John duduk bersandar di sofa ruang keluarga. Sebuah pigura menambah deretan foto yang digantung pada dinding di hadapannya. Foto Ah Lung. Camernya. Ya, calon mertua yang tak lagi punya kesempatan untuk mengakuinya menantu, secara resmi.
Ingatannya membawa John ke pertemuan pertama mereka.
Waktu itu, dia belum resmi berpacaran dengan Martha, masih pedekate, merapat dan menempel ketat, berharap Martha membalas rasa darinya. Bukan John namanya kalau tidak berani datang ke rumah calon. Ia melangkah yakin berbekal informasi dari Ivanka, sahabat Martha yang dekat dengan sahabatnya, Andre.
Martha dan keluarga tinggal di ruko sederhana yang tak jauh dari Pasar Turi, salah satu pusat ekonomi di tengah kota Surabaya. Setelah menekan bel, John harus menunggu hampir 15 menit sampai seorang karyawan membuka pintu harmonika toko itu. Ia langsung diminta untuk naik ke lantai dua.
Perlahan ia menaiki tangga, sumber cahaya dari atas begitu terang dibanding keadaan lantai satu yang minim cahaya. Agak ragu, dia mendorong pintu kaca di ujung tangga.
“Permisi, Suk*,” ia menyapa pria yang duduk di kursi malas, menonton tayangan di televisi. Ia menduga, beliau adalah papanya Martha.
Kursi malas itu membingkai tubuh beliau yang tinggi dan tak terlalu gemuk. Kaus yang warnanya sudah pudar dan celana pendek yang beliau kenakan mempertegas tungkai yang panjang.
Beliau menoleh ke arahnya, tak ada senyum di wajahnya. “Temannya Ming?”
“Bukan, Suk. Saya temannya Martha.”
“Oh. Duduk.” Raut wajahnya tak berubah, tetapi John bisa mendeteksi tak ada penolakan dari suaranya.
John menaruh kantung plastik yang dibawanya di atas meja, lalu duduk di salah satu sofa yang ada. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Ruangan itu hanya dipenuhi suara dari televisi. Sembari menunggu, mata John berkeliling mengamati.
Area makan ada di hadapannya, tidak ada sekat. Sejajar dengan rak televisi, ada tiga daun pintu yang ia tebak adalah kamar tidur anggota keluarga. Di dinding seberangnya, ada rak kayu yang berisi berbagai piala dan ornamen. Lalu ada pintu yang entah menuju ke mana.
Ruangan itu sebenarnya terasa penuh, tapi tidak sesak. Ada kesan hangat yang menyelinap di hati John.
“Kamu tunggu apa?” Sosok itu bertanya pada John dengan tatapan yang masih terpaku pada televisi.
“Tunggu Martha, Suk.”
“Loh, dari tadi enggak ada yang panggil Martha? Yak apa, seh*, kamu ini? Kok enggak ngomong?”
John tersenyum, menahan tawa, mendengar reaksi itu.
“Ling! Ling!” Beliau memanggil seseorang.
“Opoo*, seh, Lung?” Perempuan paruh baya keluar dari pintu paling dekat area makan.
“Panggilno* Tata. Ada koncone* ini loh.”
John sontak berdiri, menyambut perempuan paruh baya yang berjalan mendekat ke arah mereka. Daster batik yang beliau kenakan mirip dengan daster favorit mamanya. Pun dengan rambut yang ditahan dengan jepit rambut besar di belakang kepala beliau. Seperti gaya mamanya.
“Sore, Ayi*. Saya John. Ini ada sedikit buah,” Ia menyodorkan kantung plastik merah yang ia bawa tadi.
“Walah, kok repot-repot. Sapa* tadi nama-e*, Nyo?” Suara sandal jepit beliau yang bertepuk dengan lantai bersaing dengan suara dari televisi.
“John, Ayi.”
“Oh, John. Sebentar ya, tak* panggilno* Tata.”
“John!” Ia tersadar, merasakan ada sosok yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
—
Martha melihat John yang menatap lekat foto Ah Lung. Entah apa yang ada di pikirannya, sampai ia tidak melihat Martha berjalan mendekat. Tidak jarang John main ke rumah. Atas saran papanya dan Ming, Martha lebih sering mengajak John datang ketimbang pergi keluar berdua. Ini kali pertama John datang setelah kematian papanya.
“John!” Martha duduk di sampingnya.
“Hei! Gimana ujian tadi?” Lengannya langsung memeluk bahu Martha. Hangat.
“Lumayanlah. Not bad buat ujian terakhir.”
“You did well! Udah tinggal fokus skripsi.” John menariknya mendekat dan Martha menyandarkan kepala di bahu Jon.
Tak sulit bagi Martha untuk menemukan topik pembicaraan dengan John. Ada saja hal-hal yang mereka diskusikan. Namun, kali ini, entah sepertinya ia sangat nyaman dengan keheningan. Martha sedang tak ingin bicara. Ia hanya ingin ditemani.
“You want to tell me something?” Suara John terdengar seperti buaian di telinganya.
“Can I just be like this for a while?”
“Sure, Babe!” Tangan John merengkuhnya lebih erat. Martha membalas pelukan itu, menikmati kenyamanan yang dia rindukan. Seandainya saja ia lebih sering memeluk papanya. Rasa sesal itu muncul lagi ke permukaan. Senyaman apapun pelukan John, Martha tahu tak akan yang bisa menggantikan pelukan papanya.
Sungguh tidak masuk di akal! Kali ini, emosi Martha mengalahkan logika dan nalar yang selalu ia banggakan.
—
John agak terkejut mendengar permintaan Martha. Tak biasanya Martha jadi… ah, John tak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi sekarang ini. Ini peristiwa once in a blue moon.
Rasanya tidak cocok menggunakan kata semacam itu untuk mendeskripsikan Martha. Melow. Manja. Emosional.
Ini bukan Martha yang biasanya.
Sesungguhnya, John tidak keberatan dengan keadaan ini. Rasanya dia ingin menghentikan waktu. Savouring this moment. Menjadi sandaran buat perempuan yang dicintai membuatnya merasa dibutuhkan. Kekuatannya seperti berlipat ganda, bahkan mungkin mengalahkan Superman.
Clark Kent akan minder bila membandingkan rasa sayangnya pada Lois Lane dengan cinta John pada Martha. Senyum puas terulas di wajah John. Sepertinya dia memang hidup untuk momen ini, he lives for her!
Krukkkk…
Ah, perutnya berkhianat!
“John, kamu belum makan?” Martha melepaskan pelukan dan memandang dirinya. “Ini udah hampir setengah delapan. Tadi pulang kerja enggak makan?”