Apa arti normal? Sama seperti semua orang? Apakah memang benar-benar ada yang sama seperti semua orang? Apakah semua orang benar-benar sama?

Bryan mematikan YouTube. Ia menggeleng. Ia sudah gila. Untuk apa ia menonton video American Sign Language (ASL)Namun, ia begitu penasaran. Beberapa video bahkan tanpa suara sama sekali. Awalnya dia mengira speaker-nya rusak, baru beberapa saat kemudian ia sadar, memang tidak suara. Sunyi. Hanya sosok orang bergerak-gerak dengan tangan. Rasanya ia sulit percaya bahwa orang-orang di dalam video itu Tuli. Mereka kelihatan seperti orang normal. Namun, Lisbeth pun seperti itu. Selama ia tidak membuka mulutnya, semua akan mengira Lisbeth gadis biasa.

Ia merebahkan diri di ranjang. Matanya menatap ke langit-langit. Sejuta pertanyaan muncul di benaknya. Selama ini, ia berpikir nasibnya yang paling nahas. Betulkah? Beberapa hari lalu, ia menonton film The Miracle Worker, kisah tentang Helen Keller dan Anne Sullivan. Bukan jenis film yang biasa ia tonton, tetapi ia penasaran. Sungguh ingin tahu. How come they survive? Dan mengapa orang-orang itu masih bisa tersenyum dengan begitu tulus? Ia teringat senyum Lisbeth, Bu Euis, Danar, dan Bowo. Kok bisa?

Sedangkan ia, yang bisa mendengar, yang sehat, yang kaya raya, harus memaksa diri untuk tersenyum. Sudah seminggu lebih Danar bekerja di Bubbly Tea. Rusdi girang karena tak perlu lagi membersihkan grease trap. Terkadang, Bryan mengajak Danar bicara, sedikit terbata-bata, tetapi sedikit demi sedikit Bryan mengorek kisah hidup Danar. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia bersekolah di sekolah SLB yang sama dengan Lisbeth, Siti, Nala, dan Dodo, suami Siti. Ketika YST berdiri, Danar membantu Dodo mengajar pertukangan dan berkebun.

“Tapi saya membuat perabotan tidak bagus, kurang halus,” cerita Danar ketika kafe sedang sepi kemarin.

“Kamu tidak suka bertukang?”

Danar menggeleng pelan lalu mengatakan malu-malu. “Saya suka di dapur, tapi takut nanti semua tertawa. Saya ingin belajar jadi barista.” Danar lalu menyodorkan green tea matcha bubble tea yang ia buat. “Rasa enak?” Matanya yang bening menatap Bryan menunggu penilaian. Bryan meminum beberapa teguk. Mencium bau harum teh hijau, dengan rasa khas yang tidak terlalu manis.

“Pas,” puji Bryan. Ia tahu seperti apa rasanya ditertawakan orang. Diam-diam, ia berencana memberi Danar kesempatan untuk membuat bubble tea dari pesanan online. Lebih mudah untuk Danar, karena semua pesanan terketik dan ia tak perlu bicara dengan siapa pun.

Sontak Bryan tersentak. Untuk apa ia memikirkan Danar? Bukankah ia tadinya menolak rencana Dimas? Mungkin karena kerajinan Danar dan ketelitiannya membersihkan noda. Bryan mencoba menjelaskan alasannya kepada diri sendiri. Jauh di lubuk hati, Bryan tahu bukan itu alasan utamanya. Ini hal yang lebih dalam daripada sekadar noda dan kepatuhan. 

Ia melihat dirinya dalam Danar.

Bryan menggulir ponselnya membaca Twitter ketika tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk dari nomor yang belum ia simpanFoto profilnya memperlihatkan wajah Lisbeth. Perempuan itu menanyakan apakah ada kesulitan dengan pekerjaan Danar.

Bryan nyaris mengabaikan pesan itu, tetapi video Bisindo yang ia baru saja tonton kembali berputar. Dengan enggan, ia membalas pesan Lisbeth. Keenganan yang perlahan menguap, ia sudah lupa rasanya punya teman yang bisa diajak bicara tanpa ia merasa direndahkan. Bicara lewat teks dengan Lisbeth terasa normal.

