Ming hanya menatap Martha. Ia mencoba menyusun kalimat di kepala, berusaha tidak makin menyulut api.

“Koko tahu soal ini, ‘kan?”

Sorot mata Martha tajam. Di balik kemarahan itu tersimpan rasa lain yang coba ditangkap oleh Ming.

“Kenapa Koko enggak jawab?”

Ming menarik napas dalam-dalam. Ia ingin memonopoli oksigen yang ada di kamar Martha ini, seakan semua jawaban dan jalan keluar tersedia di udara. Ia juga ingin menyelesaikan semuanya. Segera.

“Koko enggak tahu banyak, Ta.”

“Tapi Koko tahu, ‘kan?” Martha memotong tidak sabar.

Mendadak badannya terasa lembap, butir-butir keringat bermunculan. Ming menoleh sejenak pada pendingin ruangan yang sepertinya tidak berfungsi baik. Bukan. Masalahnya tidak terletak pada benda di ujung atas ruangan ini. Entah di mana sumber masalah yang sebenarnya. Yang ia tahu saat ini, ada tatapan Medusa yang berhasil membuatnya membatu.

Ingin rasanya dia menjelaskan pada Martha bahwa ia pun baru mengetahui keberadaan pribadi ini beberapa tahun terakhir. Namun, ia tahu bahwa Martha tidak butuh penjelasan ini. Dia hanya akan terdengar seperti membela diri dan ia takut malah akan menjauhkan Martha dari tujuan yang sebenarnya.

“Iya,” katanya lirih.

“Kenapa Koko enggak pernah cerita?”

Sekali lagi ia dihadapkan pada pilihan yang sulit: menyelamatkan diri dari amarah Martha atau menyelamatkan adiknya dari ancaman kehancuran? Seandainya saja pribadi yang memulai semua ini masih punya kesempatan untuk menyelesaikan semua sebelum pergi.

Sesungguhnya tak ada orang yang dengan senang hati membereskan sampah orang lain, bukan? Sayangnya, Ming tak bisa menolak warisan ini. Semakin besar keinginannya untuk membuang hal ini jauh-jauh, semakin berat tekanan untuk memikul kewajiban ini.

“Koko enggak punya hak untuk cerita hal ini, Ta.”

“Sejak kapan Koko tahu?”

Mengapa sekarang Ming seperti siswa yang ketahuan bolos dan sedang dievaluasi oleh guru piket? Bukankah biasanya Ming yang akan berdiri sebagai pengusut dan Martha yang duduk di kursi pesakitan, bukan sebaliknya, bukan seperti kejadian yang sekarang ini?

Tidak. Ia tidak bisa membiarkan ini diteruskan. Ia harus kembali mengambil otoritasnya sebagai seorang kakak, sebagai satu-satunya laki-laki di rumah ini. Ia memegang kedua bahu Martha dan menatap ke dalam manik yang sarat tanya itu.

“Ta, ada hal-hal yang bisa kita tahu dan ada hal-hal yang sebaiknya memang tetap sebagaimana mestinya, tidak perlu dibongkar. Apa yang sudah kamu dengar tadi, sebatas itu saja yang perlu dan harus kita tahu. Kamu harus cukup puas dengan informasi yang ada. Kita…,” Ming menekankan identitas itu, berharap adiknya juga belajar. “KITA hanya cukup tahu sampai sejauh ini.”

Sorot mata Martha berubah, amarah itu tercerai berai.

“Ko, apa ….” Kalimat itu terhenti. Mustahil untuk dituntaskan atau sedang dalam pertimbangan untuk dibiarkan mengambang tanpa kejelasan.

Pikiran Martha melayang berkelana, membayangkan sosok papanya. Wajahnya selalu serius, bahkan ketika ia sedang melucu. Orang suka membandingkan beliau dengan aktor Hongkong yang mahir bela diri itu. Katanya wajah mereka mirip, mirip ganteng dan lucunya.

Nama Mandarin mereka saja sama bunyinya! Martha tak tahu pasti apakah Yeye*, begitu ia memanggil kakeknya, ingin anaknya terkenal seperti bintang film itu. Rasanya bukan itu alasannya.

Zaman itu, akses untuk hiburan tidak seluas dan semudah sekarang. Selain itu papanya lahir lebih dulu daripada sang bintang.

Yeye memberi papanya nama 陈龙, Chén Lóng. Anak laki-laki keluarga Chen yang lahir di tahun Naga. Ya, sesederhana itu maknanya. Di pertemuan keluarga tadi, Martha baru memahami ada beban yang begitu besar dan ekspektasi yang amat tinggi di balik nama Ah Lung, yang terdengar sederhana, yang sehari-hari mengisi hidup mereka.

Lanny mengeluarkan sebuah dompet yang terbuat dari kain merah dengan motif oriental. Ming dan Martha menyaksikan Lanny menyerahkan dompet itu pada Lingga, mama mereka.

“Dompet ini ada di laci Mama, Sao.”

Ming dan Martha saling berpandangan. Nainai*, nenek mereka, sudah meninggal lama, ketika mereka masih kecil. Hari ini mereka berkumpul seharusnya bukan untuk membahas peninggalan Nainai.

Lingga membuka dompet itu dan mengeluarkan kertas tipis terlipat rapi yang sudah menguning. Dia membuka lipatan itu perlahan dan menemukan beberapa benda tersimpan di dalamnya: selembar sobekan kalender dan beberapa helai rambut halus yang diikat benang merah.

“Itu kalender di hari kelahiran Kohde* dan rambut yang dicukur waktu Kohde manyek, berumur satu bulan.” Lanny menjelaskan sambil menahan air mata.

“Kertas itu apa, Ku?” Ming penasaran melihat kertas tipis kekuningan yang sepertinya mengandung tulisan.

Lingga meletakkan kalender dan rambut itu di pangkuannya, lalu membuka kertas yang dimaksud Ming.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here