Dua minggu setelah itu, Wim masuk ke kamar mamanya yang sedang menonton drama Chiung Yao di TV.

“Ma,” sapa Wim sopan.

Perempuan itu mendengus. “Sudah pulang? Anak durhaka yang jalan-jalan sama istri lupa sama mamanya sendiri? Kasih Mama sama kamu itu sebanyak bulu kebo. Kasih kamu buat Mama itu cuman sepanjang bulu kebo!”

“Ini buat Mama.” Wim menaruh satu tas besar di meja dekat mamanya. Mamanya melirik. Ada dua pak besar asinan buah kering kesukaannya, beberapa koyok yang biasa ia pakai, Pien Tze Huang, serta satu set baju dan sepatu.

“Oleh-oleh dari Xin Jia Po, Singapur buat Mama.”

Mamanya tetap diam. Wim mendekat, mengambil baju dan sepatu lalu meletakkannya di pangkuan mamanya. “Ini Heni yang pilih. Warna kesukaan Mama, pink.”

Mama menyentak tangan Wim.

“Mantu mo yong enggak guna. Anak tiga, semua perempuan. Tuli, pula,” bentaknya. “Hamil ketiga sudah Mama bilang, Gugurin, buang aja bayinya. Daripada Tuli lagi. Eh, kejadian. Mo yong!

Wim membungkuk dan mengambil baju serta sepatu itu. Ia tetap tenang. Rentetan makian yang ditujukan kepada istrinya keluar dari mulut mama yang mengandungnya. Hati Wim pilu. Hingga satu kata terucap.

Mamanya mendelik. “Pakai pelet apa fanpo itu sampai kamu tergila-gila sama dia?”

Fanpo … Wim menelan ludah. Ia merogoh sakunya, menyodorkan tiga helai kertas ke tangan mamanya.

“Ma, Wim habis buka tabungan di Singapura. Buat Heni, Lisbeth, dan Liona.”

Mendengar kata tabungan yang berarti uang, Mama Wim langsung mengambil kertas itu.

Ci sinn! GILA kamu!” teriak mamanya ketika membaca angka yang tertera di kertas itu.

Wim sudah bersiap mamanya akan marah.

“Kalau Mama berantem dengan Heni, Wim akan transfer uang ke rekening ini buat tabungan Heni dan anak-anak.”

“DURHAKA kamu! Ini uang susah payah kamu dapat! Mau kamu kasih ke fanpo itu!”

Wim berusaha tetap tenang. “Dari kecil Papa-Mama selalu ngajarin Wim untuk jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Xin ren. Yang bisa dipegang ucapannya. Papa kasih nama Wim, zung saam. Loyal. Orang yang bisa dipercaya.” Ia berlutut di depan mamanya. Kedua tangannya bersoja di depan dada. Ia berharap dengan bersoja, ia bisa melembutkan hati mamanya. 

“Waktu Wim menikah dengan Heni, Wim janji akan jadi suami yang bertanggung jawab. Bagaimana Wim bisa pegang janji Wim jika sekarang Wim ceraikan Heni?”

Jik zi! Tak berbakti!” bentak mamanya.

Suara Wim bergetar. Itu kata paling menakutkan di telinganya. Tak berbakti.

“Jika Mama memaksa Wim untuk menceraikan Heni, berarti Mama memaksa Wim jadi orang yang tidak bertanggung jawab. Ingat ada karma, Ma. Mama tak mau ada karma buruk di hari tua Mama, kan?”

Mamanya masih diam saja.

“Wim tidak mau Mama kena karma buruk karena menelantarkan menantu dan cucu-cucu darah daging Mama.”

Mamanya tetap diam seribu bahasa, tetapi raut mukanya sedikit berubah. Mamanya percaya karma. Wim tahu betul. Jika berbuat baik, rezeki belum datang, tetapi musibah sudah menjauh. Jika berbuat jahat, musibah belum datang, tetapi rezeki sudah menjauh. Wim pun percaya itu.

“Ma, enggak suka sama Heni itu hak Mama. Mama tidak mau mengakui Lisbeth dan Liona sebagai cucu Mama juga Wim tidak akan marah. Wim cuman minta Mama tidak berantem dengan Heni. Itu saja. Lisbeth dan Liona, Mama boleh coret dari surat warisan. Wim pun Mama boleh coret, tapi Wim tidak akan ceraikan Heni.”

Wim bersujud, meletakkan dahinya di lantai di dekat kaki mamanya. Wim gui, posisi yang menunjukkan penghormatan penuh. Ia tak hanya berlutut bersoja, melainkan menaruh dahinya di lantai.

“Mama capek. Gwan hoi, keluar,” dengus mamanya.

Wim bangkit. “Saya permisi, Ma.”

Mamanya melihat tempat Wim bersujud. Ada yang mengilat di situ. Mamanya meletakkan ujung jempol kakinya. Basah. Air mata Wim.

***

Semua kejadian itu seperti baru kemarin terjadi walau sesungguhnya sudah belasan tahun berlalu. Tak lama sejak kejadian itu, Mama meminta Wim merenovasi gudang belakang mereka. Wim membangun paviliun berlantai dua yang terpisah dari bangunan utama, sesuai dengan keinginan mamanya. Mama pindah ke situ. Setiap pagi, Heni membawa anak-anaknya untuk berpamitan. Mama tetap dingin. Tahun-tahun terakhir dalam hidupnya, Mama kembali ke rumah utama, kakinya sudah lemah karena diabetes mulai menggerogoti tubuhnya. Heni yang merawat hingga hari terakhir Mama, dan Mama tetap dingin sampai akhir hayatnya.

Jika bukan karena Mak Kintan yang mengingatkannya, ia mungkin akan terjatuh di lubang yang sama dengan suami Nala. Peristiwa dengan mama kandungnya membuka mata Wim, betapa sulitnya kehidupan anak-anak Tuli. Keluarga sendiri menolak, bagaimana dengan masyarakat umum?

Tekad Wim makin berkobar untuk mendukung Lisbeth dan Liona untuk berhasil. Tak ada yang terlalu mahal buat putri-putrinya. Ketika Livi ingin mendirikan Yayasan Sahabat Tuli, Wim mendukung penuh. Siapa yang bisa mengerti lara keluarga Tuli selain keluarga Tuli yang lain?

Wim berjalan keluar dari kebun, ingin kembali ke gedung asrama. Sebuah BMW memasuki lapangan parkir. Wim mengernyitkan kening. Siapa yang datang?

***

1. Di depan baik seperti manusia, di belakang seperti setan :  当面是人,背后是鬼.  dang mian shi ren, hou mian shi gui.


[1] Jiā jiā yǒu yī běn nán niàn de jīng: setiap keluarga punya kitab yang sulit untuk dibaca. Tidak ada keluarga yang sempurna.

[2] 当面是人背后是鬼 dang mian shi ren, bei hou shi gui : tampak muka seperti manusia, dari belakang seperti setan. Orang yang bermuka dua.

[3] 家丑不可外扬 jiā chǒu bù kě wài yáng: borok keluarga tidak boleh tersiar di luar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here