Backstage Metropolitan Fashion Show, Jakarta   

Bagaimana kalau tidak ada yang bertepuk tangan?

Benak Lisbeth penuh dengan pertanyaan. Dari luar, ia tampak tenang, padahal jantungnya berdebar kencang. Lisbeth berdiri di sebelah modelnya, gadis ramping yang mengenakan backless long dress dari bahan velvet berwarna merah mawar. Ia membungkuk sejenak, merapikan pita batik kawung emas yang ia jahit di bagian pinggang.

Lisbeth mengamati orang-orang berjalan hilir mudik. Mulut-mulut mereka membuka dan menutup membentuk kata dan kalimat-kalimat. Tangan-tangan teracung.

Dunia di sekitarnya selalu sibuk. Penuh gerakan. Penuh ekspresi. Mata yang bersinar ramah, maupun sinis. Senyum terpaksa ataupun yang tulus. Dunia di sekitarnya terasa bising, tetapi dalam dunianya, semuanya sunyi. Lisbeth terbiasa dengan sepi dan baginya sunyi bukan musuh untuk ditakuti. Sunyi adalah sahabat yang selalu menemani. 

Lisbeth … fokus, gumamnya kepada dirinya sendiri. Hari ini fashion show perdananya. Ia berusaha tampak tenang, tetapi jemarinya yang hendak memasangkan anting ke telinga modelnya bergetar.

Tap. Lisbeth terlonjak. Seseorang baru saja menyentuh bahunya. Ia menengok. Tini berdiri di hadapannya dengan dada naik turun seolah-olah ia habis berlari. Gadis itu mengerakkan tangannya membentuk angka lima seraya bibirnya bergerak. “Lima menit lagi.”

Lisbeth mengangguk. Ia harus mengikuti konferensi dengan para desainer muda lainnya. Ia tidak tahu mana yang lebih membuatnya gelisah. Konferensi pers dengan orang-orang asing yang tidak ia kenal, peragaan busana perdananya, atau malah keduanya? Benaknya kembali memutar ulang bahan presentasinya. Batik kawung melambangkan kemurnian dan kesempurnaan. Warna merah putih adalah warna bendera Indonesia, emas adalah lambang kejayaan. Indonesia Jaya.

Sepasang anting Swarovski sudah terjuntai di telinga modelnya. Lisbeth tersenyum seraya memeluk gadis itu. Ia memeluk modelnya sedikit lebih lama daripada seharusnya, seolah-olah ia berharap mendapat kekuatan.

Lisbeth bergegas supaya tidak terlambat menghadiri konferensi pers. Di hadapannya, jalan bercabang dua dan tak ada satu pun tanda petunjuk letak ruang konferensi. Ia memeras otaknya mencoba mengingat.

Tap. Bahunya ditarik. Lisbeth terlonjak lagi untuk kali kedua dalam lima menit. Mengapa orang-orang ini suka sekali membuatnya terkejut? gerutu Lisbeth. Di hadapannya, berdiri seorang laki-laki. Napasnya terengah-engah. Tangan laki-laki itu menunjuk arah yang berlawanan. Bibirnya membentuk kalimat, “Di situ!” Lalu tangan itu bergerak-gerak dengan lebih cepat.

Buru-buru Lisbeth mengatupkan tangan dan sedikit membungkuk, berusaha meminta maaf. Laki-laki itu hanya mengibaskan tangannya, jari telunjuknya memberi isyarat supaya Lisbeth mengikutinya.

Mereka memasuki ruangan lain yang tampak ramai. Sebuah sofa panjang sudah disiapkan untuk para desainer. Semua menatap ke arahnya ketika ia berjalan ke sudut sofa yang kosong. Lisbeth berusaha tidak memperhatikan tatapan-tatapan itu, tetapi tidak bisa. Ia tahu persis tatapan apa itu. Tatapan kesal ke mana-aja-sih-lo yang dibarengi dengan jemari atau kaki yang diketuk-ketuk dan mata yang sedikit berkerut.

Kursi-kursi sudah penuh terisi, mulai dari wartawan, fashion blogger, para kritikus, maupun tamu-tamu VIP. Di baris terdepan, duduk dua pria. Seorang dari antara mereka menunjuk Lisbeth dengan ujung bolpoinnya, mulutnya membentuk kata, “Cantik.”

