Pagi hari, Bryan dan Danar baru mulai melakukan bersiap membuka outlet ketika Dimas datang dengan senyuman lebar.
“Pagi, Bro,” sapa Dimas.
“Lo kalo datang pagi-pagi biasanya bawa kabar buruk,” gerutu Bryan.
Dimas hanya menyeringai. “Bro, Jhonny mau ke outlet next week.”
“Ngapain?”Alis Bryan bertaut.
“Dia mau evaluasi program inclusive outlet kita. Udah 3 bulan lebih, kan?” jawab Dimas, tangannya memutar bolpoin dengan santai. Bryan menarik Dimas menjauh dari Danar. Amarah menggeledak di hati Bryan! Ini outlet!miliknya! Selama ini, tak pernah ada karyawan yang perlu dites oleh orang pusat. Bryan tahu ini karena Danar Tuli.
“Kenapa harus dievaluasi? Gue suka sama kerjanya Danar,” bela Bryan. Hatinya merasa tak enak mendengar kata evaluasi. Bryan pun gemas dengan gaya Dimas yang begitu cuek. Ini masa depan Danar! Impian Danar!
“Bro, kita ini cuman franchise. Kagak bisa bikin program sendiri. Semua kudu ada approval dari pusat,” jelas Dimas. Tentu saja Bryan tahu, tetapi mengapa ia merasa sedikit tidak terima.
“Kecuali lo bikin outlet sendiri,” dorong Dimas.
“Modal dari mana?” sungut Bryan. Waktunya di F&B menyadarkan bahwa ternyata tidak semudah itu membuat bisnis. Bagi mereka yang hanya franchise, semua resep sudah disediakan, semua bahan baku sudah disediakan, bahkan sampai ke gelas plastik, sedotan, tisu semuanya tinggal pesan, marketing pun dibantu oleh tim pusat, kadang-kadang saja ia deg-degan jika bulan tertentu lebih sepi. Memulai dari nol? Tidak semudah itu, Ferguso!
“Mau disuruh apa Danar?”
Dimas tergelak. “Bro, bro, pas awal dulu, lo sengitnya setengah mati. Sekarang lo kayak induk ayam kebakaran jenggot!”
“Berengsek lo,” maki Bryan. Namun, di lubuk hatinya ia tahu Dimas benar. Bayangan Danar dengan tangannya yang cekatan mengocok bubble tea, Danar yang mengepel setiap inci dengan begitu teliti, membuat ia ingin Danar bisa terus ada. Apalagi setelah Danar membagi mimpinya kepada Bryan. Tak ada yang mengharuskan Bryan menolong Danar, tetapi hati kecilnya ingin membantu Danar mencapai mimpinya. Tekad Bryan bulat, mulai besok ia akan melatih Danar dengan lebih sungguh-sungguh.
***
Mesin pendingin di butik Lisbeth berfungsi dengan baik. Namun, cerita dari Bryan yang mengeluh permintaan dari Pusat membuat Lisbeth terasa panas.
“Biasanya tidak seperti itu? Pegawai tak perlu dites?” tanya Lisbeth memastikan.
Bryan mencibirkan bibirnya dan menggeleng. “Tidak adil.”
Lisbeth tersenyum kecut. Standar ganda. Sama seperti SIM. Banyak yang tidak menyangka anak Tuli bisa menyetir. Padahal menyetir yang paling perlu adalah dengan mata. Coba lihat ada berapa banyak kecelakaan yang disebabkan oleh pengemudi Tuli? Hampir tidak ada, kan? Sepanjang pengetahuan Lisbeth, teman-teman Tuli yang menyetir baik mobil ataupun sepeda motor selalu sangat berhati-hati, tak pernah mengebut pula, apalagi menyetir sambil bermain ponsel!
“Pusat selama ini tak pernah peduli. Kami harus mencari karyawan sendiri. Kenapa sekarang begini?” keluh Bryan lagi.
“Apa rencana Bryan?”
“Danar harus latihan sampai bisa! Nanti aku ajarin.”
Senyum langsung terkembang di wajah Lisbeth. Seandainya lebih banyak orang dengar seperti Bryan, memberi kesempatan anak Tuli belajar dan berusaha.