30 menit menjelang hari berganti, Bryan baru ingat, ia harus tidur sekarang.

Kalau mau Bisindo bisa ikut kelas ini. IG @pusbisindo. Pesan dari Lisbeth masuk.

Okay. Yang Education Fair, mau aku daftarin? balas Bryan.

Boleh! Makasih ya. Night.

Nice talking with you.

Bryan cepat-cepat menghapus kalimat terakhir. Menggantinya dengan kata, Thanks. Night.

***

Ruang kelas yang biasanya berisi meja kursi kini terhampar lapang. Papan tulis tertutup layar putih dengan foto Butik Lisbeth terpampang di slide. Ruangan tidak gelap total, karena mereka butuh cahaya untuk berkomunikasi. Alih-alih duduk manis di kursi, 15 orang anak duduk santai di karpet. Beberapa anak berselonjor, sedangkan yang lain bersila.

Lisbeth berdiri dengan santai di hadapan kelas. Senyumannya mengembang, sementara tangannya bergerak cepat, “Cici Lisbeth – inget – dulu – waktu masih kecil, ingiiin sekali menjadi desainer.” Kedua tangan Lisbeth terkepal, dengan dahi berkerut menunjukkan tekad kuat, Lisbeth melukiskan mimpinya kepada anak-anak. “Cici ingin membuat baju-baju bagus!” Kali ini, wajahnya berubah menjadi sendu. “Banyak orang berkata, kamu Tuli. Tidak bisa.” Telapak tangan kanan Lisbeth ia kibaskan ke bawah, seolah-olah membuang sesuatu yang tak penting. Kepalanya menggeleng, ia menirukan gerak-gerik orang yang dulu meremehkannya. 

Ia menunjuk layar putih dengan foto butiknya. “Baru buka.” Tangan Lisbeth memencet tombol, gambar berikutnya muncul di layar, fotonya dengan para modelnya di atas ​runway​.

“Kita tidak kalah dengan teman-teman dengar. Anak Tuli harus punya mimpi! Jangan hanya hidup begitu-begitu saja. Punya mimpi yang besar! Usaha supaya tercapai. Anak Tuli harus mandiri dan percaya diri!”

Mata Lisbeth berkeliling memandang mata-mata bulat para murid di YST. Beberapa anak melihat gambar dengan tatapan melongo. Lisbeth berharap ia bisa membakar hati anak-anak ini supaya mereka berani bermimpi. Butiknya harus sukses. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anak-anak di hadapannya.

Beberapa menit kemudian, anak-anak berlarian keluar kelas setelah acara sharing selesai. Lisbeth melemparkan pantatnya dan ia menatap nanar ke dinding. Di depan anak-anak dan orang-orang, ia harus kuat, selalu tersenyum, bersemangat. Namun, ada hal yang tak pernah ia ceritakan. Hatinya yang selalu berdebar ketika mengamati dahi pelanggan yang berkerut. Perutnya yang melilit jika ada miskomunikasi. Untungnya, semua selalu selesai dengan baik, review butiknya selalu bagus, tetapi tak urung, hatinya gentar.

Jika orang dengar gagal, orang tidak akan berkata, “Oh pantas ia gagal. Ia dengar, sih.” Namun, jika Lisbeth gagal, orang akan berkata, “Kasihan, ya, anak Tuli. Tuh lihat, dia gagal lagi.”

Tuli = gagal. 

Ia tidak boleh gagal. Tidak boleh kalah. Tidak boleh bangkrut. Masalahnya, Lisbeth tidak tahu apakah ia bisa. Ia tahu ia bisa mendesain. Ia tahu semua gaunnya ia buat dengan teliti, dengan sepenuh hati. Namun, terkadang yang orang dengar lihat, “Kok mahal ya … enggak bisa lebih murah lagi? Di situ tuh 3 juta juga dapat! Diskon, dong! Penglaris.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here