“Kapan pandemi Covid-19 ini berakhir?”

Ini pertanyaan semua orang di tahun 2020 dengan harapan 2021 telah kembali aman. Tapi ternyata, kenyataannya tidak demikian. Tahun 2021, pandemi belum berakhir, sekalipun vaksin sudah ditemukan.

Menghadapi pandemi panjang ini. Orang-orang mulai pasrah dengan keadaan. Lelah dengan pertempuran panjang melawan pandemi di tahun yang lalu. Pertanyaan yang sama kembali ditanyakan, “Kapan pandemi Covid-19 ini benar-benar berakhir?

Apa yang sebenarnya membuat pandemi Covid-19 ini begitu menyesakkan? Banyak orang membuat janji untuk bertemu dengan para konselor. Membicarakan tentang keadaan kejiwaan mereka yang rasanya mengalami gangguan. Apakah yang sebenarnya terjadi di tengah kenormalan yang baru ini?

Kesepian

Di dalam hirarki kebutuhan yang diproklamirkan oleh Abraham Maslow, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah Love/Belonging. Kebutuhan untuk bersosial, memiliki pertemanan, tergabung dalam kelompok keluarga, merasa dicintai, penerimaan dalam komunitas serta kehidupan seks yang baik. Ketika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka muncul konsekuensi seperti perasaan kesepian, kecemasan bahkan depresi.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, banyak orang mengaku mengalami kesepian. Inilah yang membuat wacana mental-health dalam beberapa waktu ini menjadi topik hangat untuk dibahas. Tentu hal ini sudah bisa diduga sejak jauh hari. Ketika setiap orang harus hidup dengan menjaga jarak dari orang lain (social/physical distancing) agar tidak terpapar Covid-19. Ini membuka celah besar untuk terbentuknya perasaan kesepian.

Masalah kesepian tentu paling dirasakan oleh mereka yang jauh dari keluarga. Saya mengalaminya sendiri. Sebelum pergi merantau dan sendiri di kota orang, hari-hari saya selalu terasa ramai. Keluarga saya termasuk keluarga yang suka berpesta dan berkumpul. Mungkin karena jumlah kami yang tidak terbilang amat banyak. Apa lagi, ketika keluarga besar memutuskan untuk tinggal bersama di sebuah kompleks perumahan. Amat mudah menjangkau rumah saudara, sepupu, om dan tante. Akibat kedekatan itu, hari-hari kami tiada pernah dilewati tanpa suatu perkumpulan.

Namun, setelah memutuskan untuk merantau di Jakarta. Hari-hari saya menjadi berbeda. Tidak ada orang tua yang terlihat mondar-mandir sibuk di rumah, atau saudara sepupu yang mudah dijumpai. Hanya seorang diri di kamar berukuran 5×5. Apa lagi ketika harus melakukan PSBB dan semua pekerjaan dilakukan dari rumah. Hampir sebulan penuh kaki saya tidak pernah melewati pagar rumah, kecuali sampah di rumah telah memberi sinyal di hidung bahwa ia perlu segera dibuang.

Memang benar PSBB hanya menjauhkan fisik kita dari pertemuan secara langsung. Kita bisa menjumpai orang lain melalui pertemuan online. Namun, harus diakui bahwa ada banyak hal yang tidak bisa terwakili hanya dengan melihat orang lain melalui layar telepon pintar atau laptop kerja. Ada yang kurang. Apakah itu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here