Tak mungkin Martha tidak mengenali intro lagu Mandarin yang sangat populer ini. Rasanya tembang ini sudah menjadi lagu “kebangsaan” yang tidak mungkin lupa diputar di banyak acara orang Tionghoa.
“月亮代表我的心” (yuèliàng dàibiǎo wǒ de xīn). The Moon Represents My Heart.
Pak Yono menikmatinya dengan berusaha ikut bernyanyi, Martha seperti mendengar versi Suroboyoan dari lagu ini. Ketika sang biduanita menyanyikan bagian awal lagu untuk kedua kalinya, Martha berusaha menyimak sembari mengingat penjelasan papanya tentang makna liriknya.
Sebuah kalimat membuatnya hampir menangis.
“我的情不移, 我的愛不變” (wǒ de qíng bù yí, wǒ de ài bù biàn). Perasaanku tidak tergoyah, cintaku tidak berubah.
Ia ingin sekali mendengar suara John.
—
Tak lama setelah memasuki daerah dengan jalan menanjak dan berliku-liku, Pak Yono menepikan mobil, di depan sebuah gang. Suasananya jauh berbeda dengan Surabaya yang terik, dari dalam mobil saja Martha bisa merasakan kesejukannya.
“Ikuti jalan ini aja, Non. Rumah Bu Ida di kiri jalan, cat biru.”
Martha mengucapkan terima kasih dan segera turun dari mobil. Ia menyaksikan mobil boks itu menjauh, melanjutkan perjalanan.
Akhirnya. This is it. Ayo temui Bayu … dan Bu Ida. Martha berbisik pada dirinya sendiri, ia baru tahu nama perempuan itu. Ironisnya, dari Pak Yono.
Martha berjalan perlahan. Gang itu sebenarnya cukup lebar untuk dilewati dua mobil. Tidak ada larangan masuk untuk kendaraan roda empat. Di samping kanan dan kiri, rumah-rumah kecil berjajar. Sederhana. Asri. Jalanan tiba-tiba agak menanjak.
Beberapa ibu yang beraktivitas di halaman rumah mereka menatap Martha heran. Gadis berkulit putih dengan tas ransel pastilah tidak ditemui setiap hari di sini. Ia jadi ingat pandangan anak-anak kampung belakang ruko ketika pertama kali ia ikut Ming bermain keluar.
Ah, cat biru. Tinggal beberapa langkah lagi, ia tiba di tujuannya. Hatinya mendadak berdegup kencang. Gugup? Takut? Martha tak tahu orang seperti apa Bayu dan ibunya. Tentu saja ia gugup. Namun, ia sudah ada persis di depan pagar. Tak ada pilihan lain.
“Permisi,” Martha setengah berteriak.
Tidak ada jawaban. Apa mungkin tak ada orang di rumah? Pintu depan dalam keadaan terbuka, tak mungkin rumah ditinggalkan dalam keadaan demikian.
Baru saja ia akan membuka mulut lagi, ada sosok yang tergopoh keluar dari dalam.
“Cari siapa, ya?”
Suara lembut itu datang dari sosok berkulit kuning langsat, yang ditaksir Martha lebih muda dari mamanya. Rambutnya diikat ke belakang rapi, berhias beberapa helai rambut keputihan. Walau hanya mengenakan daster sederhana, ada sesuatu yang menarik dari pribadinya.
Sejenak, Martha bingung; ia tak menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. Belum sempat ia membuka mulut, pribadi di balik pagar berkata lagi.
“Oh, Meme* ya?”
Meme? Sudah lama sekali tidak ada yang memanggilnya begitu.
“Anaknya Ah Lung, ‘kan?”
“Oh iya … em …,” Martha berpikir keras, harus bagaimana memanggil.
“Ibu. Panggil saja Ibu.” Perempuan itu tersenyum lalu membukakan pagar untuknya.
Ibu. Setengah batinnya memberontak, rasanya tidak ingin memanggil perempuan ini dengan sebutan itu. Ia seperti mengkhianati mamanya yang ada di rumah.
“Terima kasih, Bu.” Martha memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu besar itu. Ada pot-pot dengan bunga beraneka warna di sana. Dari luar rumah itu terlihat sederhana. Di beberapa bagian tampak cat yang mulai mengelupas.
“Ayo, masuk.”
Martha mengangguk, lalu mengikuti langkah Ibu masuk ke dalam rumah. Lantainya dilapisi oleh keramik putih. Bersih. Di sebelah kiri, ada beberapa jendela yang terbuka, menghadap ke pekarangan samping, tempat baju-baju dijemur. Terang, sinar matahari masuk tak terhalangi.
“Meme bisa istirahat di sini.” Ida membuka pintu pertama di sebelah kanan.
Martha tertegun. Dari mana ia tahu bahwa niat Martha bukan sekadar berkunjung lalu segera pulang?
“Ndak usah sungkan. Masuk aja, Me,” ia berkata seolah membaca perasaan ragu di hati Martha.
“Panggil Martha saja, Bu. Sudah lama enggak ada yang panggil saya Meme.”
Perempuan itu tersenyum lagi, mengiyakan. Ia tak segan meraih bahu Martha, mengajaknya masuk ke dalam kamar.
Seakan tahu ada pertanyaan di benak Martha, ia berkata, “Ini kamar Bayu. Martha bisa pakai selama di sini. Tadi seprai sudah Ibu ganti.”
“Terima kasih, Bu.” Martha meletakkan tas ransel bawaannya di lantai.
“Martha, istirahat saja. Sebentar Bayu pulang, lalu kita makan siang. Ibu tinggal ke dapur dulu.” Pintu kamar tidak ditutup, tetapi sekarang ada tirai kain yang menjadi pembatas ruangan.
Martha duduk di atas kasur sederhana itu. Kamar itu kecil, kira-kira hanya setengah dari kamarnya di rumah. Selain kasur yang didudukinya, ada sebuah lemari baju dan meja kerja. Tak ada hiasan dinding, sebingkai foto pun tidak.
Di seberang pintu ada sebuah jendela yang terbuka. Lagi-lagi sinar matahari masuk menyerbu. Tak seperti kamarnya di rumah yang tak berjendela. Ia beranjak dari duduknya, melangkah menuju jendela.
Matahari yang hangat dan udara yang sejuk seperti bersekongkol, menyelinapkan rasa tenang di hatinya yang penuh cemas.
Sejujurnya ia tak menyangka akan diperlakukan dengan sangat ramah. Bukankah biasanya hubungan yang mereka miliki ini digambarkan penuh dengan kebencian dan ketegangan? Yang baru Martha alami justru sebaliknya.
Ida begitu baik padanya, seperti sedang menyambut anaknya sendiri. Aneh. Teramat janggal. Kalau pertemuan dengan Ida tadi sudah mengejutkannya, akankah dia dikejutkan lagi oleh Bayu?
Lamat-lamat dia mendengar suara sepeda motor mendekat, sepertinya berhenti tak jauh dari tempatnya berada. Pagar dibuka. Lalu sunyi.
“Bu, aku pulang!”
*
Sangu (Jawa): bekal.
Ojo (Jawa): jangan; ojo disuruh = jangan disuruh.
Arek (Suroboyo): anak; arek cilik = anak kecil.
Cilik (Jawa): kecil; arek cilik = anak kecil.
Medit (Jawa): pelit, kikir.
Setel (Suroboyo): memutar; setel lagu = memutar lagu.
Akhiran ‘e’ (Suroboyo): sama dengan akhiran ‘nya’; kayak-e = sepertinya.
Meme (Mandarin: Meimei): adik perempuan.