BLAST. Semua lampu menyala, ia menyaksikan semua penonton bertepuk tangan dengan meriah. Air mata mengalir di pipi Lisbeth. They saw it. Modelnya kini berjalan berbalik ke arahnya, kristal-kristal Swarovski yang ia jahit tangan di dalam pita-pita kawungnya memancar berkilauan terkena cahaya lampu sorot. Pita batik kawung yang tadinya terlihat seperti pita biasa kini berpendar bagai dihiasi lampu-lampu kecil yang bersinar.
Modelnya sudah tiba di hadapan Lisbeth dan mengulurkan tangan kepada Lisbeth. Dengan bergandengan tangan, mereka berjalan menyusuri runway. Di kedua sisi runaway, para penonton berdiri memberikan standing ovation buatnya. Bahu Lisbeth melorot lega. Beban berat terangkat dari pundaknya. Ia memang tak pandai bicara, tetapi paling tidak gaun-gaunnya bicara atas dirinya.
Berhasil …. Mata Lisbeth terasa panas. Ia tidak menahan air matanya. Butiran bening meluncur di pipinya. Ia berjalan menikmati tepuk tangan tanpa suara.
Lisbeth tersenyum lebar setelah ia dan para modelnya masuk kembali ke belakang panggung. Selesai sudah. Jerih lelah selama tiga bulan, hanya untuk sepuluh menit di runway untuk para modelnya dan kurang dari lima menit untuk dirinya. Ketika ia kembali, beberapa desainer memberinya selamat, Lisbeth merasa terbang ke langit.
Ia bukan pecundang, I can do this!
Ditemani Tini, Lisbeth mulai memasukkan baju-baju ke tas. Dengan kedua tangan penuh barang, Lisbeth berjalan keluar. Di lorong, banyak desainer disambut oleh keluarga dan rekan-rekan mereka.
Lisbeth tidak menunggu siapa-siapa hari ini. Wim dan Heni sedang mengikuti Final Ballroom Dance di Hong Kong. Keluarganya mengirim papan bunga cantik untuk dirinya. Buat Lisbeth, itu cukup. Ia tidak mau menyusahkan orang lain.
Di lorong, seorang pria berjas yang membawa buket bunga berjalan ke arahnya. Pria itu tampak ragu-ragu, beberapa kali ia melirik ke arah ponsel dalam genggaman tangannya lalu melihat ke arah Lisbeth. Lisbeth melewati pria itu begitu saja, langkahnya ringan seolah-olah ia berjalan di atas awan.
“Lisbeth … dipanggil!” kata Tini sambil menepuk bahunya.
Lisbeth berhenti dan menatap Tini dengan heran. “Siapa? Tidak kenal.”
Pria itu berjalan mendekati mereka lalu menyodorkan buket bunga. “Hai, Lisbeth.”
Lisbeth mematung menatap pria asing yang berdiri gagah di depannya. Perawakannya tinggi, sekitar 180 cm dengan tubuh proporsional dan ketampanan yang di atas rata-rata. Ia harus menengadah supaya bisa membaca raut pria itu. Rahangnya kokoh dengan alis tebal terpatri di wajahnya. Namun, yang membuat Lisbeth bertanya-tanya justru bahu pria itu. Aneh, gumam Lisbeth dalam hati. Strip suit mahal yang membalut badannya tidak bisa menutupi bahunya yang turun, seolah-olah menanggung beban berat yang tak terlihat. Lisbeth berusaha mencari aura percaya diri yang biasa terendus dari pria-pria yang mengenakan strip suit semahal itu. Nihil. Yang tampak justru pria yang berusaha bersembunyi entah dari apa. Wangi sandalwood tercium jelas ketika pria itu bergerak.
“Bryan.” Pria itu tampaknya sadar bahwa Lisbeth tidak mengenalinya.
Mata Lisbeth membesar lalu menyipit begitu mendengar nama itu.
“Bryan Lau, anak Om Ah Liong.”
“Bryan … Bryan … Ooo ….” Mata Lisbeth membesar. Ia baru ingat siapa pria di hadapannya, “Ko Bryan.” Terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu. Bryan tidak seperti kakaknya, Ko Benny yang masih kerap menghadiri acara kumpul-kumpul grup golf.
Mata pria itu tiba-tiba membelalak. Lisbeth tersenyum kecut, bahkan orang mengenalnya masih bisa terkejut mendengar suaranya. Bryan berusaha tersenyum lalu menggumamkan sesuatu. Lisbeth terdiam lagi. Kata-kata Bryan terlalu cepat dan barusan ia berpaling sedikit, sehingga Lisbeth kesulitan membaca gerak bibirnya dengan sempurna.
“Tolong … bicara … pelan-pelan ….”
“Tidak … perlu … pakai … Koko,” kata Bryan selambat mungkin.
Lisbeth tersenyum manis. “Oke, Bryan.”
“Buat Lisbeth.” Bryan menyodorkan bunganya.
“Wah … terima … kasih. Bagus sekali,” ujar Lisbeth gembira. Hidungnya mencium wangi mawar. Matanya pun berbinar. What a beautiful day!
Pria itu menyodorkan ponselnya ke arah Tini. “Tolong difoto.” Lalu ia berdiri di sebelah Lisbeth dan merangkulnya. Lisbeth sedikit risi. Ia jarang berdiri sedekat itu dengan pria lain. Namun, ia tetap tersenyum. Well, kalau benar-benar ingin jadi desainer, ia harus belajar membiasakan jika ada orang asing yang berfoto dan merangkul dirinya, bukan? Lagi pula, hari ini ia terlalu gembira.
Setelah memeriksa gambar yang baru saja diambil, Bryan mengangguk tanda puas.
“Makasih,” katanya kepada Tini. “Oke, saya pulang dulu,” pamit Bryan kepada Lisbeth. Ia pun berjalan keluar, tanpa berusaha membantu Lisbeth dan Tini dengan barang-barang mereka yang segudang.
Ponsel Lisbeth tiba-tiba berpendar. Sebuah pesan masuk
Congratulations, Sayang! Love You!
Diikuti dengan beberapa emotikon hati. Senyum langsung mengembang di bibir Lisbeth. Buru-buru ia mengetik membalas pesan tersebut.
Makasih, Yang. Kangen kamu. Sabtu ini ke Sentul?
***
[1] 十全十美 shí quán shí měi: melukiskan sesuatu yang menawan dan sempurna.