Surabaya, Januari 2010

Lagu ratapan masih melantun nyaring di ruangan setengah terbuka itu. Raut wajah orang-orang yang berdiri dalam barisan yang bentuknya tak jelas itu sesendu senja yang segera menyembunyikan surya. Duka tak bisa disembunyikan. Ia memang tak terlihat, tetapi cengkeramannya tak mungkin tidak dirasa.

Bukan. Bukan duka. Martha tidak merasakan duka. Hidupnya yang sempurna tiba-tiba hancur berantakan, bersamaan dengan teriakan mamanya yang membangunkan seisi rumah pagi tadi.

Ia berdiri mematung memegangi sisi peti jenazah, masih berusaha mencari sandaran pada sosok yang terbaring di dalam sana, seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Matanya terasa perih setelah seharian menangis, tapi tak sebanding dengan kepedihan di hatinya.

Pak pendeta baru saja menutup kebaktian. Petugas yang memimpin meminta keluarga memercikkan minyak wangi ke tubuh mendiang, sebagai tanda penghormatan terakhir. Martha masih terpaku, ia tak ingin memberi penghormatan itu. Ia masih tak percaya harus berpisah dari papanya, pilar hidupnya.

“Tata, ayo,” Lanny, kukunya*, adik perempuan papanya, menyelipkan botol kecil di tangannya dan membimbingnya berjalan mengitari peti.

Sesekali tangan Lanny memegang tangan Martha dan menggerakkannya agar minyak tepercik keluar dari mulut botol. Martha mendengar tangis lantang mamanya yang lebih menyerupai lolongan.

Saat mengarahkan pandang ke sumber suara itu, ia melihat tubuh itu melemas, entah sudah berapa kali mamanya pingsan tak sadarkan diri. Michael, si sulung, dengan sigap menopang tubuh yang lunglai itu, sedang Santi, istrinya, menyiapkan kursi agar sang mama dapat diistirahatkan di sana.

Segera setelah barisan para pelayat memberikan penghormatan terakhir, Lanny menarik Martha untuk ikut memasukkan beberapa pakaian papanya ke dalam peti. Martha mengambil sepotong kaus yang sering dikenakan papanya di rumah, berusaha menghidu dalam-dalam aroma tubuh yang bercampur dengan wangi pelembut pakaian. Bau papa.

Dalam ingatannya, Martha tak mendapati banyak memori pelukan papanya. Martha memeluk kaus itu erat; aroma pelukan papa ini sungguh terasa asing, tetapi hatinya sangat mendambanya. Penyesalan menyeruak dalam batinnya, andai saja ia bisa merasakan pelukan papa, sekali lagi, terakhir kali.

Air matanya menetes lagi. Sentuhan di bahunya membangunkan Martha dari lamunan. Diam-diam ia berharap dapat segera terjaga dan terbebas dari rasa yang menyesakkan ini. Ia menemukan John berdiri di sampingnya. Tak ragu, Martha menenggelamkan wajahnya yang penuh air mata di pelukan John, berharap luka hatinya terobati.

“John, ajak Tata duduk di sana,” ujar Lanny sembari mengambil kaus yang masih digenggam Martha. Ia menunjuk barisan kursi yang tertata rapi di ruangan duka.

“Tata mau di sini, Ku,” Martha memohon dengan air mata yang mengalir makin deras.

“Tata, tidak boleh lihat peti ditutup. Bo hoki, bisa sial.”

Martha berkeras, berjalan mendekat ke arah papanya. Ia memegang lengan papanya yang sudah kaku. Ia tidak peduli bila kesialan mau mampir dalam hidupnya, kehilangan ini tak mungkin dikalahkan oleh sekadar tidak beruntung.

“Tata.”

Ia mendengar suara kokonya* yang berat dan merasakan lengan kekarnya melingkar di bahu.

“Sudah ya, Ta. Papa sudah tenang.”

Martha tahu kokonya sedang menahan air mata, suaranya yang bergetar tak bisa berbohong.

Sambil menyandarkan tubuh ke bahu kokonya, Martha sekali lagi menatap wajah papanya. Inikah akhir? Logikanya berkata demikian, tapi kata perpisahan terakhir tidak juga terucap dari mulutnya, terlalu berat dan mengiris hatinya.

“Ta, jangan bikin malu, masih banyak tamu. John, cepat bawa Tata duduk,” Lanny sekali lagi menyuruh.

Martha cepat-cepat meremas lengan papanya, memberikan tanda perpisahan sebelum ia tak bisa lagi melihat raga itu lagi.

John merengkuh bahu Martha lembut dan menuntunnya berjalan menjauh. Sesaat setelah mereka duduk di kursi, Martha kembali menyembunyikan wajahnya ke dada John, menumpahkan semua rasa yang menyesakkan.

Ketika tangisannya telah berubah menjadi isakan lembut, Martha melihat petugas telah menutup peti jenazah dan sebuah kain renda putih dipasangkan menyelubungi bagian penutup peti itu sebelum akhirnya rangkaian bunga berbentuk salib diletakkan di atasnya. Kokonya masih berdiri di samping peti jenazah, mematung seorang diri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here