Seakan tahu ia tak dapat melawan papanya, Ming hanya mengepalkan tangan kuat-kuat. Lalu ia mengangguk kecil sebelum meninggalkan area sidang.
Beban belum selesai ditambahkan di bahunya. Ketika John mulai sering datang ke ruko, Ah Lung kembali memberinya peringatan.
“Kamu kenal itu John? Anak siapa? Kamu lihat, jangan sampe dia macem-macem.”
Ming tak bisa menahan tawa geli membayangkan kembali ekspresi Ah Lung saat itu. Papanya yang selalu sok galak bak kepala gangster, tetapi bisa cemas berlebihan soal anak gadisnya. Papanya yang pura-pura dingin dan tidak peduli, tetapi dengan lihai memakai tangan orang lain untuk memastikan tujuannya tercapai.
Dari luar, Ah Lung seperti tak acuh dan memanjakan Martha, hampir tak pernah bersikap keras atau memarahinya. Namun, bagi Ming, ia selalu menghadapi sisi disiplin papanya. Yang ia terima adalah tuntutan, teguran, dan sesekali tamparan.
Ming membalik badannya, menghadap pada Santi yang tertidur lelap. Hatinya tercubit, diingatkan kembali bahwa tanpa dukungan papanya, ia mungkin tak akan menikmati hidup pernikahan yang bahagia. Kalau bukan papanya, entah bagaimana hidupnya sekarang.
Ketika ia berada di persimpangan jalan, dilanda keraguan untuk rencana masa depan, papanya hadir dengan cara yang tak pernah ia alami sebelumnya.
Setelah enam tahun berpacaran, keluarga pacarnya meminta Ming untuk segera memikirkan kelanjutan masa depan mereka. Proses lamaran dan persiapan pernikahan pun dilakukan. Ah Lung tak banyak bicara, seperti biasa.
Hingga beberapa bulan sebelum pernikahan, masalah demi masalah berdatangan. Ming dipaksa untuk berpikir serius. Rasanya mustahil membatalkan pernikahan, ia tak ingin kedua keluarga menanggung malu. Namun, ada banyak hal yang membuatnya ragu melanjutkan langkah.
Ming tak mungkin lupa malam itu, di meja makan. Melihat hanya mereka berdua yang tertinggal, Ming memberanikan diri membuka mulut.
“Pa, gimana kalo ditunda?”
Ia tak berani memandang papanya. Matanya tertuju pada cangkir air yang dimainkan oleh jemarinya.
“Gak bisa tunda. Lanjut atau batal,” tegas Ah Lung.
Ming mengangkat cangkir dan segera menandaskan air di dalamnya.
“Kenapa gitu, Pa? Papa ga suka dia?”
“Papa suka atau enggak sama dia, enggak pengaruh, ‘kan? Kamu dewe yak apa (Kamu sendiri bagaimana)?”
Kali itu, semua unek-unek Ming ditumpahkan di hadapan papanya. Semua pemikiran yang ia pendam dan setiap keraguan yang ia pikul sendiri dibeberkan tak bersisa. Termasuk berbagai jawaban untuk pertanyaan yang Ming pikir akan papanya lontarkan sejak permintaan lamaran disampaikan padanya, tak ada lagi yang ia sembunyikan.
“Aku gak mau bikin malu keluarga, Pa.”
Kepala Ming makin tertunduk. Ada beban yang sudah ia lepaskan dari pikirannya, tetapi ganjalan di hatinya terlampau berat.
“Ming ….” Kalimat Ah Lung yang terputus membuat Ming menangkat kepalanya perlahan, menatap papanya dan menunggu kelanjutan dari mulut beliau. “Papa lebih baik hilang muka sebentar, daripada kamu hilang masa depan.”
Ming menatap langit-langit, menjaga agar tidak ada yang tumpah dari matanya. Belum juga ia berhasil menenangkan diri, perkataan Ah Lung berikutnya seperti dipatri di loh hatinya.
