Bryan berbunyi. Wajah mamanya muncul di layar. Bryan hendak mengabaikan telepon mamanya, tetapi bunyinya terus berdering memekakkan telinga.
“Ya, Ma?”
“Bryaaan ….” Ia tak pernah mengerti mengapa mamanya harus mengucapkan namanya beberapa detik lebih panjang.
“Ada apa, Ma?” tanya Bryan lagi.
“Nanti malam jangan lupa jemput Clara, ya! Kita makan di Putien.”
Sigh. Ia sebenarnya ingin berkata, tidak, no, thanks. Don’t want. Namun, kata-kata yang meluncur dari mulutnya justru janji. “Okay, Ma.”
Sabtu dua minggu lalu, Clara muncul di rumahnya karena diundang Vina. Ia bisa mencium modus yang dilakukan oleh Aso dan mamanya. Mereka lalu meninggalkan Bryan berdua dengan Clara. Untung Clara gadis yang menyenangkan untuk diajak bicara. Mereka berbincang-bincang dan Clara tampak tertarik ketika Bryan menceritakan soal YST sekolah di Sentul. Selama dua minggu, mereka terkadang berbalas pesan.
Rasa bersalah terkadang menyelinap karena ketika Bryan mengingat Lisbeth, ia akan mengangkat ponselnya dan menghubungi Clara. Hati kecilnya berkata itu salah. Salah karena tidak seharusnya ia menjadikan Clara pelarian. Namun, siapa tahu Clara bisa membantunya melupakan Lisbeth?
***
Restoran Putien, PIK Avenue Mall.
Barisan orang mengular di depan Restoran Putien. Tanpa menghiraukan orang-orang yang mengantre, Bryan berjalan ke depan dan berbicara kepada pelayan. Clara sedikit salah tingkah. Ia tak ingin kelihatan seperti orang tidak beradab yang menyelak antrean. Apalagi jika ia bertemu dengan muridnya. Duh! Beban menjadi guru, di mana saja, kapan saja ia harus menjadi panutan. Guru. Digugu dan ditiru. Untungnya dalam sekejap, seorang pelayan datang dan mengantarkan Bryan dan Clara masuk private room Putien.
Kata Bryan, papanya tidak suka makan di ruangan besar bersama dengan tamu-tamu lain. Jika mereka makan sekeluarga, papanya biasanya akan memesan private room. Clara mengangguk mengerti. Di keluarga Chinese, sangat biasa bahwa makan malam tak pernah semata-mata hanya makan. Pasti ada diselingi perbincangan mengenai bisnis keluarga. Clara memeriksa dirinya di pantulan kaca, memeriksa riasannya sebelum ia masuk ruangan. Clara pernah bertemu dengan mama Bryan, tetapi ia belum pernah bertemu dengan papa Bryan, Ah Liong. Lagi pula, ini bukan acara biasa. Diundang makan malam dengan keluarga, ujian untuk menilai apakah ia dianggap layak atau tidak.
Ah Liong, Mei Hwa, dan keluarga Benny dengan kedua nanny-nya sudah berada di private room.
“Pa, ini Clara.” Bryan mengenalkan Clara kepada Ah Liong.
“Ayik, Acek … wan an …,” sapa Clara. Ia sudah bertanya pada cicinya yang bertanya kepada Vina bagaimana harus menyapa orang tua Bryan: Om Tante, Ayik Shu-shu, Ayi Om atau Apa, serta pakaian apa yang harus ia pakai.
Ah Liong menilai Clara dari atas sampai bawah. Clara merapikan sedikit cheongsam biru yang dikenakannya. Diam-diam, ia juga memperhatikan orang tua Bryan. Keduanya berpenampilan perlente. Ah Liong mengenakan jam tangan Patek Phillipe yang sering Clara lihat dikenakan oleh beberapa orang tua muridnya. Sedangkan Mei Hwa mengenakan blus merah bermotif kembang-kembang besar dengan warna mencolok, kalung salib yang berkilauan. Berlian. Di kedua lengan Mei Hwa, terpasang sebuah gelang emas setebal semprotan air dan sebuah gelang batu giok yang Clara taksir harganya lebih mahal daripada dua bulan gajinya. Rambut Mei Hwa disasak tinggi pasti hasil penata rambut dari salon ternama.
