Episode 6
Scene demi scene di mana ibu bergelut dengan emosi kemarahan bercampur ketakutan membuat diriku lahir lebih cepat tujuh hari dari perkiraan awal dokter, sesaat hadir lagi saat layar computer menampilkan sebuah film. Wifi yang lumayan kencang di kedai memang membuat pelanggan berlama-lama menatap layar. Seperti saat ini seorang tamu mengakses drama Korea tanpa malu-malu di sofa tak jauh dari meja barista, dan mau tak mau aku yang duduk di sofa belakang ikut menonton.
Scene-scene itu begitu saja tergambar saat ibu bercerita panjang lebar tanpa jeda setelah dengan kemarahan aku menyatakan kebencianku pada ayah. Iya Mei bahkan di tiap tahunnya, menjadi bulan yang ditakuti kehadirannya oleh ibu. Dengan sukarelanya ibu mengunci diri di kamar mulai dari awal hingga nama bulan berganti. Sejak kecil pula, aku terbiasa dirawat emak pengasuh sementara kala masa karantina itu harus dijalani. Tentu tak gratis, tapi mau bagaimana lagi, paman harus bekerja hingga tengah malam sedangkan ibu untuk urusan makan pun harus disodorkan ke depan pintu kamar.
“Malam sebelum ayahmu mengunci pintu toko, ibu sudah mengatakan kalau lebih baik brankas dikosongkan dan disetor ke bank esok hari. Ibu juga mengatakan ingin menginap di kontrakan paman selama beberapa hari, tapi ayahmu menolak. Andai saja ayahmu tak sekeras batu pendiriannya.”
“Sesudah membuka toko, ayahmu pulang ke rumah karena badannya demam sejak malam. Kita tinggal di lantai atas karena lantai dasar untuk jualan obat herbal oleh pemilik kontrakan. Itupun karena ibu menolak tinggal di lantai tiga toko kita, bagaimana bisa tidur lelap di antara kotak-kotak barang elektronik dengan perut menggembung!”
“Tetangga sudah kasih tahu kita kalau di jalan pada ramai demo, tapi kan tidak menyangka kalau akan merembet ke toko dan kontrakan kita. Ayahmu loh sampai mau ke toko bahkan parang untuk jualan kelapa muda sudah dimasukan ke jok sepeda motor. Gila memang tuh orang! Kalau ketahuan petugas apa tidak dikira mau ngapain!”
“Nah di walkie talkie tuh anak buah ayahmu di toko ada bilang kalau toko-toko sebelah sudah pada nutup folding gate tapi tetap ga bisa kemana-mana karena gerbang ditutupi ambulan-ambulan. Anehnya tidak ada petugas kesehatannya. Dah, ibu ga bisa nahan ayahmu hampir saja. “
“Saat ayahmu sedang bersiap, eh dari jendela terlihat asap dari arah atap bangunan mall. Tau kan kontrakan kita ga jauh dari mall, eh kamu masih di perut ya. Ah pokoknya mall yang itu! Nah dari jendela juga kelihatan tuh beberapa lelaki bawa tongkat kasti dan mukul-mukul tiang listrik. Ibu takut lah, apalagi jam segitu bapak-bapak pada kerja kan. Toko obat di lantai bawah juga hanya ada mang Jali seorang ma engkong Tanu. Gimana kalau kenapa-napa?”
“Waktu gerombolan itu hampir sampai gang kita, mang Jali dan engkong sudah naik ke ruangan kita sambil bawa koper. Tuh koper biasanya buat simpan uang cash kalau engkong mau nabung ke bank. Gila, engkong yang super tenang pun panic saat itu. Dan benar, pintu garasi lantai bawah digendor sampai perut ibu linu banget. Mana pamanmu dan kelompoknya belum juga datang menjemput.”
“Dan saat pintu kamar digedor, dan dibuka paksa, maka pinggang ayahmu tak bisa ibu tahan lagi. Tepat saat lantai di bawah kaki kepala gerombolan itu jadi merah maka detik itu juga kamar menjadi gelap. Arghhhhh!”
Kemudian penuturan ibu menjadi rutinitas setiap menjelang Mei dimana paman dan Tata kecil harus mau mendengarkan. Awalnya dada ini penuh gejolak tapi makin tahun makin terasa baal. Bukan tak berduka tapi lelah melihat tumpukan obat penenang ibu tak kunjung berkurang. Jika kondisi ibu saja begini, bagaimana dengan korban pembakaran dan perkosaaan ya?
Paman tak banyak menanggapi pertanyaan tentang trauma apa yang dia pasca kerusuhan. Memang paman tak minum obat ataupun menunjukan perilaku khusus tapi sering kali mendapati lelaki tegap itu mengusap kelopak matanya setiap pagi. Dari Mang Jali, baru diketahui bahwa kekasih masa kecil paman gantung diri di rumah sakit jiwa akibat depresi pasca diperkosa. Mungkin itu salah satu alasan mengapa paman ingin selibat dan berdiam di vihara. Aroma tubuh paman memang serupa cendana yang mana dia haturkan setiap subuh di depan foto seorang perempuan. Ibu dan aku menyapanya dengan sapaan khusus, “Bibi Hwa.”