Napas Lisbeth memburu. “Bajingan!” Tangannya menampar laki-laki di hadapannya. Seorang perempuan muda lain menggelayut di lengan pria itu. Lisbeth menatap garang, tetapi sebelum ia mengangkat tangannya lagi, Dodo sudah menahan tangan Lisbeth.
“Lepaskan, Do!” bentak Lisbeth. “Itu suami Nala!”
Dodo menggeleng, ia menahan tangan Lisbeth, mulutnya bergerak. “Jangan.”
“Dodo enggak peduli Nala?” Lisbeth menunjuk ke arah Nala yang diurus oleh ibu Euis.
“Lisbeth, orang banyak menonton.” Dodo mengingatkan. Ketika Lisbeth berpaling, laki-laki itu dan perempuannya sudah menghilang di antara kerumunan. Dengan kesal, Lisbeth menghempaskan tangannya dan mengentakkan kaki. Kerumunan sudah bubar. Nala sudah tenang, bersandar lemas di kursi. Bu Euis memijat tangan Nala. Sesekali, Nala mengangguk-angguk. Lisbeth langsung putar balik. Ia tak bisa berhadapan dengan Nala. Gara-gara Nala tidak mau mendengar nasehatnya dahulu!
Sambil menarik napas, Lisbeth bergerak menjauh dari stan YST. Benaknya berputar. Ia mencoba menenangkan diri. Kenapa aku semarah ini?
Siapa yang tidak marah melihat suami sahabatmu asyik mesra dengan perempuan lain? Nala bukan hanya sahabat. Nala sudah seperti saudara kandungnya sendiri.
Hanya itu?
Wajah Mak Kintan terbayang. Mak Kintan sedang duduk di meja, sibuk menghitung pemasukan. Mak Kintan menggotong gelondongan kain hingga jatuh keseleo. Dalam diri Nala, ada sosok Mak Kintan, ada keringat Mak Kintan, ada sakit pinggang Mak Kintan, dan ada harapan Mak Kintan. Seandainya Mak masih hidup ketika Nala diwisuda, Mak Kintan pasti memakai kebaya merahnya dan duduk paling depan sambil bertepuk tangan dengan bangga.
Sebelum Mak Kintan meninggal, ia memanggil Livi, Lisbeth, dan Liona. Mak memberikan kalung emas kepada mereka masing-masing. Dengan terbata-bata, Mak mengatakan sebagian besar warisan ia berikan kepada Nala, untuk biaya kuliah Nala, untuk masa depan Nala.
“Nala lebih butuh, Mak,” jawab Lisbeth cepat disambut anggukan Livi dan Liona. Begitu banyak Mak Kintan berkorban untuk masa depan Nala. Kemudian muncul pria kurang ajar yang setelah mendapatkan hati Nala, meminta Nala tidak bekerja, lalu membuang Nala! Lisbeth menyesal bukan main ia tidak mendamprat orang itu dahulu.
“Lisbeth?” Bryan tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Kenapa di sini?”
Lisbeth mengangkat bahu.
“Jadi mau makan?” ajak Bryan. “Tadi sudah bilang Bu Euis?”
Jawaban Lisbeth hanya berupa anggukan dan gelengan kepala. Ia tidak selera bicara. Bryan berjalan menuju Bu Euis. Tak lama, ia kembali lagi ke samping Lisbeth.
“Bu Euis minta dibawakan makanan saja,” kata Bryan setelah kembali dari meminta izin. Mereka memasuki restoran cepat saji. Bryan membawa nampan berisi pesanan dan menaruhnya di hadapan Lisbeth.
“Lisbeth kenapa cemberut?”
“Tidak ada apa-apa,” ujar Lisbeth singkat.
“Nala tadi kenapa, sih?” tanya Bryan lagi seraya menyantap burger.
Bibir Lisbeth otomatis maju mendengar Bryan menyebut Nala.
“Ada apa, sih?”
Lisbeth memutar bola matanya. Kenapa Bryan ingin tahu sekali?
“Are you okay?” Bryan menyodorkan minuman yang ia beli untuk Lisbeth.
“Kenapa cowok dengar menyebalkan?” kata Lisbeth. “Sudah jelas punya istri, kenapa istri pergi tidak mencari malah pacaran dengan perempuan lain?”
“Tadi .. ada suami Nala?” tebak Bryan yang disambut anggukan lemah. Sejenak, keduanya diam. Lisbeth mengorek-ngorek kentang goreng tanpa memakannya.
“Kenapa menurut Lisbeth cowok dengar menyebalkan?”