“Lisbeth pernah jatuh cinta?” tanya Bryan spontan.
“He?” Alis Lisbeth terangkat. Ia menggaruk kepalanya. “Jatuh cinta?” tanya Lisbeth keheranan.
“Eh bukan ehm … Lisbeth besok malam ada acara?”
Lisbeth mentertawakan dirinya sendiri. Kok ia bisa salah membaca bibir. Masak Bryan bertanya soal jatuh cinta? Konyol.
“Tidak. Kenapa?”
“Hm, Lisbeth suka nonton? Ada film bagus di bioskop,” ajak Bryan. Lisbeth tidak mengerti mengapa wajah Bryan sedikit merah. Apa yang memalukan dari nonton bioskop?
“Film barat? Aku tidak nonton film Indonesia.”
Beberapa orang salah mengira Lisbeth tidak nasionalis. Padahal, bukan itu alasannya. Kebanyakan film Indonesia di bioskop tidak ada teksnya. Ketika film Petualangan Sherina keluar, Papi dengan semangat mengajak mereka sekeluarga menonton. Livi senang sekali. Lisbeth tertidur di bioskop karena tidak ada teks. Ia hanya melihat para tokoh menari dan menebak-nebak jalan ceritanya. Ada anak perempuan, pindah sekolah, ada anak cowok nakal. Lalu AC yang dingin membuatnya mengantuk. Ketika ia bangun, film sudah habis.
“Film apa saja boleh,” kata Bryan.
Lisbeth tersenyum. “Aku menonton bioskop harus ada teks. Kalau tidak, aku tidak mengerti cerita tentang apa. Ada teks saja suka bingung karena tidak tahu ini siapa yang bicara. Aku lebih suka menonton DVD, ada close caption. Ada penjelasan. Misalnya adegan suami istri bercakap-cakap, lalu tiba-tiba suami berdiri. Kupikir dia marah, eh ternyata ada telepon,” jelas Lisbeth panjang lebar sambil tertawa.
“Film barat ada teksnya,” ulang Bryan sambil mengangguk. “Besok bisa?”
“Okay.”
Keesokan harinya, Bryan menjemput Lisbeth dan membawanya menonton film Maleficent. Bryan memesan bangku paling belakang. Ketika ada bagian yang sedikit membingungkan, Bryan mengetik di ponselnya lalu menyodorkannya kepada Lisbeth. Selesai menonton, Bryan mengajaknya makan malam. Sambil menunggu makanan, Bryan menceritakan ulang beberapa bagian yang terlewat dari film Maleficent yang baru mereka tonton.
Jimmy tak pernah mengajaknya nonton film berdua. Mungkin, Lisbeth bisa mengajak Jimmy menonton film kalau mereka bertemu nanti. Ia menyaksikan banyak pasangan bergandengan tangan di bioskop. Tentu saja ia tidak bergandengan tangan dengan Bryan. Tangan lelaki itu penuh memegang popcorn dan minuman yang ia beli untuk mereka.
“Selama ini, kupikir Maleficent jahat,” kata Lisbeth sambil menyantap nasi goreng.
“Ternyata ada penyebabnya,” sambung Bryan. “Ada orang yang kita pikir jahat ternyata baik. Seperti … tidak semua cowok dengar jahat.”
Mata Lisbeth membelalak. “Ya ampun, Bryan pikir aku bilang Bryan jahat?” Tawa lepas keluar dari mulutnya. Silly Bryan. Yang ia maksud bukan Bryan, tetapi orang lain.
“Lisbeth bilang tidak suka cowok dengar.”
Lisbeth tertawa lagi. “Iya, tak suka cowok yang suka marah-marah. Bryan baik.” Ia tertawa geli melihat wajah Bryan memerah.
“Kapan-kapan mau nonton lagi?”
“Boleh.”
Lisbeth akan ajak Jimmy nonton juga, supaya ia bisa bergandengan tangan dan menyandarkan kepalanya ke bahu Jimmy seperti pasangan-pasangan lain yang ia lihat.
***
[1] cháng nián lěi yuè: tahun-tahun yang sudah berlalu.