Apakah masa kecilmu bahagia? Bagi Bryan, jawabannya jelas dan tegas. Tidak. Ia tak suka masa kecilnya diungkit. Celakanya, Dimas paling suka membicarakan masa kecil mereka.

Morning, bro,” sapa Dimas cerah sambil meletakkan satu boks macaron Jean-Paul Hevin di meja Bryan.

Bryan mengangkat wajahnya dari laptop. “Hevin.” Tangannya dengan sigap mengambil bungkus macaron itu dan membukanya.

“Kata nyokap, suruh bawain buat lo.” Dimas tersenyum lebar.

“Tante Lana sekarang baik. Enggak kayak dulu,” gelak Bryan sambil memasukkan macaron rasa kopi ke mulutnya.

“Dulu mah gilaaa! Lo masih inget kita nginep di Rancamaya? Nginep di Presidential Suite, tapi bawa rantang, rice cooker, talenan. Buset! Sarapan, yang makan di resto cuma orang tua kita. Katanya jatah breakfast cuman 2 orang per kamar, sayang bayarin anak-anak,” gelak Dimas.

Bryan hanya diam sambil meraih macaron kedua. Orang tua Dimas, Bryan, Anissa, dan Livi sudah berteman sejak mereka kecil. Di masa liburan sekolah, mereka sering menginap bersama. Para papa bermain golf, para mama belanja, dan anak-anak bermain bersama. Ralat. Semua anak, kecuali Bryan.

“Kita cuma dikasih roti Holland Bakery buat tiga hari!” Dimas menggeleng-geleng mengingat tingkah mamanya dan rombongan tante-tante yang superpelit. “Untung mama lo selundupkan Pop Mie, Chitato, Jetset sama Chiki! Tante Mei Hwa, our saviour!” kata Dimas merentangkan kedua tangannya dengan gaya dramatis, lalu ia meledak dalam tawa, sama sekali tidak menyadari Bryan sedari tadi hanya tersenyum kecut.

 Bryan mengetahui sesuatu yang Dimas tidak tahu. Mamanya tidak sepolos atau sebaik yang Dimas pikir. Mamanya membeli aneka snack dan makanan bahkan terkadang membayari room service orders buat anak-anak bukan karena mamanya berhati malaikat atau khawatir jika mereka mati kelaparan. Ia tahu persis kenapa mamanya begitu. Supaya diterima dan bisa masuk ke dalam lingkungan mereka. Mamanya menggunakan uang untuk membeli persahabatan.

Bryan hendak membuka mulutnya, tetapi Dimas terus bicara, “Setiap mau pulang dari hotel, semua sabun, sampo, sikat gigi, lotion sampai cotton bud diangkut pulang! Ludes, ga bersisa! Gila! Sampai sandal-sandal hotel juga diangkut! Terakhir ke rumah Livi, gue lihat banyak bangat sandal hotel masih diplastikin di rak sepatunya!” Dimas tertawa kencang lagi sampai perut buncitnya sedikit terguncang. ”Pantes Om Wim tajir, Tante Heni pedit begitu. Duit sekali masuk susah keluar.”

Bryan harus menghentikan Dimas. Kalau tidak, Dimas akan membuka kotak pandora dan memaksa Bryan mendengarkan semua detail tak penting dari masa kecil mereka.

“Lo masih ingat waktu kita ke Zurich naik SQ? Tante-tante pada bawa pulang selimut sama sendok garpunya! Anissa ngamuk takut ketahuan. Nyokap gue dong malah jawab, ‘Bukannya sudah termasuk? Tiketnya mahal.’ Lo, inget enggak—”

“Mas, lo lihat ini deh,” potong Bryan, dengan buru-buru ia membuka browser di laptop lalu menunjukkan akun Instagram perusahaan mereka. Di situ, terpampang fotonya dengan Lisbeth disertai takarir yang sudah dibuat oleh tim media mereka.

“Puas?”

“Gue dah lihat kemaren pas transit di Singapore. Sudah gue like, kan?” ujar Dimas. Ia mengamati foto itu. “Ckckck … Lisbeth cakep banget.”

“Gue bilangin Anissa. Bini lagi hamil habis jalan-jalan babymoon ke Eropa malah muji cewek lain,” ancam Bryan.

“Come on, man! Lo kan biasanya suka yang bening-bening!” kilah Dimas.

Bryan mendengus sembari melirik foto itu.