Mau jawaban apa? Jawaban sopan? Ah tidak, semua cowok dengar baik sekali. Pengertian, sabar, selalu mau menolong, tidak pernah mengejek anak Tuli. Bicara selalu pelan-pelan. Wow, cowok dengar baik sekali!
Bryan menatapnya tanpa berkedip. Matanya seolah-olah bertanya, jadi kenapa?
“Bryan pernah baca Harry Potter?” Lisbeth bertanya balik.
“Pernah.”
Lisbeth mengambil pulpen lalu menulis di kertas tisu: pure blood, mud blood. Di bawah kata pure blood,Lisbeth menggambar tanda panah ke arah Bryan.
Abnormal. Cacat. Disabled. Kata-kata yang biasa disematkan untuk dirinya dan kaumnya.
Dengan nada datar seperti mengucapkan ramalan cuaca Lisbeth berkata, “Apa salahnya dengan Tuli? Kami tidak mencuri, tidak korupsi. Kenapa terus menganggap kami bodoh?”
“Orang dengar selalu menganggap Tuli itu abnormal. Tidak normal. Cacat. Tidak … sempurna.” Lisbeth memakan kentang gorengnya, berusaha menelan gumpalan emosi. Anak lain mengenal aborsi dari buku biologi atau koran. Lisbeth membaca bibir mama temannya yang berkata, kalau tahu kamu cacat, mama pilih aborsi.
Tuli = tidak layak hidup.
Apa itu sempurna? Kalau pancaindra sempurna, tetapi tak punya hati, apa itu normal?
Tiba-tiba, Lisbeth tertawa sendiri. Aneh. Orang-orang normal yang abnormal.
Tuli = merepotkan.
Tuli = selamanya akan menjadi beban.
Tuli = tidak punya masa depan.
Di benak Lisbeth, muncul banyak tanda sama dengan yang menghubungkan kondisinya dengan berbagai stigma.
“Cowok dengar menyebalkan!”’
Lisbeth sadar kadang kemarahan adalah upaya termudah untuk menutupi luka.
“Tidak adil! Sedari dulu aku tidak pernah mau dengan cowok dengar. Lebih baik tidak menikah daripada menikah dengan cowok dengar lalu disia-siakan, Ya, kan?” Lisbeth terkekeh sendiri.
Bryan tak berkata apa-apa. Burgernya tergeletak di meja tak tersentuh. Lisbeth tiba-tiba sadar, ia meracau tak jelas di hadapan Bryan. Matanya terasa panas. Buru-buru, ia bangkit dan pura-pura mengambil sedotan. Pantang baginya menangis di hadapan orang lain. Ia bukan cewek cengeng.
“Kita balik, yuk,” katanya dengan senyum yang dipaksa. Ia hendak berbenah ketika matanya menatap sehelai tisu yang ada di depannya. Di atas tisu itu, Bryan mencoret kata pure dan mud, lalu menambah satu tanda sama dengan.
Pure blood = mud blood.
Di bawahnya, ada tulisan tangan Bryan.
It’s okay to cry. It’s hard isn’t it ….
Lisbeth mematung. Ia menatap Bryan yang menantinya dengan sabar. Gelombang perasaan yang sedari tadi ditahannya mulai terasa makin berat.
It’s okay to cry ….
Betapa berbedanya dengan kalimat yang menemaninya sejak ia kanak-kanak. “Lisbeth jangan nangis! Anak pintar, ayo berhenti nangis!”
It’s hard isn’t it?
“Lisbeth kuat! Lisbeth bisa ….”
Kadang itu memang berat. Lisbeth menggigit bibir. Matanya berkedip makin cepat. Tiba-tiba, Lisbeth menutup wajah dengan telapak tangan dan mulai menangis.
Rasa pedih yang selama ini ia tahan melihat sahabat karibnya disia-siakan oleh suaminya. Rasa amarah mendengar ada anak Tuli yang tidak diakui oleh kakek-neneknya. Apa salah Kintan? Apa salah Nala? Apa salah Liona? Apa salah dirinya? Kenapa orang dengar menganggap kemampuan mendengar sebagai prasyarat untuk menerima cinta?
Air mata yang ditahannya luruh tak terbendung. Ia mengatupkan kedua telapak tangan dan terisak. Detik berikutnya, lengan Bryan memeluk bahunya, menawarkan tempat untuk Lisbeth bersandar. Undangan yang tak kuasa ia tolak. Perlahan. rasa hangat yang asing menyelinap ke hatinya.
It’s okay to cry ….
***