Dalam kehidupan sebagai single, relasi akrab dan intim dengan orang lain dalam konteks persahabatan tentu tetaplah merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan relasi akrab ini merupakan salah satu sumber energi dalam menjalani hari-hari yang adakalanya dilanda oleh perasaan sepi dan sendiri. Relasi akrab dalam konteks persabahatan dapat pula menjadi sumber pertumbuhan diri yang sehat. 

Dalam relasi akrab dan intim, sebuah hubungan bisa berjalan dengan memuaskan bila kebutuhan kognitif-sosio-emosi-rekreasi-spiritual kedua belah pihak terpenuhi. Kualitas relasi seperti ini mungkin saja terdengar ideal bagi mereka yang berulangkali merasa dikecewakan, terlebih merasa tertolak. Namun, sesungguhnya kualitas relasi yang terdengar ideal ini adalah mungkin dan riil dalam kehidupan. Kita dapat mengalaminya. Sayangnya, mengapa relasi akrab yang memuaskan dalam persahabatan serasa sulit menjadi sebuah pengalaman nyata?

Ada beberapa isu yang barangkali perlu kita telusuri, sekaligus menjadi bahan reflektif-evaluatif dalam rangka bertumbuh menjadi pribadi yang lebih utuh. Dalam tulisan kali ini, saya hanya membahas sebuah isu, yakni pola kelekatan. 

Apa itu pola kelekatan?

Menurut John Bowlby, dalam konsepnya tentang kelekatan, setiap kita membawa pola dalam setiap hubungan yang kita bangun. Salah satu pola itu adalah pola kelekatan. Pola ini dipengaruhi oleh bagaimana pengalaman relasi di awal kehidupan kita dengan orangtua, terutama ibu. Jika relasi dengan ibu memberikan penghayatan aman, maka kita memiliki modal untuk berelasi aman dengan orang lain. Seperti apakah relasi yang aman dengan ibu? Beberapa petunjuknya antara lain:

  • Ibu bersikap responsif dengan kebutuhan kita (tidak berlebihan meresponi/over-protective, tetapi juga tidak mengabaikan). Dengan kata lain, ibu selalu berada pada posisi meladeni apapun ekspresi kebutuhan anaknya, dan bukannya menyangkali atau menolaknya. 
  • Ibu menunjukkan usahanya untuk menebus kembali/repairing situasi ketika ia sempat abai dengan kebutuhan anaknya sehingga anak merasa aman untuk melekat kembali dalam pelukan ibu. Misalnya, setelah beberapa waktu tidak berinteraksi dengan anak, ibu secara sengaja menghabiskan waktu untuk bermain, bercanda, memeluk, dan memanjakan/pempering anaknya. Singkatnya, membangun keintiman hubungan dengan anak. 
  • Dalam proses berinteraksi ini, ibu selalu menyelaraskan iramanya (ekspresi wajah dan tubuh, intonasi suara, volume bicara, bahkan derajat antusiasmenya) dengan irama anaknya. 
  • Manakala anak dalam keadaan stressful, ibu dapat hadir secara fisik dan emosi dalam keadaan yang menenangkan (soothing) sehingga mentransfer energi ketenangan itu kepada anaknya. 

Semua bentuk interaksi di awal masa kehidupan ini akan menumbuhkan rasa aman pada diri anak, yang jika terus dipelihara sepanjang masa pertumbuhan akan menjadi kekuatan untuk berelasi aman dengan orang lain. Aman berarti “saya melihat orang lain aman bagi saya, saya juga memperlakukan orang lain dengan aman.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here