“Masa depan ada di tanganmu sendiri. Kamu yang harus pilih. Papa enggak mau kamu sekarang bilang iya iya, tapi nanti kamu berubah, lalu akhirnya pisah. Kalau iya, jalani sama dia … tanggung semua yang ada di depan. Kalau enggak, kamu harus berani hadapi.”
Seumur hidupnya, baru kali ini Ming mendengar kalimat-kalimat panjang dari mulut papanya.
“Jadi laki-laki … yang dipegang itu omongannya. Kamu pikir baik-baik,” nasihat Ah Lung sembari beranjak dari tempat duduknya.
Belum sempat Ming memberi keputusan, keesokan harinya Ah Lung menyuruhnya menemui Bayu. And the rest is history.
Ia masih ingat betapa malunya ia ketika menemui orang tua tunangannya, membatalkan pertunangan dan rencana pernikahan. Kemarahan dan tangisan (mantan) tunangan seperti tak akan bisa ia lupakan sepenuhnya. Ada noda yang tak akan terhapus dari hidupnya.
Ah Lung dan Lingga tak pernah secara verbal menghibur atau mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, absennya celaan dan penghakiman dari mulut kedua orang tuanya merupakan bentuk dukungan yang Ming hargai. Bahkan ketika kerabat dan kenalan mereka menanyakan tentang batalnya rencana pernikahan, senyum tipis Ah Lung menjadi oase di tengah gurun penderitaan Ming.
Ming tahu bermimpi mendapat approval atau pujian dari mulut papanya seperti menantikan salju di khatulistiwa. Ia belajar untuk membuka mata lebar-lebar dan menangkap kemunculan senyum yang sedikit lebih lebar di wajah papanya.
Senyum itu muncul ketika ia membawa Santi ke rumah, ketika beberapa tahun kemudian mereka berdua menyatakan rencana untuk membangun keluarga, ketika Ah Lung mengajaknya melihat rumah baru, dan ketika berita kehamilan Santi disampaikan.
“Kamu … laki-laki di rumah ini. Kamu jaga Santi … Mama dan Tata juga. Ga ada lain yang bisa.”
Siapa menyangka kalimat yang papanya sampaikan ketika mereka berjalan keluar dari restoran menuju tempat parkir, setelah perayaan ulang tahun Ah Lung, menjadi pesan terakhir.
Pesan itu terdengar lagi di telinga Ming, seperti sebuah rekaman yang diputar ulang. Suara itu juga ia dengar di samping peti jenazah.
Ming bangkit dari tidurnya. Ia terduduk, diam. Menatap gorden jendela kamarnya.
Ya, ia harus berusaha keras menjaga agar Martha tak salah langkah.
Mungkin saja, ini kali terakhir ia melakukan sesuatu untuk adiknya, sebelum tanggung jawab itu berpindah ke lelaki lain.
—
Terulang lagi.
Martha duduk memandang lampu penerangan di ujung jalan, tanpa kata. John, yang berada di belakang kemudi, juga tidak bersuara. Sudah beberapa menit mereka seperti ini, saling mendiamkan dan bahkan tak berani saling menatap.
Martha merasakan jemari John merayap di punggung tangannya, kemudian menggengamnya; erat tetapi hangat, mantap tetapi lembut.
“Babe ….”
Martha berusaha keras tak menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia merasakan ibu jari John mengusap punggung tangannya. Tak lama kemudian, ia mendengar suara gerakan, John sepertinya mengubah posisi duduknya. Lalu ada tangan John membelai pipinya dan dengan lembut mengarahkannya untuk menatap sang kekasih.
Martha masih menghindari tautan pandang dengan John. Matanya mencari fokus ke sembarang arah, tetapi kilau kecil di manik mata John menangkap perhatiannya. Ada titik basah yang memantulkan cahaya remang dari luar.
“I’m sorry.”