“Tujuh tahun?” Bryan ternganga. Tujuh tahun hanya untuk belajar bicara?
“Iya. Lisbeth mulai sekolah ketika dia berusia tiga tahun. Waktu itu, saya juga baru masuk. Awalnya, saya bantu-bantu di dapur, lalu saya disekolahkan untuk menjadi guru. Saya mengajar Lisbeth kira-kira ketika umur Lisbeth sembilan tahun. Lisbeth baru bisa bicara ketika ia berusia sepuluh tahun.”
Bryan mengangkat alisnya. “Tujuh tahun untuk belajar bicara?”
“Iya … memang sulit sekali. Ketika belajar papa-mama, Lisbeth bisa mengatakan papa, ma-nya lupa. Kata maka, ma bisa, ka belum bisa. Ka sudah bisa, begitu digabung dengan kak, jadi bingung lagi.” Bu Euis tertawa kecil. “Lisbeth tidak suka pelajaran wicara. Kadang ia bicara sambil menangis. Bagi anak Tuli, belajar bicara itu sulit sekali. Bryan sadar suara Lisbeth beda dengan orang dengar? Sedikit sengau dan pengucapan kata-katanya terdengar aneh?”
“Iya.” Bryan mengangguk.
“Anak Tuli yang Tuli dari lahir seperti Lisbeth tidak pernah mendengar suara. Berbeda dengan anak-anak yang menjadi Tuli setelah besar seperti Mbak Angkie Yudistia, suaranya terdengar jelas dan mudah dimengerti.”
Bryan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia ingat mengapa ia tidak suka bicara dengan Lisbeth. Sulit untuk mengerti apa yang Lisbeth katakan. Ia pun kesulitan menggabungkan wajah cantik Lisbeth dengan suaranya yang aneh.
“Tidak semua anak sesulit Lisbeth. Kadar Tuli Lisbeth berat, ia hanya bisa mendengar suara pesawat terbang. Suara yang lebih lembut tidak bisa didengar sama sekali. Pelajaran wicara dulu harus saya bujuk-bujuk. Sambil bawa boneka, bawa teh botol. Bawa apa saja. Supaya Lisbeth mau,” lanjut Bu Euis seolah-olah bisa membaca pikiran Bryan.
“Ibu sabar sekali,” gumam Bryan.
“Sebenarnya tidak juga. Ketika Ibu menyaksikan anak-anak dari tidak bisa menjadi bisa … rasanya terharu sekali.” Suara Ibu Euis sedikit bergetar. “Mereka memang Tuli. Namun, tidak berarti mereka tidak bisa. Bahkan, ada anak-anak Tuli yang tetap tidak bisa bicara, itu juga tidak apa-apa. Tidak berarti tidak bisa bicara itu bodoh, loh.” Bu Euis menarik napas sejenak.
Ia menunjuk lukisan di dinding, sketsa hitam putih wajah Ibu Kartini. “Itu gambar Rara. Dia pintar menggambar, tapi dia anak Tuli yang tidak bicara. Menurut Bryan, orang yang bisa menggambar sebagus ini bodoh atau pintar?”
Bryan mengamati lukisan dengan gradasi yang cantik, Ibu Kartini tersenyum lembut, dari jauh lukisan itu tampak seperti foto. Di sebelahnya, ada gambar Borobudur dilihat dari atas, detailnya luar biasa, pohon-pohon di sekitarnya tampak seperti hidup.
“Hmm … pintar gambar, ya?”
Senyum lebar mengembang di wajah Bu Euis. “Kadang, orang dengar terlalu memaksakan standar mereka. Anak Tuli harus begini, harus begitu. Bisa bicara bagus, tidak bicara bodoh.”
Mereka berjalan lagi. Bryan mulai merasa penasaran. Ia menunjuk ke satu kelas. Di dalam kelas itu, gurunya sibuk menggerak-gerakkan tangan.
“Gurunya pakai bahasa apa, Bu?”
“Oo itu Bisindo, Bahasa Isyarat Indonesia.”
“Kalau belajar bicara, buat apa masih pakai bahasa isyarat?” tanya Bryan keheranan.
Dengan sabar, Ibu Euis menjelaskan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa natural untuk anak-anak Tuli. Di sekolah YST, dipakai dua jenis bahasa isyarat, Bisindo, bahasa isyarat yang dibuat oleh komunitas Tuli dan ASL, American Sign Language.
Suara Ibu Euis tiba-tiba berubah sendu, “Ibu dulu salah mengajar, berpikir kalau anak Tuli tidak boleh pakai bahasa isyarat. Nanti jadi bodoh dan malas kalau pakai bahasa isyarat. Tetapi kini, Ibu sudah tahu. Bahasa isyarat justru membantu kemampuan bahasa anak-anak Tuli. Seperti Rara, dia tadinya sulit sekali untuk berkomunikasi, setelah menggunakan Bisindo, Rara lebih gembira, dia bisa cerita panjang lebar dengan Bisindo, apa yang ia gambar, kenapa dia gambar begitu.”
