“Kamu ga cari pacar, Ko? Kayak John gitu, bisa dapat pacar ciamik*. Martha itu ayu, baik, pinter. Kamu cepat-cepat cari yang kayak gitu.”
Ia sungguh berharap Martha tidak bertindak gegabah dan merusak relasi impian yang mereka miliki, yang dia jaga baik-baik selama beberapa tahun ini. John ingin meyakinkan Martha, dan mungkin dirinya sendiri, bahwa ia cewek sempurna yang tak butuh membuktikan apapun lagi.
Dia sempurna, tanpa harus menemui cowok yang namanya saja masih asing di telinga.
Martha meraih tangan John yang ada di pipinya, memegangnya erat sembari menurunkannya.
“Sorry, John. I’m not ….” Martha menunduk, memandang tautan tangan mereka. “Hidupku jauh dari sempurna, John.”
John menelan ludah dengan susah payah.
“Aku tahu keputusanku ini akan mempengaruhi hubungan kita. Aku enggak akan nyalahno* kamu kalo akhirnya kamu … enggak bisa … terima keadaan keluargaku yang seperti ini. Aku aja masih nggak bisa terima. Aku nggak bisa maksa kamu untuk ngerti.”
John menatap nanar Martha yang tertunduk. Mana mungkin aku meninggalkan Martha yang begitu ringkih sekarang ini? Isakan Martha di pelukannya minggu lalu masih terngiang di telinganya. Mata Martha yang menyiratkan kekhawatiran, yang tak setajam biasanya, malah sukses menancapkan duri yang menggores hatinya.
Kamu butuh cewek perfect, John. Martha? Ya, memang dia manusia biasa yang punya kelemahan, tapi di mata John kelemahan-kelemahan kecil itu tertutupi dengan banyak keunggulan yang melekat di diri Martha.
Namun, yang ini, aib dalam keluarganya tidak mungkin bisa disembunyikan, dan keputusan Martha akan menjadikan berita ini makin cepat terendus oleh banyak orang.
“Babe, status Bayu ini ‘kan belum jelas. Enggak usah diperjelas, biar aja, anggap aja kamu nggak pernah dengar nama itu. Bisa, ‘kan?”
“Aku nggak bisa, John. Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri.”
“Jadi, kamu lebih milih Bayu daripada aku? Gitu?” suara John mulai meninggi.
Frustrasi, kecewa, takut, semua bersekongkol menyerang batinnya. Bisa-bisanya orang yang tak jelas rupa dan bentuknya ini mengalahkan dia.
“Aku nggak bermaksud gitu, John. I have to do this. Aku berharap kamu bisa ngerti, bisa dukung keputusanku. Tapi, kalo kamu akhirnya enggak mau lanjut, aku bisa buat apa?”
John mendeteksi getaran di suara Martha, keraguan yang ditutupinya dengan sangat lihai. Martha memang cewek yang jago memasang ekspresi yakin bahkan ketika batinnya sedang sangat bimbang. Beberapa tahun dekat dengan Martha membuat John terlatih melihat hal-hal yang tersembunyi di hati perempuan pujaannya itu.
Biasanya, ia akan meluncurkan jurus godaan maut sampai Martha akhirnya nyaman membuka diri. Kali ini, John sendiri masih sibuk mencerna banyak hal sampai ia tak punya cukup amunisi untuk menarik Martha keluar.
“Aku masih harus beresin beberapa hal sebelum pergi, John. Aku enggak maksa kamu ambil keputusan hari ini. Aku bener-bener berharap dapat dukunganmu sebelum berangkat. Kamu enggak harus jawab hari ini.”
“Aku BENER-BENER BERHARAP,” John mengulang dan memberi penekanan pada kata-kata yang Martha ucapkan, “kamu mikir ulang, Ta.”
Tak ada lagi ‘Babe’; kekecewaan John sudah tak terbendung.
Martha menggeleng.
“There’s nothing you can do to change my decision, John.”
“Nothing?” nada John mulai sinis.
Martha menggelengkan kepala lagi.
John menghela napas, kecewa, dan setengah membanting tubuh ke kursi mobil. Sementara Martha masih menawan tangan kirinya, John mengacak rambutnya sendiri dengan tangan kanan. “HAAAHH! I have nothing to say. Really, Ta. Aku enggak bisa ngomong apa-apa.”
Mereka terdiam untuk beberapa saat.
“Ya udah. You have all the time you need, John. Aku … turun dulu ya. Thank you for dinner, John.” Martha melepaskan tangan John, tapi ia tidak juga membuka pintu mobil. Ia masih bergeming di tempat duduknya.
John memilih untuk memejamkan mata. Ia tak ingin terus menyiksa pikirannya dengan melihat Martha. Tiba-tiba ia merasakan kecupan di pipi kirinya. Ini hal langka, Martha took the first move, yang seharusnya membuatnya bahagia, tetapi kali ini rasanya … hambar.
“I love you, John. I really do,” Martha berbisik lirih di telinga John.
Tak lama terdengar suara pintu mobil terbuka, disusul gemeresik gerakan orang turun dari mobil, dan pintu itu tertutup kembali. Meninggalkan John bersama kesunyian yang menyiksanya.
—
Martha mengintip dari jendela depan rumah. Mobil John masih di sana. Ia mulai meragukan keputusannya sendiri. Sekarang Martha jadi takut kehilangan John.
Atau apakah Martha malah sudah kehilangan dia?
*
TP: Tunjungan Plaza, pusat perbelanjaan ternama di tengah kota Surabaya.
Ae (Suroboyo): saja; mau ke TP ae = mau ke TP saja.
Bonek (Jawa): bondho nekat, yang berarti berbekal nekat saja. Juga dipakai sebagai sebutan pendukung Persebaya.
Ciamik (Chindo): menggambarkan kehebatan, luar biasa, segala hal yang sangat baik.
Nyalahno (Suroboyo): menyalahkan; enggak akan nyalahno kamu = tidak akan menyalahkan kamu.