Tengah malam, Lisbeth terbangun untuk pergi ke toilet. Ketika ia kembali, gorden berkibar lembut ditiup angin malam.
Nala, Nala … sudah dewasa juga masih takut gelap, batin Lisbeth sambil menutup jendela. Ia tidak menutup gorden karena membiarkan cahaya bulan masuk. Dari dipannya, Lisbeth menatap Nala yang tertidur lelap. Ia tak ingat hidupnya tanpa Nala. Nala sudah bersamanya sepanjang ingatan Lisbeth. Menurut Surti, ketika Nala umur 5 tahun, Nala pernah hampir ditabrak mobil di depan toko Mak Kintan. Mak Kintan yang menyadari Nala Tuli seperti cucu-cucunya, merawat Nala dan mengirimnya bersekolah di SLB, membelikan seragam hingga ABD.
Setiap pagi, Wim menjemput Nala yang tinggal di rumah Mak Kintan lalu mengantar Lisbeth dan Liona ke SLB. Mereka bertiga pulang dengan Sus langsung ke toko Mak Kintan. Di sana, mereka mengerjakan PR dan belajar, makan malam, lalu Lisbeth dan Liona dijemput Wim pulang. Sedangkan Nala, pulang ke rumah Mak Kintan.
Mak Kintan sayang sekali kepada Nala. Menurut Lisbeth, salah satunya karena hanya Nala yang tertarik belajar sempoa. Lisbeth selalu kabur jika Mak Kintan mengeluarkan sempoa. Livi ketiduran ketika diajari Mak Kintan. Sementara Liona lebih memilih menghitung kuaci yang masuk ke mulutnya daripada menghitung sempoa. Hanya Nala dengan penuh perhatian belajar sempoa. Tiga tahun terakhir sebelum Mak Kintan meninggal, semua pembukuan toko dipegang Nala, tak ada yang salah.
Ada satu rahasia antara Lisbeth dan Nala. Lisbeth benci matematika. Jika ada PR matematika, Nala diam-diam membantu Lisbeth. Hingga suatu hari, apa yang mereka lakukan ketahuan Mak Kintan!
“Lisbeth! Ini siapa yang bikin?” Mak Kintan melempar buku Matematika Lisbeth. Lisbeth hampir mengompol karena ketakutan menyaksikan Mak Kintan yang mungil tiba-tiba seolah-olah berubah menjadi raksasa bermuka merah dengan api berkobar dari kedua kupingnya.
“TANGAN!” bentak Mak Kintan. Lisbeth buru-buru menaruh kedua tangan di punggung melihat Mak Kintan mengeluarkan rotan.
“PR Lisbeth, saya yang bikin, Mak!” Nala tiba-tiba menyeruak maju. “Saya saja yang dirotan.” Lisbeth tahu Nala sama gemetarnya dengan dirinya.
“Aku yang minta Nala bikin PR, Mak.” Buru-buru Lisbeth menyodorkan tangannya. Bukan salah Nala! Lisbeth tidak akan membiarkan sahabatnya dirotan untuk sesuatu yang bukan salahnya. Mak Kintan mengangkat rotannya dan rasa nyeri menjalar di jemari Lisbeth. Ia menggigit bibirnya keras-keras menahan rasa sakit.
Berikutnya, ia merasakan rasa perih yang makin menjalar diiringi bau tajam obat herbal. Tie Tao Yao Qin. Lisbeth mengerang. Jika kata orang Betadine pedih, mereka belum tahu rasanya dicocol Tie Tao Yao Qin!
Mak Kintan lalu menepuk pipinya dengan lembut. “Lisbeth.” Ia membuka mata dan raksasa merah sudah kembali menjadi Mak Kintan dengan wajah keriput. “Mak, tidak marah kalau kamu tidak bisa Matematika, tapi Mak marah kalau kamu tidak jujur. Mengerti?”
Sembari menahan perih, Lisbeth mengangguk.
“Orang Chinese percaya, liang yao ku kou. Obat yang baik perih rasanya,” ujar Mak Kintan. “Nasihat yang baik, kadang tidak enak didengar, rasa pahit membawa hasil yang bagus. Hidup kalau mau berhasil harus kerja keras. Harus pahit dulu baru bisa manis. Kalian perempuan Tuli, harus kerja keras supaya bisa makan dari tangan sendiri. Jangan bergantung pada orang lain!”
Liona tiba-tiba muncul di hadapan mereka. “Mak salah!”
“Salah di mana?” bentak Mak Kintan.
“Obat bagus rasanya pahit.” Liona mengacungkan sebotol obat berisi cairan hitam yang dibungkus dengan kertas warna merah bertuliskan huruf Chinese. “Pei Pa Kao tidak pahit!” koreksi Liona.
Lisbeth terkekeh. Adiknya yang gembul itu selalu mengaitkan semua hal dengan makanan! Nala pun menahan tawa. Livi, Lisbeth, dan Nala tahu, Liona suka pura-pura batuk supaya dikasih Pei Pa Kao, obat batuk Chinese dengan rasa manis samar-samar.
Mak Kintan pura-pura memelotot seraya menyembunyikan senyum, lalu ia menjewer telinga Liona. “Liang yao ku kou! Obat bagus rasanya pahit!”
Lisbeth tersenyum-senyum sendiri. Toko Kintan selalu semarak penuh tawa.Tahun demi tahun, gaya bicara Nala makin mirip Mak Kintan. Ketika ada barang rusak, Nala akan mengomel, “Sudah minta duit. Padahal baru 10 tahun! Duit nggak metik dari pohon.” Lisbeth terkekeh lalu menggoda sahabatnya, “Nala persis Mak Kintan!” Nala pun mengikuti semua kebiasaan Mak Kintan, mulai dari menjadikan baju bekas sebagai kain lap perabotan lalu menjadikannya kain pel ketika sudah sangat jelek.
Setelah Mak Kintan meninggal, Papi dan Lisbeth pergi ke toko mengantarkan surat dari Mak untuk Nala. Kejadian itu beberapa bulan sebelum Lisbeth berangkat kuliah ke Australia. Ia memeluk Nala yang menangis ketika membaca surat Mak Kintan.
Nala, kamoe haroes djadi oerang mandiri. Bisa cari makan sendiri. Kamoe sekolah jang tinggi. Biaja tak oesah chawatir. Mak soedah titipken ke Wim. Ini pesangon Mak oentoek masa depan Nala. Beladjar jang radjin.
Mak Kintan
Surat itu bertanggal enam bulan sebelum Mak Kintan meninggal. Khas Mak Kintan. Semua sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Setiap tahun menjelang Lebaran, Mak Kintan sudah menyiapkan semua THR dan hadiah untuk para pegawai, pedagang asongan sekitar, serta hansip sedari satu atau dua bulan di muka.
“Hidup harus ada rencana! Enggak boleh mengalir saja.” Itu mantra Mak Kintan.
Papi kemudian memasukkan Nala ke program S1 di salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta.
“Buat Nala, harus paling bagus,” tegas Papi. “Nala, awalnya memang akan sulit karena ini pertama kali Nala di sekolah umum. Tapi, Nala harus terbiasa bekerja, belajar dengan orang-orang dengar. Nala harus mandiri, bisa mencari makan dengan tanganmu sendiri. Nala mau masuk Akuntansi, lebih bagus sekolah di Indonesia karena istilah sama, nanti ketika bekerja Nala tidak bingung lagi. Uang Mak Kintan sisanya, Om sudah tabungkan buat Nala.”
Awal-awal kuliah, Nala dan Lisbeth berkirim e-mail hampir setiap hari.