Cantik. Salah satu gerakan bibir yang lumayan sering dilihatnya. Lisbeth cepat-cepat memalingkan wajah dan melirik ke arah moderator yang duduk persis di seberangnya, perempuan rupawan dan modis dengan rambut tergerai dan senyuman ramah. Lisbeth langsung menyukai perempuan itu. Tatapannya hangat, bicaranya jelas. Beberapa orang suka berbicara dengan gerakan bibir minimum, yang lain berkumis tebal, sehingga menyulitkan dirinya membaca gerak bibir dengan tepat. Ada juga yang suka bicara sambil menoleh ke kiri dan kanan. Lisbeth mendesah lega ketika ia bisa membaca gerak bibir presenter dengan mudah.

“Selamat datang …. para desainer kita malam hari ini.” Perempuan itu berhenti sejenak lalu melempar senyum. “Terima kasih juga kepada rekan-rekan,” ia menoleh kepada para wartawan yang memenuhi ruangan, “… ini. Kita mulai dari Kezia, pemilik butik Kenzia.”

Sang moderator memberikan pelantang kepada perempuan berkain batik parang yang duduk di sebelah kirinya.

Kezia duduk sejajar dengan Lisbeth sehingga Lisbeth tidak bisa membaca gerak bibir Kezia.

“Saya … floral printing … inspirasi dari … baju, kain ….” Hanya itu yang bisa Lisbeth tangkap. Ia hendak menjulurkan lehernya lebih panjang, tetapi mengurungkan niatnya.

Matanya menyapu ke seluruh ruangan. Para wartawan sibuk mencatat dan mengambil foto. Lisbeth lebih tertarik memperhatikan reaksi dan raut wajah orang-orang di depannya. Ia bisa menebak desainer mana yang pandai melempar humor dan desainer mana yang bicaranya membosankan, hanya dengan memperhatikan reaksi dan wajah orang-orang di hadapannya. Tanpa sadar, matanya bertemu dengan pria yang tadi mengucapkan kata cantik. Pria itu melempar senyum dan melambai singkat. Lisbeth hanya tersenyum.

Peristiwa ini … sering terjadi. Terlalu sering. 

Pelantang tiba di hadapannya. Lisbeth merasakan besi dingin sedikit basah karena keringat di tangannya. Buru-buru Lisbeth menyibakkan rambut panjangnya berusaha mengusir kegelisahannya.

“Se … la … mat … ma … lam.” Lisbeth mencoba bicara sejelas mungkin. Kepada orang-orang di luar keluarganya, Lisbeth harus berbicara dengan lebih pelan supaya mereka bisa mengerti. Seorang wartawan di pojok yang sedari tadi hanya bermain dengan ponselnya tiba-tiba mengangkat kepala dan menoleh ke arah panggung.

“Na … ma … sa … ya … Lissse … beth.” Lisbeth memandang orang-orang di depannya mulai berbisik-bisik. Ia menelan ludah.

Skenario ini sering terjadi. Wajah-wajah itu mendadak kaget ketika mendengar suaranya. Lisbeth tidak pernah mendengar suaranya sendiri. Namun, ia menebak ada yang berbeda dari suaranya. Suaranya membuka tabir tentang identitasnya.

Lisbeth tidak pernah berusaha menyembunyikan bahwa ia Tuli. Ia tidak malu menjadi Tuli, justru ia mengikuti fashion show dan membuka Butik untuk memberi akses lebih luas bagi teman Tuli. 

Setelah mengetahui ia Tuli, banyak orang berubah sikap. Dari yang tadinya biasa saja, tiba-tiba menjadi ekstra ramah dan memperlakukannya seperti barang pecah belah, ada pula yang langsung tersenyum masam dan memalingkan muka, serta bibir-bibir yang membentuk kata Tuli, beserta satu frasa yang sangat tidak ia sukai: kasihan, ya.

Hatinya geram setiap ia membaca gerakan bibir itu muncul di sana sini. Terkadang mereka berbisik, tetapi orang-orang itu tidak tahu kalau Lisbeth bisa membaca gerak bibir. Ia memang tidak bisa mendengar, tetapi ia bisa melakukan banyak hal lain. Mengapa orang hanya fokus pada apa yang ia tidak bisa dan melupakan banyak hal lain yang ia bisa?

Lisbeth memasang senyum termanisnya. “Ma … lam, ini koleksi … saya … batik kawung.”

