Paman memang semakin langsing badannya tapi kekuatan dari tiap kata serta nada bicara semakin bertambah. Dan seperti biasanya kepala tertunduk karena pikiran ini belum kunjung menemukan respon apa yang sebaiknya aku tunjukan pada paman.
“Bekerjalah seperti biasa, dan jika mereka bertemu tanpa terencana maka itu kehendak semesta bukan? Tata tahu sendiri kan kalau proses rekonsiliasi sudah kerap kali yang terjadi dalam hidup kita. Mungkin kali ini waktunya menuntaskan kekecewaan yang sudah mulai terobati dalam dirimu.”
Saran dari paman kerap sepaket bagi keponakannya ini beserta pekerjaan rumah untuk mempraktekkan dalam hidup sehari-hari. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya saat masih di bawah satu atap? Tidak, paman tidak pernah memaksa orang lain untuk segera menyetujui saran atau melakukannya. Tak jua perkataan menyindir atau mengingatkan kembali karena paham terkadang orang butuh didengarkan semata.
Tak mudah menyimpan rahasia dari sesorang yang mulai kita sukai terlebih itu menyangkut dirinya sendiri. Bibir ini harus dikendalikan rapi agar tak mengeluarkan kata-kata yang terlanjur dijanjikan tak terucapkan. Sejak mobil mengarah menjauh dari toko dupa dan meninggalkan lahan parkir vihara, aku lebih banyak diam. Sungguh canggung jika pertanyaan yang biasa dengan ringan terlontar tetiba bisa terkunci rapat. Daniel yang duduk rapi di sebelah ku juga tak banyak berbicara kecuali basa-basi sesuai etika penumpang. Hanya saja, semenjak rambutnya tersisir rapi walau aroma badannya belum berubah, dia terlihat lebih menarik. Ah jadi teringat kata Nadia, “Yang namanya jatuh cinta, tai pun serasa permen coklat dilihat.”
Mobil berhenti di depan sebuah gang dimana hanya bisa terlewati oleh satu orang. Bukan pemandangan baru sebenarnya, karena gang rumah kontrakan paman tak beda jauh kondisi. Ibu kota memang tidak hanya terdiri mengkilapnya lantai mall atau aroma wagyu di sela keriuhan pesta tahun baru. Peralihan dari gaya hidup di antara keduanya sedang aku jalani dan mungkin akan berahkir dengan pemborosan atau bermalam di penjara jika saja Nadia tidak menjadi sahabat tergalak.
Setelah mendengar ucapan terima kasih, detik ini aku memandang punggung lelaki yang terbungkus kemeja pink dengan galau. Sebuah ide tetiba muncul dan bila terwujud maka semua orang akan bahagia. Moncong mobil kemudian mengarah ke utara dimana rumah Nadia walau tak yakin Nadia akan menyetujui ide yang memerlukan banyak modal tentu saja.
##
“Tidak, kamu tidak boleh keluar! Mati gimana? Orang-orang sudah di depan gang!”
“Jika aku tak keluar, bagaimana bisa membawa dirimu ke dokter? ”
“Kakak sebentar lagi sampai bawa bantuan. Aku kuat!”
“Lantai sudah basah oleh ketubanmu begini! “