Suara riuh kendaraan bermotor yang lalu lalang menjadi latar belakang musik, menemani dentang dari centong raksasa yang menabrak dinding dandang kuah dari gerobak di ujung ruangan. Tak lama dua mangkok nasi soto ayam yang uapnya masih mengepul tersaji di meja yang memisahkan mereka berdua.

“Makan, Ko,” ucap Martha setelah selesai berdoa.

“Ya, makan. Pasti kamu lapar habis ujian tadi.”

Martha tampak lelah, kantung hitam di bawah matanya tak bisa disembunyikan. Minggu lalu, dia membawa setumpuk buku dan catatan kuliah, belajar untuk ujian akhir semester di rumah duka, di samping peti papanya. Ketika banyak orang diam-diam mengagumi ketekunan Martha, Ming tak merasa heran.

Ya memang begitulah Martha, tidak ada yang bisa menghalanginya mencapai tujuannya. Kedukaan bukan alasan yang cukup kuat untuk Martha melemah. Ia seperti ingin membuktikan diri dan menunjukkan pada papa mereka bahwa pilihannya tidak salah.

Papa sudah bilang enggak setuju. Buat apa kuliah psikologi? Gak ada gunanya ngurusin orang gila.” Papanya begitu marah mengetahui Martha melawan larangannya.

Ming tak pernah melihat papanya semurka itu, tapi ia juga tak pernah melihat adiknya begitu ngotot, bersikukuh, dengan pilihannya. Muka papanya dipenuhi amarah, merah padam mencapai titik didihnya. Ming meremang. Herannya Martha tak terpengaruh, ia hanya menatap papanya dengan pandangan serius, tidak ada keraguan bahkan tidak ada ketakutan.

Keseriusan itu tidak pernah melemah, malah terus menguat. Bahkan, di hadapan peti papa mereka, ketika kelelahan mendera, determinasi Martha tidak berkurang sedikit pun.

Ming mengalihkan pandangan ke mangkuk sotonya. Ia meracik koya, sambal, kecap asin, dan menambahkan perasan jeruk nipis ke dalamnya. Sambil mencicip kuah hasil racikan, ia tak habis pikir bagaimana mungkin semangkuk soto panas membawa kepuasan tersendiri di siang yang begitu terik. Rasa asam, gurih, dan pedas yang bercampur mampu menghangatkan perut sekaligus menyegarkan pikiran.

Ah, andai saja ada racikan yang begitu ajaib untuk memberi kelegaan dari kesesakan yang menyiksa dirinya.

Terdengar isakan dari seberang tempat duduknya. Ia menengadah, menemukan Martha berusaha mengendalikan diri dengan menyeka mata dan hidungnya.

“Kasih sambal tuh dikit-dikit, Ta. Jadi kepedesan, ‘kan?”

Martha menggeleng. Sejenak Ming menatap mangkuk Martha, tak terlihat jejak cabai di sana.

“Ingat Papa,” jawab Martha lirih.

Ming batal menyuapkan sendok dengan nasi dan potongan ayam yang menumpuk di atasnya. Ia menghela napas dalam. Sekali lagi hatinya teriris melihat air mata Martha.

“Kalau Papa jemput, suka ajak makan di sini.” Martha masih menyeka mata, berusaha menghentikan aliran air dari dalam.

Udara di sekitarnya seakan sirna. Dada Ming sesak. Sekalipun papanya sempat marah besar dan terus menyuarakan ketidaksetujuan, sebenarnya hati beliau tak sekeras kata-katanya.

Kamu antar Tata ke kampus. Ingetno*, surat-surat mesti lengkap, jangan buang waktu bolak-balik karena ada yang ketinggalan. Ini, bawa!” Ming ingat betul tangan papanya menyodorkan kartu dari sebuah bank swasta, sementara wajahnya berpaling, berusaha menyembunyikan sesuatu.

Tawa kecil lolos dari mulut Martha.

“Papa suka suruh aku pesan soto pake telur muda. Terus Papa ambil sedikit dari mangkukku. Katanya udah tua, takut kolesterol, tapi pengen.”

Ming setengah lega, walau janggal rasanya melihat senyum geli dan air mata hadir bersama di wajah adiknya. Ia segera berdiri dan berjalan menuju ujung ruangan, meninggalkan Martha yang masih membersihkan wajah.

“Nih, telur muda,” Ming menyodorkan mangkuk yang tadi ia terima dari bapak penjual soto.

Ada binar di mata Martha. Ia mengambil beberapa butir telur muda dan mendorong mangkuk itu ke arah Ming.

“Waktu itu hari terakhir UTS, Papa jemput aku dan ajak makan di sini.”

Sampai akhir papanya memang tak pernah mengutarakan sudah berubah pikiran dan mendukung pilihan Martha. Namun, bukankah tindakan yang nyata itu jauh lebih bermakna dari lisan yang manis?

Sesibuk apapun, beliau akan menyediakan diri menjadi sopir pribadi Martha di minggu-minggu ujian. Papa akan memastikan Martha berangkat lebih awal agar tak terlambat masuk ke ruang ujian dan tak akan terlambat menjemput agar ia segera pulang, punya cukup waktu menyiapkan ujian berikutnya.

“Itu juga terakhir kali Papa jemput aku.” Satu sendok penuh masuk ke mulut Martha. Ia tampak menikmati tarian rasa di atas indera pengecapnya sekaligus membiarkan memori manis bersama papanya menari dalam ingatannya.

“Koko tahu nggak?”

Ming segera menatap mata Martha, mengalihkan perhatian dari mangkuk soto kepada adiknya.

“Kalau Papa jemput, aku suka pura-pura tidur di mobil.”

“Loh, kenapa? Takut dimarahi Papa tha*?”

“Enggak, sih. Cuma Papa tuh suka ndedes, tanya seperti interogasi.”

“Terus?”

“Ya, kalau soal kuliah, masih enggak apa. Tapi kalo udah mulai tanya soal John, nanyanya suka detail gitu. Malulah, Ko.”

“Emang tanya apa?”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here