Pernahkah kita merasakan sakit dan tentu saja tidak ingin mengulang rasa sakit yang sama, namun berulangkali kita harus mengalaminya? Di dalam perjalanan hidup kadangkala muncul rasa sakit yang sama berulangkali. Tidak terkecuali dalam pernikahan
Saya mengawali pernikahan dengan sebuah harapan bahwa pernikahan akan menjadi titik mula untuk membangun hidup yang baik, bersama dengan orang yang paling tepat dan ideal.
Meninggalkan orang-orang yang tidak tepat di belakang dan maju melangkah ke depan dengan tepat dan mantap. Menggandeng tangan yang tepat ke arah yang tepat. Biasanya di awal pernikahan, kita melangkah dengan yakin. Seberat apa pun perjuangan yang mungkin harus terjadi. Susah dan senang tak menjadi masalah, asalkan selalu bersamanya.
Seorang mentor yang mengenal saya dan suami mengatakan pada saya, “Kebanyakan orang menikah meski tidak cocok, lalu dengan bersusah payah dan dalam anugerah Tuhan saling mencocokkan diri, makin lama berupaya makin cocok. Tapi kalian berdua memang menikah karena cocok.”
Saya bersyukur atas afirmasi yang beliau katakan. Namun, nyatanya dalam perjalanan pernikahan, saya pun pernah mempertanyakan,” Kalau yang mengawali dengan kecocokan saja ketika berjalan bisa saling melukai dan menghasilkan rasa sakit mendalam, bagaimana dengan yang kurang atau tidak cocok?” Luka yang menghasilkan rasa sakit luar biasa selalu datang dari orang terdekat, bukan?
Semakin lama menikah, saya semakin menyadari tiga hal ini:
Pertama, pernikahan memang tidak dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan
Pernikahan justru dimaksudkan untuk pertumbuhan. Jika sebuah benih tidak rela sobek dan sakit, maka tidak akan muncul tunas darinya. Benih itu tak dapat memenuhi tujuan hidupnya. Bila emas tidak rela dimurnikan, ia hanya akan menjadi serpihan yang kurang bernilai. Pemurnianlah yang membuatnya bernilai.
Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah proses pertumbuhan dan pemurnian, bukan?