Memang, Lisbeth seperti boneka Jepang dengan rambut hitam pekat, kulit putih, dan wajah khas oriental. Perbedaan Lisbeth dengan boneka Jepang hanya satu. Mata Lisbeth tidak sipit. Matanya besar, bulat. Lively. Jika Lisbeth tersenyum, matanya tertawa.

“Not bad.” Bryan memutar kembali laptopnya dan bersiap melanjutkan pekerjaannya.

That’s it? Seriously, Bryan?” Dimas membelalakkan mata. “Eh, lo cocok kayaknya sama Lisbeth.”

Mendung seketika muncul di wajah Bryan. Ia mendongak dari laptopnya. “Mau lo apa? Lo suruh gue datang, oke.Lo suruh gue foto, oke. Terus habis ini lo suruh gue pacaran sama Lisbeth? Otak lo masih di Santorini?” sindir Bryan. Bagaimana mungkin Dimas lupa ada apa antara dirinya dan Livi?

“Becanda, Bro. Becanda. Gitu aja marah banget,” gerutu Dimas.

Bryan mendengus dan mengabaikan temannya itu. Sebelum menutup Instagram, ia kembali melihat sepintas foto itu. Lisbeth memang cantik. She looks like a model. Seandainya Lisbeth tidak Tuli, pasti banyak pria mengejarnya. Lisbeth sebenarnya jauh lebih cantik daripada gadis-gadis yang pernah dipacarinya. Namun, masih banyak gadis yang cantik, pintar, dan … bisa mendengar.

Bro … entar sore tolong ambilin baju Anissa sama Nyokap di butik Lisbeth, ya?” todong Dimas.

“Gue partner lo, bukan sopir!” tolak Bryan sambil kembali menunduk menekuni laptopnya. Bryan menggeram dalam hati. Sampai kapan hidupnya seperti ini?

Mereka baru saja membuka outlet franchise Bubbly Tea baru di mal. Pekerjaannya segudang. Dimas minta tolong dia untuk apa? Mengambil baju pesta! Sebagian dari egonya ingin berteriak. Gue berhenti! Lalu? What can he do?Tadinya, ia berharap bekerja dengan Dimas akan lebih menyenangkan. Kenyataan jauh dari harapan. Jika ia mundur, apa kata Benny? Ia bisa membayangkan serentetan sindiran setajam silet yang akan keluar dan selalu diulang setiap pertemuan keluarga. Saat ini, ia tak punya pilihan selain bekerja dengan Dimas untuk menunjukkan ia bisa. 

“Deket banget Bro, tinggal melipir.”

“Lo punya kaki, kan?”

“Bajunya baru kelar entar sore.” Dimas memamerkan senyum. “Taruh di kantor lo aja. See you, Bro.” Tanpa menunggu jawaban Bryan, Dimas menghilang dari balik pintu.

***

Bryan mengecek alamat butik Lisbeth dan menyadari bahwa letaknya hanya 2 blok ruko dari tempatnya, tidak sampai tiga menit naik mobil, ia sudah menemukan plang besar bertuliskan “Lisbeth” terpampang di atas sebuah ruko.

“Koh, perlu isi bensin,” kata Pak Tono.

Bryan membuka dompet, mengeluarkan sejumlah uang, lalu menyerahkannya kepada Pak Tono. “Kalau sudah, nanti parkir sini saja,” perintah Bryan.

“Iya, Koh.”

Semilir angin dari pendingin ruangan dan bau cat menyambut Bryan. Sepertinya baru buka, tebak Bryan.

“Mau ambil pesanan Ibu Lana Wardoyo,” ucap Bryan kepada seorang gadis yang duduk di meja resepsionis.

Gadis itu mengangguk. Ia bangkit dan berjalan menuju rak berisi baju-baju yang dibungkus plastik. Setelah mencari sesaat, ia berpaling ke arah Bryan.

“Maaf, Pak, saya cek ke atas dulu, ya,” pamit gadis itu.

Oh great, omel Bryan dalam hati. Tak berapa lama gadis itu turun kembali bersama Lisbeth. Bryan berusaha bersikap tidak peduli sekalipun ada desir aneh ketika hidungnya menangkap aroma lembut lavender yang dikenakan Lisbeth.

“Oo Bryan, maaf baju masih dipayet sebentar,” ucap Lisbeth lamat-lamat.

Bryan tersenyum masam. “Berapa lama lagi?”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here