“Gila! Selama ini aku mati-matian berusaha enggak bikin malu keluarga seperti yang mereka minta. Ternyata, orang yang kasih aku standar begitu tinggi, hidup 180 derajat dari tuntutannya sendiri.” Martha tertawa sinis. Kekecewaan dan kemarahan terdengar jelas dari suaranya. Pahit.
Ivanka memeluk bahu sahabatnya dari samping. Sekalipun tak ada air mata yang menetes, ia tahu Martha sedang memendam duka itu. Ia terdiam, sulit baginya menemukan kata-kata yang pas untuk menghibur Martha.
Suara isak lembut terdengar dari laptop yang terbuka di hadapan mereka.
“Kok, malah kamu yang nangis, Li? Aku aja enggak apa-apa. Lia cengeng, ah!”
Hati Magnolia memang terlalu halus, selembut bunga yang menjadi inspirasi namanya.
“Ciyus kamu enggak apa? Emang gampang bohongin aku?” Magnolia menjawab tak terima dari balik layar, sembari mengusap sisa air mata yang ada di wajahnya.
Martha hanya bisa menyeringai mendengar komentar Magnolia. Setelah hampir sepuluh tahun mereka bersahabat, ia tahu tak mudah mengelabuhi sahabatnya itu. Terlebih lagi Ivanka, cucu Kungkung* pemilik toko sebelah toko keluarganya, yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka masih di taman kanak-kanak.
“Kalo kamu enggak apa-apa, ga mungkin kamu tiba-tiba suruh aku ke sini untuk sekadar Skype melepas rindu sama Lia, ‘kan?”
Martha hanya melirik Ivanka yang sejak tadi tak melepas pelukan di bahunya, kemudian ia menatap layar yang penuh dengan wajah Magnolia. Diam-diam ia bersyukur untuk persahabatan yang bahkan tak bisa dipisahkan oleh jarak dan juga untuk kemajuan teknologi yang menolong mereka tetap terhubung dengan Magnolia yang berkuliah di negeri Kanguru.
Martha menghela napas berat.
“Aku masih enggak terima. Selama ini aku pikir Papa tuh laki-laki paling setia. Papa tuh sayang banget sama Mama, bahkan aku enggak pernah ingat Papa pernah marahin Mama. Ya, emang Papa itu gak ada romantis-romantisnya. Cuma akhir-akhir ini ae*, tiba-tiba suka peluk-peluk Mama pas nonton teve. Jalan ke mall, suka gandengan.”
“Sampe kamu pengen punya suami kayak papamu gitu?”
“Eh, tapi ko John beda banget sama papamu. Kayak bumi dan langit; papamu tuh serius banget, ko John cengengesan gitu.” Ivanka menarik lengan dari bahu Martha dan menatapnya penuh tanya.
“Ya itu gara-gara kamu sama ko Andre. Jangan dipikir aku enggak tahu kalian suka bantu John pas dia pedekate dulu.”
“Kamu suka, tho*? Kelepek-kelepek kena rayuan maut ko John.”
Tawa mereka memenuhi kamar Martha. Sekalipun ganjalan itu masih enggan meninggalkan hatinya, Martha sedikit lega, keputusannya mengajak dua sahabatnya bertemu tidak salah. Mereka selalu hadir baginya, membawa berkas cahaya dalam episode kelam hidupnya.
“Remember him that way, Ta. Papamu orang baik. Enggak usah pusing dengan yang lain.”
“Kayaknya enggak segampang itu, Li. Bayu ini riil. Dia ada, somewhere. Mana mungkin aku tutup mata hanya supaya aku enggak nelangsa?”
“Kamu ada rencana apa, Ta?”
“Jangan-jangan … kamu mau cari si Bayu ini, ya?”
“You know me so well, Va. Aku emang niat mau cari dia.”
Sejak pertemuan keluarga itu, ada dorongan dalam hatinya untuk mencari tahu, mengungkap rahasia yang baru dia temukan secuilnya saja. Ini bukan sekadar rasa penasaran yang muncul ketika mendengar gosip dari kehidupan seorang selebritas; lebih banyak atau sedikit tahu tidak berpengaruh terhadap hidupnya.
Kali ini, ada dahaga yang tiba-tiba memenuhi pikirannya, sebuah tuntunan yang harus dipuaskan untuk memperoleh kelegaan.
“Buat apa, Ta?”