Perlahan ia memberanikan diri menatap ibunya lagi. Di wajah itu, hanya ada seulas senyum, yang membuatnya terlihat makin cantik. Sekalipun dibingkai oleh gurat akibat hidup yang berat dan keriput tanda kefanaan, wajah ibunya berseri-seri, memandangi dirinya.
“Bayu … terima kasih. Selama ini Ibu banyak membuat pilihan yang salah. Tapi, ada kamu, yang selalu kasih Ibu semangat untuk terus menjalani hidup.” Tangan Ida berpindah, menangkup pipi putra terkasihnya, putra kebanggaannya.
Bayu tak mampu menahan terjangan emosi dalam dirinya. Ia mengalihkan pandangannya, tak ingin ibunya melihat matanya yang sudah basah.
—
Ibunya sudah tertidur. Ada suara dengkuran halus yang terdengar.
Bayu masih terjaga, menatap langit-langit kamar ibunya dari kasur busa yang mengalasi tubuhnya. Ia mencoba mengingat wajah itu. Nihil. Bayangan yang muncul malah bagian belakang tubuh yang berjalan menjauhinya dan tak pernah berbalik, tak pernah kembali.
Setiap kali Bayu memikirkannya, ada goresan baru yang ditambahkan di hatinya. Bukan … itu luka lama yang terkuak lagi, berdarah lagi, tak pernah benar-benar sembuh. Pedih, tapi ia tak mampu berbuat apa-apa.
Detak jam dinding terdengar makin keras, bersahutan dengan dengkuran nyenyak ibunya. Ia memutuskan untuk bangkit dari tidurnya. Dengan perlahan ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali.
Ia berdiri, memandangi meja makan dan berbagai barang yang ada di sana. Sebuah gelas enamel merampas perhatiannya. Gelas milik Papa, yang sekarang sering dia gunakan. Ia tahu tak ada gunanya terus berharap. Namun, diam-diam ia masih ingin melihat Papa duduk di kursi pojok itu, minum dari gelas kesayangannya.
Rasa itu kembali memenuhi hatinya, menghimpitnya sesak. Ia memutuskan untuk melangkah keluar. Setelah menutup pintu rumah, nyaris tanpa suara, ia terdiam sebentar, lalu duduk di undak-undakan di depan pintu.
Bayangan itu muncul lagi, bak sebuah film yang diputar di depan matanya.
—
Bayu sedang bermain sendiri di halaman samping ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar. Tak lama terdengar bunyi gaduh nan nyaring, gembok yang masih terkunci itu dipukul-pukulkan pada besi pagar.
Bukan hanya dirinya saja yang beranjak menuju bagian depan rumah, ia melihat Papa dan Ibu keluar dari dalam rumah. Ia tak paham, mengapa Papa bercakap-cakap dengan suara lantang dengan pemuda berbadan tinggi yang berdiri di luar pagar. Mereka seperti dua orang musuh yang sedang bertukar kemarahan.
Ibu hanya terdiam sambil memegangi lengan Papa, seakan ingin menenangkan beliau.
Merasa tak berdaya dan tak paham apa yang terjadi, Bayu duduk diam di undak-undakan pintu. Menanti Papa atau Ibu memberi tahu bahwa semua baik-baik saja. Mungkin pemuda itu salah alamat.
Ya, pasti dia salah alamat. Buktinya Ibu tak membuka pagar untuknya dan pemuda itu tetap berada di luar rumah.
Ia bisa menangkap kata “bayi”. Apakah pemuda itu mencari bayi? Tak ada bayi di rumah ini. Bayu benar-benar yakin pemuda itu salah alamat. Ingin rasanya ia menarik tangan Papa untuk masuk kembali ke dalam rumah. Tak perlu lagi melanjutkan pembicaraan dengan pemuda itu.
Namun, ia hanya duduk di sana, melihat Papa berbalik masuk ke dalam rumah. Ia menghentikan langkah Ibu yang menyusul Papa.
“Bu, siapa itu?”
“Itu anak Papa, Yu. Kohdemu,” jawab ibunya cepat sambil melangkah masuk dengan tergesa-gesa.
Anak Papa? Bayu tak mengerti. Cuma dia anak Papa di rumah ini.
Ia menatap pemuda itu. Kohde. Ia tak pernah bertemu dengannya. Wajahnya tak ramah. Ia berjalan ke sana kemari tanpa tujuan, sesekali mengentak kakinya gusar. Ia tak ingin bicara dengan Kohde. Sepertinya dia orang jahat. Dia tak mau dekat-dekat dengannya.
Ia mendengar suara gaduh dari dalam. Ketika ia menoleh, Papa sedang mengemasi barang-barang dan Ibu mulai menangis. Bayu kecil hanya terdiam. Semua gara-gara Kohde. Ia menoleh dan menatap tak suka pada si biang kerok yang mengubah pagi cerah menjadi mimpi buruk.
Kaki Papa terhenti sejenak tepat di sebelah duduknya. Ia mendongak menatap Papa yang tak membalas tatapannya.
“Papa, mau ke mana?” tanyanya polos. Apa dia boleh ikut? Kapan Papa kembali? Begitu banyak pertanyaan yang ada di benaknya, begitu sempit waktu yang ada.
“Kamu tunggu.” Itu saja pesan Papa sambil terus melangkah. Singkat dan lugas. Tak ada janji manis, tak ada sorot mata penuh kasih. Hanya kalimat itu yang ditinggalkan sebelum Papa pergi bersama Kohde.
—
Dalam gelap malam, Bayu duduk terdiam. Tatapannya kosong, seperti mendamba sesuatu atau seseorang. Apa mungkin ada mobil yang datang mengantar janji? Ataukah dari awal kata-kata itu diucapkan untuk diingkari?
Ia ingin mencari Kohde dan menuntutnya dengan kemarahan yang tak kalah gaduh dari keributan hari itu. Ia bukan lagi anak ingusan yang tak berdaya. Ia seorang laki-laki yang bisa membela diri dan melindungi keluarganya.
Bertahun-tahun, janji itu tinggal janji. Kata tak pernah jadi nyata. Papa sudah pergi. Kohde juga.
Enggak perlu menunggu lagi. Hati kecilnya berbisik.
Namun, ia masih ingin duduk di sini.
—