“Wes, Ko. Ga usah diintip terus.”
Ming mundur dari jendela kamarnya dan mendekati Santi yang sedang duduk bersandar di tempat tidur. Ia merebahkan badannya di samping Santi, menyandarkan kepala ke bahu istrinya.
“Tata udah gede, Ko. Koko juga bilang John bisa diandalkan, tho? Jangan terlalu khawatir.”
Mata Ming yang seperti tertuju pada layar televisi, mengerjap beberapa kali.
“Kalo sama John, aku ga bingung, San. Aku justru ga bisa nebak isi pikiran Tata.”
Mereka berdua terdiam. Percakapan dari film yang diputar di layar televisi memenuhi ruangan.
“Menurutmu, apa aku bisa jadi papa yang baik?”
Santi melirik lembut ke arah suaminya, ia mengusap perlahan helai rambut yang berjatuhan dan sedikit menutupi dahi Ming.
“Mau jawaban jujur atau jawaban menghibur?”
Santi melihat bahu dan kepala Ming yang bergerak-gerak seiring dengan tawa kecil yang lolos dari mulutnya. Tak lama kemudian Ming mendongak dan menatap Santi. Masih tak menjawab pertanyaan istrinya.
Santi tersenyum tulus dan membelai rahang kuat suaminya.
“Kamu gak butuh jawabanku, Ko. Kamu sudah tahu, kok.”
Ming membalikkan badan, menelungkup dan bertumpu pada salah satu sikunya. Sementara tangan kirinya mengusap perut Santi yang makin membesar. Dia memandanginya lekat, seakan matanya dapat menembus perut Santi dan menatap calon anaknya.
Ia kemudian menatap Santi, perempuan pilihannya, istrinya.
Pandangan mereka bersirobok. Tanpa kata, saling memahami, saling menikmati.
—
Suara mesin mobil dimatikan membangunkan Ming dari lamunannya. Santi sudah terlelap. Lampu kamar mereka sudah diredupkan. Tetap saja Ming tak ragu untuk menyibak selimut, bangkit dari tidur, dan berjalan mendekat ke jendela kamar.
Ia mengintip dari balik gorden yang disingkapnya perlahan. Tak ada tanda-tanda pintu mobil dibuka. Dari tempatnya berdiri, ia tak bisa melihat jelas apa yang terjadi di dalam kendaraan itu.
Jalanan depan rumahnya sudah sepi, tak ada kendaraan yang lalu-lalang. Namun, mobil itu masih bertahan di sana.
Ming menghirup udara dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia memutuskan melangkah menjauh dari jendela, tetapi selang beberapa langkah ia menoleh kembali walau tahu khawatirnya tak akan terpuaskan.
Ia berbaring kembali. Menatap ke langit-langit kamar, mencoba menata kembali hal-hal yang merampok pikirannya beberapa waktu belakangan.
Senyuman terulas di wajahnya, mengingat adiknya yang minta digendong. Tangannya menggosok pinggang yang terasa sedikit pegal karena menggendong beban 60 kilogram. Entah kapan terakhir kali ia menggendong Martha.
Rasanya baru kemarin, mereka pergi bermain ke kampung belakang ruko. Ming yang asyik bermain bola harus menghentikan permainan karena suara tangisan adiknya. Martha terjauh dan ada luka menganga di lututnya, membuatnya sulit berjalan. Ming menggendong adiknya pulang, membiarkan punggungnya basah dengan air mata.
Bukannya mendapat pujian sebagai kakak teladan, ketika Ah Lung melihat mereka, rotan yang mereka terima. Bahkan, Ming mendapat porsi berlipat ganda, karena dianggap tak mampu menjaga adiknya.
“Main terus! Enggak sadar Tata ikutin kamu. Masih untung cuma berdarah, kalau hilang dibawa orang, gimana? Tugas kamu lindungi dia. Tata cuma punya kamu, yang bisa jagain dia.”
Mata Ming mengerjap, mengingat setiap kata terucap dari mulut papanya dibarengi dengan sengatan rotan. Pipinya mulai basah, sama seperti Ming kecil yang kala itu tak dapat membendung air mata.
Semenjak itu, Ming tak lagi bermain bola dengan anak-anak kampung belakang. Selain Ebta dan Ebtanas yang menuntutnya belajar, dia tak ingin disambangi oleh rotan lagi.
Memori lain mampir di benaknya. Ming terpaksa undur diri dari makan malam bersama beberapa teman. Martha menelepon dengan terisak, memintanya menjemput di TP. Ia mendapati wajah adiknya yang suram, matanya mulai membengkak.
Tak ada cerita yang keluar dari mulut Martha. Namun, air matanya terus mengalir. Ming akhirnya memutuskan untuk menepi di jalan yang tak begitu ramai. Tak butuh lama buat Martha menemukan lengan kokonya, dan menangis sampai puas di sana. Sakit hati terbentur pengkhianatan meninggalkan luka yang lebih besar dari lutut yang mencium aspal.
Nahasnya, Ah Lung masih menonton televisi ketika mereka sampai di ruko. Martha cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Ming, lagi-lagi, menghadapi penghakiman papanya. Duduk perkara sesungguhnya ia belum tahu jelas, sebuah hal yang menambah daftar kesalahannya di mata Ah Lung.
“Tata dibegituin bisa jadi karena kamu gituin banyak cewek di luar sana. Kalo mau macem-macem sama cewek, inget Tata. Masa depan dia ada di tanganmu.”