Bryan melirik lukisan Borobudur di dinding. Ia tak yakin ada banyak orang dengar yang bisa menggambar seperti itu.
“Di sini, pelajaran wicara pun berubah banyak. Anak tidak dipaksa. Tidak dimarahi ketika belum mau. Saat ini, ada dua guru yang sedang dikirim ke USA untuk belajar cara-cara mendidik anak Tuli yang lebih sesuai dengan perkembangan anak Tuli.”
Di kelas sebelah, Bryan mendapati delapan orang anak perempuan sedang … berlatih menari. Wajah Bryan tampak keheranan. “Nari? Buat apa?”
“Oh, menari itu penting bagi anak Tuli.”
Bryan mengangkat alis. “Mereka kan enggak bisa denger, Bu?”
“Betul, tapi menari akan bisa membuat mereka punya ritme kalau berjalan, jadi luwes, enggak kayak robot,” jelas Bu Euis sambil tersenyum. “Ada banyak hal yang bagi orang-orang seperti kita itu gampang sekali, sangat natural, tapi tidak natural untuk mereka. Sekitar 30% anak Tuli bermasalah dengan keseimbangan juga.”
“Oya?” Bryan mulai penasaran.
“Alat yang membantu mengatur keseimbangan ada di telinga bagian dalam, koklea yang bentuknya seperti rumah siput. Karena masih anak-anak, kadang mereka tidak bisa menjelaskan kondisi mereka. Lewat gerakan-gerakan sederhana, kita mendeteksi siapa aja yang punya masalah keseimbangan,” jelas Bu Euis.
“Kasihan, ya ….” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bryan.
Bu Euis menantap Bryan dengan keibuan. “Kasihan, ya? Salah satu tokoh yang ibu kagumi itu Helen Keller. Pernah dengar?”
Bryan mengangguk.
“Helen Keller, perempuan Amerika yang Buta Tuli, tetapi keterbatasannya tidak membuat ia putus asa. Kegigihannya membuat ia menjadi tokoh panutan banyak orang. Salah satu kalimat yang ibu suka darinya, ‘orang yang paling kasihan di dunia adalah orang yang bisa melihat, tapi tidak punya visi’,” kutip Ibu Euis.
“Yang paling kasihan bukan anak Tuli, Bryan, melainkan orang yang kelihatan punya segalanya, tapi … tidak tahu hidupnya untuk apa. Anak Tuli tidak perlu dikasihani, mereka anak-anak yang kuat. Masalah utama anak Tuli bukan karena mereka tidak bisa mendengar, tapi karena tidak ada akses untuk mereka. Dan ….” Bu Euis berdiam diri sejenak sebelum melanjutkan dengan tegas, “Ada banyak orang dengar memaksa anak Tuli menjadi seperti orang dengar. Tidak ada yang salah dengan menjadi anak Tuli. Itu yang Ibu katakan kepada anak-anak. Jadi Tuli bukan dosa, tidak perlu malu.”
Bryan menelan ludah melihat api yang membara di mata Bu Euis. Tanpa sadar ia mengangguk menyetujui ucapan Bu Euis. Keduanya berjalan perlahan. Bryan merasa gelisah. Seharusnya ia kembali, tetapi sesuatu menariknya untuk tetap di situ.
“Pernah dengar tentang Anne Sullivan?” tanya Ibu Euis lagi. Kali ini, Bryan menggeleng.
Dari mulut Bu Euis, meluncur kisah mengenai Anne Sullivan, guru pribadi Helen Keller. Helen, anak dari keluarga kaya raya menjadi Buta dan Tuli akibat demam tinggi ketika ia kecil. Orang tua Helen yang kasihan membiarkan Helen hidup seenaknya. Ia makan seperti binatang dan semua keinginannya dituruti. Hingga, datanglah Anne Sullivan.
Hal pertama yang dikerjakan oleh Anne adalah ‘memisahkan’ Helen dari kedua orang tua yang memanjakannya. Mereka tinggal berdua di sebuah pondok tak jauh dari rumah keluarga Helen. Di sanalah Anne mendidik Helen.
“Kira-kira, apa yang bisa Anne lakukan dalam tiga bulan?” tanya Bu Euis.
Sambil mengedikkan bahu, Bryan berkata, “Tidak banyak.” Bagaimana cara mendidik anak Buta Tuli?
“Betul, itu tebakan orang tua Helen. Mereka tidak mengharapkan banyak, tetapi mereka salah. Dalam tiga bulan, Helen bisa duduk makan sup dengan tenang. Tidak lagi seperti binatang.” Ada nada kemenangan di suara Bu Euis yang membuat hati Bryan terasa hangat.
Bu Euis tiba-tiba menghentikan langkah dan menatap Bryan, “Selain tidak perlu dikasihani, anak-anak ini juga tidak boleh diperlakukan seperti barang pecah belah yang rapuh. Perlakukan mereka seperti anak-anak biasa. Hargai mereka. Setiap anak ingin dihargai, bukankah demikian, Bryan?”