Mana yang lebih berpengaruh, bakat bawaan lahir atau kerja keras?
“To, barang dari supplier sudah masuk?” Bryan berbicara di ponsel sambil turun dari mobil. “Oke, udah lengkap, kan? Entar siangan saya baru ke outlet, ya. Janji wawancara jam tiga, kan? Yak. Saya sampai habis lunch time. Oke.”
Bryan mendorong pintu kaca. Semua pegawai Lisbeth sudah terbiasa dengan kehadirannya. Dalam seminggu, tiga-empat kali ia mampir ke situ. Bryan tersenyum sambil melangkah ke lantai atas.
“Pumpkin spice latte.” Bryan meletakkan gelas kertas itu di depan Lisbeth. Lisbeth tersenyum dan menghentikan pekerjaannya memasang payet.
“Makasih.” Lalu ia kembali sibuk memasang payet. “Maaf, bisa tunggu sebentar. Ini harus selesai.”
Bryan mengangguk. Matanya berkelana ke arah workshop. Satu maneken berdiri di pojok ruangan. Maneken itu dibalut gaun berwarna merah dengan kain organza panjang menjadi ekornya. Bryan mengenali gaun itu sebagai gaun yang Lisbeth buat beberapa waktu lalu. Namun, gaun itu kini terlihat 10 kali lebih mewah. Kain organza merah polos kini bertaburan payet berbentuk kelopak mawar yang disusun dari aneka payet berwarna keemasan. Ada payet pipih, payet bambu, batu-batuan kristal dan mutiara. Dari belakang, organza itu terlihat seperti hamparan lukisan emas. Siapa pun yang memakai gaun ini akan terlihat seperti putri Kerajaan Tiongkok zaman dulu.
Bryan duduk di depan Lisbeth dan asyik dengan smartphone-nya. Ia sesekali memadang Lisbeth. Jika Lisbeth sedang fokus pada sesuatu, seluruh perhatiannya tertuju ke situ. Mata Lisbeth menatap payet-payet di depannya, sedangkan tangannya dengan gesit memasang satu per satu payet berwarna keemasan itu untuk membuat pola yang cantik. Bryan suka melihat Lisbeth bekerja. Koreksi. Bryan suka melihat Lisbeth. Titik.
Setelah sepuluh menit dalam sunyi, yang anehnya makin lama makin terasa natural untuk Bryan, Lisbeth memotong benangnya. “Selesai!” katanya bangga saat menunjukkan cheongsam berwarna biru tua, dengan hiasan gabungan bordir dan payet yang berbentuk bunga-bunga kecil merah muda putih. Di atas bordir, Lisbeth menjahit beberapa payet berkilauan yang membuat bunga-bunga kecil itu terlihat hidup ketika terkena sinar lampu.
“Bagus sekali!” decak Bryan memandang gaun itu. Detailnya luar biasa. Jahitannya rapi. She’s talented.
“Bryan tahu ini apa?” tanya Lisbeth.
“Ehm bunga?” tanya Bryan sambil menggaruk kepalanya.
Lisbeth tertawa kecil. “Ini bunga plum blossom. Bahasa mandarinnya, mei hwa. Nama mama Bryan.”
Bryan baru tahu bahwa nama mamanya diambil dari nama bunga.
“Ada yang memesan cheongsam, lalu aku ingat sewaktu Papi mengajak pergi ke Beijing. Langitnya biru, musim semi, banyak bunga plum blossom mekar di pinggir jalan. Ada yang masih di atas, ada yang ditiup angin.” Lisbeth menunjuk selendang yang tersampir di bahu cheongsam itu. Selendang berwarna biru tua yang juga dihiasi taburan payet seperti bunga-bunga kecil yang terbang ditiup angin.
“Lisbeth memang suka menjahit, ya?”
“Suka sekali. Kalau sudah membuat payet, bisa lupa makan, lupa mandi, lupa waktu. Bryan pernah ke Taiwan?”
“Belum. Kenapa?”
“Bubbly Tea merek Taiwan. Aku pikir Bryan pernah ke Taiwan. Aku suka kain katun Taiwan. Motif lucu-lucu,” ujar Lisbeth.
Bryan heran mengapa sebuah senyum bisa membuatnya tersihir? Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan.
“Hari ini sepi?” tanya Bryan menunjuk workshop yang kosong.
“Anak-anak cuti.”
“Lisbeth tidak ada rencana menambah pegawai?” tanya Bryan. “Untuk membantu komunikasi, promosi. Lisbeth menjahit bagus sekali!” Bryan memberi dua jempol sambil membentuk kata bagus.
Lisbeth menggeleng lalu bergerak dengan tangannya. “Uang—tidak ada.”