Beberapa orang terang-terangan menggaruk-garuk kepala. Yang lain memandangnya dengan tatapan kosong. Rangkaian kalimat yang sudah Lisbeth siapkan selama berhari-hari menguap begitu saja. Benaknya kosong. Lisbeth panik dan berusaha mengorek ingatannya. Batik kawung. Lalu? Kawung. Apa lagi?

Matanya mengerjap panik. Ia sadar puluhan pasang mata memandangnya. Batik kawung … ayo Lisbeth.  Tidak ada ingatan yang tersisa. Jantung Lisbeth berdebar, dadanya sesak. Ia berjuang keras menahan matanya yang terasa panas.

Entah berapa lama ia mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya ia menyerah. Lisbeth menatap ke arah sang moderator, meminta bantuan dengan tatapan sedikit memelas. Presenter itu menatap Lisbeth dengan hangat dan mengambil pelantang serta berkata, “Batik kawung. Koleksi Lisbeth terinspirasi dari batik kawung.”

Lisbeth tersenyum lemah. Ingin rasanya ia menghilang. Jika desainer lain bisa bicara panjang lebar dalam dua menit, Lisbeth hanya bisa berbicara sepatah dua patah kata. Ia mengutuki kegagalannya mengingat rangkaian kata yang sudah ia siapkan.

Kok bisa lupa? Lisbeth tak hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Jalannya tidak mudah. Jika orang lain hanya perlu mencoba sekali, Lisbeth harus mencoba 5 kali. Namun, ini dunia yang ia pilih. She will fight, whatever it takes.

Ketika ia mengangkat wajahnya, lagi-lagi matanya bertemu dengan pria di hadapannya. Namun, kali ini, dengan cepat pria itu memalingkan wajahnya. Tidak ada senyum, tidak ada lambaian.

Lisbeth tertawa kecut dalam hati. Benar, kan? Ia sudah terbiasa. Pujian cantik, senyuman menggoda, biasanya langsung hilang begitu mereka tahu ia Tuli.

Bagi Lisbeth, dunia ini aneh. Paradoks. Penuh dengan orang-orang dengar yang tidak mau mendengar. Orang dengar biasanya pandai bercakap-cakap. Lisbeth bicara satu kalimat, mereka membalas sepuluh kalimat. Namun, apakah mereka mendengarkan? Ketika bicara dengan mereka, Lisbeth sering merasa kalau orang-orang itu hanyalah mendengarkan suara mereka sendiri.

Lisbeth memang Tuli, tetapi kadang ia merasa ia bisa mendengar. Ia dapat mendengar kemarahan yang orang sembunyikan di balik senyuman, mendengar cemooh yang tampak di mata mereka, dan Lisbeth pun bisa mendengar pujian yang tulus dari senyum yang ramah.

Hingga akhir konferensi pers, Lisbeth hanya menunduk, berusaha tidak membaca wajah siapa pun. Ketika para desainer sibuk berbincang, ia menyelinap ke backstage sendirian, berharap tak ada yang sadar akan kegagalannya.

Tini sibuk memberi kode kepada Lisbeth bahwa sebentar lagi giliran mereka tiba. Para modelnya sudah siap di belakang runway.

Satu per satu, para model memasuki runway berjalan mengikuti musik. Lisbeth menyaksikan kepala Tini ikut bergoyang-goyang. Lisbeth mencengkeram bajunya erat-erat. Ini kesempatan terakhirnya. Jika tak ada yang suka, tak ada yang bertepuk tangan, hancur sudah hatinya.

Terakhir hanya tersisa seorang model yang mengenakan gaun utamanya, ballgown berwarna merah mawar dengan pita-pita kawung putih. Di sela-sela pita kawung, ada jalinan bordir benang-benang emas yang membuat motif indah. Lisbeth menyematkan kejutan istimewa pada pita-pita kawungnya. 

Lampu di panggung dan di ruangan tiba-tiba diredupkan. Lisbeth membayangkan, dari kursi penonton yang tampak pasti hanya siluet hitam modelnya. Hati Lisbeth berdebar seiring dengan langkah modelnya yang mulai menapak. 

BLAST. Satu lampu sorot mulai menyala. Blast! Blast! Blast! Beberapa lampu sorot aneka warna menyoroti modelnya. Jantung Lisbeth berdebar makin kencang. Apakah para penonton menemukan rahasianya? Ia memicingkan mata mencoba mengamati sosok-sosok di depannya dan …. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here