“Clara sini duduk sebelah Ayik,” perintah Mei Hwa. Dengan patuh, Clara duduk di sebelah kanan Mei Hwa. Bryan mengambil kursi di sebelah Clara. Benny, Vina, anak-anak, dan nanny-nanny mereka duduk juga mengelilingi meja bundar. Di tengah meja ada kaca bundar yang bisa diputar.
Begitu Clara duduk, Mei Hwa mulai mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Ah Liong diam saja, sibuk makan kacang.
“Clara shionya apa?” tanya Mei Hwa
“Kerbau, Ayik.”
Wajah Mei Hwa langsung bersinar kegirangan. “Wah shio kebo itu cocok sekali sama shio tikus, shionya Bryan. Hao hao! Perempuan shio kebo itu istri yang baik, telaten ngurus rumah, sabar. Wah, Bryan hoki kamu kalau dapat bini shio kebo.”
Clara hanya senyum-senyum. Ia tidak percaya shio, tetapi kalau menurut mama Bryan shionya cocok, ia juga tidak menolak.
Pelayan berseragam datang membawa makanan ke meja mereka. Cereal prawn, braised bean curd with cabbage, sambal kangkung, claypot chicken with red wine, dan dua porsi chilli crab Putien sweet and sour pork, claypot fish soup, dan lor mee.
“Ayo-ayo, ki to seng, berdoa dulu,” perintah Mei Hwa. Mereka semua melipat tangan dan menunduk.
Begitu amin, Natasha dan Nathan menyapa semua orang di meja makan, “Kung-kung, Pho-pho, Papa, Mama, Shu-shu, Ii, makan!”
Bryan mengikuti, “Pa, Ma, Ko Ben, Aso, makan!”
Clara menyusul, “Acek, Ayi, Ko Ben, Ci, makan!”
Terakhir giliran Ko Ben dan Vina, “Pa, Ma, Makan.”
Papa Bryan mengangguk puas. “Makan-makan,” gumamnya.
Clara menelan ludah. Ia tahu bahwa di keluarga Chinese Totok, generasi termuda harus menyapa generasi tua sebelum menyantap hidangan. Satu per satu dalam urutan yang benar dan tidak boleh tertukar. Apek Akim, Shu-shu, O-oh, Oh-Tio, Engku engkim Ayi, Yik Tio, dan seterusnya. Jika mamanya punya dua saudara perempuan, harus dibedakan Da Yik (Yik pertama), Er Yik (Yik kedua).Yup, persis seperti di film Kungfu, Bibi Kelima, Kakak Ketujuh.
Belum lagi nama panggilan yang berbeda untuk keluarga papa dan keluarga mama yang wajib dihafalkan. Keluarganya lebih santai tidak seformal keluarga Bryan. Ia bersyukur Vina sudah memberi tahu sebelumnya. Jika ia sampai salah, bisa-bisa ia dianggap tidak tahu adat! Guru Mandarin yang tidak tahu adat, memalukan!
“Kamu mau udang?” tanya Clara. Bryan mengangguk, Clara mengambil piringnya dan menaruh dua udang di situ. Mengambilkan makan, itu salah satu aturan tak tertulis dalam table manner keluarga Chinese. Mama mengambilkan makanan untuk suami dan anak-anak. Istri mengambilkan makanan untuk suami, tetapi tidak sebaliknya.
“Thanks,” jawab Bryan mengambil piringnya kembali.
“Clara, ngajarnya sibuk?” tanya Mei Hwa.
“Lumayan, Ayik. Saya ngajar tiap hari. Malam masih ada murid les juga,” jawab Clara sopan.
“Ooo terlalu sibuk. Kurangi aja murid lesnya. Kalau enggak, nanti enggak bisa sering-sering ketemu Bryan.” Mei Hwa mengerling. Clara hanya tersenyum.
“Clara berapa tahun di Cung Kuo, China?” Ah Liong bertanya sambil mengupas kepitingnya.
“Enam tahun, Acek. Empat tahun kuliah, dua tahun kerja.”
“Bisa bahasa Cantonese?” tembak Ah Liong langsung.
Clara tersenyum, “Tidak selancar Mandarin, Acek.”
“Kalau Acek kirim ke sana, Clara bisa belajar khusus Cantonese?” tanya Ah Liong sambil menatap Clara lekat-lekat. “Cantonese enggak gampang. Nadanya ada delapan, lebih banyak dari Mandarin.”
“Betul,” jawab Clara sengaja tidak menjawab pertanyaan pertama.
“Bisa atau tidak?” Ah Liong ternyata tidak lupa akan pertanyaannya.