Bryan menaikkan alisnya. “Tidak minta Papi?”
“Papi sudah membayar sewa satu tahun. Memberi modal sedikit. Lalu kata Papi, aku harus urus sendiri semua. Bayar listrik, bayar air. Bensin. Penjahit, tukang payet. Semua harus hitung sendiri,” jelas Lisbeth. Tangan Lisbeth mulai bergerak. “Enam bulan-uang-tidak ada. ”
Bryan keheranan. Om Wim menyuruh Lisbeth berjuang sendiri? “Biaya hidup?”
“Aku masih di rumah Papi-Mami. Tiap hari membawa bekal dari rumah, supaya hemat.” Ada nada bangga di suara Lisbeth. Mata Bryan membaca tangan Lisbeth yang menari, “Uang – simpan – sedikit. Sekarang – uang – ada.”
Bryan merasa malu. Selama ini, dirinya hidup terlalu enak. Hanya menengadahkan tangan dan uang masuk ke dalam rekening. Sedangkan Lisbeth, biarpun Tuli malah bekerja keras dan tidak mengandalkan kekayaan keluarganya.
“Lisbeth – makan – sudah?” undang Bryan bertanya apakah Lisbeth sudah makan. Alis Bryan naik sedikit berusaha menirukan guru Bisindo ketika membuat yes-no questions. Hatinya berbunga ketika Lisbeth menggeleng. Ia pun membawa Lisbeth ke kedai bakmi kesukaannya.
Mereka tiba di sebuah ruko yang ramai menjelang makan siang. Pelayan mengantar mereka duduk di sebuah meja kayu di pojok ruko. Sambil menunggu pesanan mereka, Lisbeth bertanya, “Kelas Bisindo bagaimana?”
“Ada PR. Besok test, alfabet, keluarga,” jawab Bryan. Ia menggulung lengan kemejanya lalu menghirup jus jeruk. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan deretan botol sambal, kecap asin, dan kecap manis.
“Bisindo benar-benar bahasa yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Tata bahasanya beda dengan bahasa Indonesia,” terang Lisbeth. Ia menulis di secarik kertas.
Subjek + Predikat + Objek. “Ini Bahasa Indonesia. Di Bisindo, kadang menjadi ….” Lisbeth menulis garis berikutnya. S + O + P.
“Lisbeth – pisang – makan.” Ia membuat gerakan mengupas pisang dan memakannya. “Coba, aku mau lihat. Alfabet,” kata Lisbeth dengan mata berbinar. Tangan Lisbeth sibuk mengikat rambut dan membuat messy bun. Pikiran Bryan langsung melayang melihat leher jenjang Lisbeth dengan anak rambut tipis menari tertiup angin.
“A, B, C, D, E, F, G.” Perlahan, Bryan mengeja dengan jemarinya. “H.” Kening Bryan berkerut, H-nya salah. Ia memutar telunjuknya beberapa kali, tetapi tetap tidak kelihatan benar.
Jantung Bryan nyaris berhenti ketika ia merasakan jemari Lisbeth menyentuh tangannya. Dengan lembut, Lisbeth membenarkan posisi tangan Bryan sehingga ia berhasil membuat huruf H dengan benar. Seandainya waktu dapat berhenti, pinta Bryan dalam hati.
Ia mencondongkan badan lebih dekat kepada Lisbeth. Jarak antara mereka menjadi hanya beberapa sentimeter. Bryan bisa merasakan embusan napas Lisbeth di pipinya. Tangan Bryan terulur untuk menyentuh pipi Lisbeth. Namun, sesuatu menghentikan Bryan. Bukan sesuatu. Seseorang.
“Spesial Hock Seng dua.” Suara datar seorang pelayan mengejutkan Bryan. Sialan! Bryan ingin memaki pelayan tak peka yang merusak momen romantisnya dengan Lisbeth.
Dengan sigap, pelayan itu menaruh dua mangkok bakmie. Aroma sedap langsung menggelitik hidung Bryan. Bakmie di hadapannya penuh dengan daging kepiting, giant tiger prawn, telur bebek, dan bakso ikan.
“Makan!” ujar Lisbeth bersemangat. Ia menyatukan jemarinya lalu membuat gerakan membawa makanan ke dalam mulutnya. Mata Bryan menatap gadis di hadapannya lekat-lekat, berusaha merekam semua tindak tanduk Lisbeth. Matanya yang berbinar ketika Bryan bisa menyebutkan seluruh anggota keluarga dalam Bisindo dengan tepat. Gelak tawa Lisbeth ketika Bryan salah menyebut 10.000 dengan 1.000. Entah mengapa, suara Lisbeth tidak terdengar seaneh dahulu. Lagi-lagi, Bryan berharap waktu bisa berhenti.
***