Kesejukan menyapa di hari yang baru. Tak sulit bagi Martha menyesuaikan diri, hanya saja hidung sensitifnya selalu berulah setiap pagi.
“Hacih!” Martha memalingkan wajahnya dan mengusap hidungnya.
“Bawa kuman!”
“Huss! Kamu tuh, kok dungakno (mendoakan) yang ga baik?” Ida menepuk lengan Bayu.
Martha menatap Bayu yang tak merespons. Ia kelihatan lebih tertarik pada sepiring nasi di hadapannya ketimbang melanjutkan pembicaraan.
“Minum dulu tehnya. Biar badanmu hangat, Ta.”
“Makasih, Bu.” Martha memegangi gelas kaca dengan kedua tangan, berharap mendapat pasokan kehangatan bahkan sebelum menyeruput teh yang beruap.
“Yu, nanti ajak Martha ke toko.”
“Enggak, ah, Bu. Ngapain?” Raut tidak suka makin kental di wajah Bayu.
“Kok ngapain? Pokoknya, kamu ajak Martha.”
Bayu tahu, titah ibunya tidak terbantahkan. Ia mendengus kesal, “Ya.”
Rupanya kekesalan Bayu tak juga reda. Sepanjang perjalanan, ia tak acuh pada Martha yang diboncengnya.
“Turun,” perintah Bayu. Mereka berhenti di depan sebuah ruko yang masih tertutup.
“Belum buka ini, Mas?”
“Ga bakal buka sebelum aku datang.” Bayu mengetuk pintu harmonika dengan kuncinya. Selang beberapa menit, seorang pemuda membukakan pintu dengan tergesa-gesa.
“Pagi, Bos,” sapanya sambil menyeringai.
“Telat bangun lagi kamu, Di?”
Pemuda itu membuka lebar pintu dan menyeringai lebih lebar.
“Begadang melulu kamu!” omel Bayu, sambil memasukkan motornya ke bagian dalam toko.
“Loh, Bos. Bawa cewek cakep nih?”
“Awas, wanio, gibeng kene! (Awas, sampai berani, kutonjok sini!)” Bayu berseru dari dalam.
Martha tak mampu menahan senyum. Di balik es itu, masih ada seorang kakak yang perhatian.
Kakak? Haruskah dia menganggapnya demikian?
“Masuk, Mbak e.”
“Makasih, Mas.”
Martha melihat plang kecil di atas toko. Dwiputra. Sebuah pernyataan yang gamblang, dua putra. Ia lalu melangkah ke dalam. Penataan toko ini mirip dengan toko papanya. Meja kayu di tengah ruangan. Tumpukan karung di sudut dalam, berhadapan dengan tangga menuju lantai atas. Barang-barang lain tertumpuk rapi di bagian depan toko, menunggu pembeli menyapa.
“Duduk, Mbak,” pemuda tadi menyilakan Martha duduk di bangku plastik, tepat di samping meja kayu.
Martha mengangguk dan melangkah perlahan, masih mengamati sekitar. Seperti kamar Bayu, tak ada hiasan atau dekorasi yang terpasang di dinding. Kalender pun tak ada. Di atas meja kayu, ada tumpukan buku-buku tebal dengan banyak selipan kertas. Martha mengenali warna kuning dan merah muda yang sering ia lihat di meja toko papanya.
“Monggo, diminum tehnya, Mbak.” Pemuda tadi kembali dengan gelas kaca berisi teh hangat, menaruhnya sopan di atas meja. Menyusul kemudian sebuah mug dengan cetakan nama universitas tempat Martha kuliah diletakkan di atas meja.
“Makasih, Mas. Masnya tinggal di sini?”
Sambil mengambil sapu pemuda itu menjawab, “Iya, Mbak. Saya tinggal di atas, sekalian jagain toko. Bos sih, gak mau tinggal sini. Padahal ‘kan di sini lebih enak, Mbak, mau ke mana-mana gampang.”
Lokasi ruko itu memang ada di jalan yang lebih ramai, bukan di dalam gang kecil seperti rumah biru.
“Masnya sendiri rumahnya jauh?”
“Enggak, Mbak. Rumah orang tua saya tetanggaan sama rumahnya Bos.”
“Nyambut gawe sing bener, ojo ngoceh ae (Kerja yang benar, jangan ngobrol terus),” tegur Bayu yang berjalan mendekat.
“Ealah, Bos. Ini tangan juga nyapu. Sakno (Kasihan) ini Mbak e, gak onok seng ngoncoi (tidak ada yang menemani).”
“Aku mbayari awakmu gawe kerjo (mengupah kamu untuk kerja).”
“Yooo, Bos. Dungaren galak (Tumben galak),” gerutunya sembari menyapu ke arah luar toko.
Martha terkekeh melihat interaksi bos dan karyawan di hadapannya. Ada rasa lega yang timbul di hatinya. Bayu yang ia tahu beberapa waktu ini ternyata tak jauh berbeda dari kesehariannya. Ia tak menyangkal ada sejumput kesal yang mewarnai perilaku Bayu. Siapa pun tak mungkin langsung menjadi karib dengan duri hidupnya.
“Mbak, monggo dimakan dulu.” Tiba-tiba satu kantung disodorkan di hadapan Martha.
“Apa ini, Mas?” Martha membuka bungkusan itu dan mengeluarkan kotak putih dengan cap sebuah depot yang terkenal di area itu.
“Yang manis-manis, buat Mbak yang manis,” goda pemuda itu sambil terkekeh. “Pumpung Bos lagi keluar.” Ia menutup mulutnya, seakan geli mendengar kata-katanya sendiri.
Belum terlalu lama sebelumnya, Bayu memacu motor untuk mengantarkan barang pesanan.