“Jelas tidak! Ia melapor pada orangtuanya, lalu melapor pada orangtuaku. Tadinya kukira bisa menyelesaikan masalah ini hanya di antara kami saja, sama seperti orang pacaran yang putus. Tapi, ternyata kenyataannya tidak. Kedua orangtuaku menginterogasiku. Kedua orangtuanya juga datang dan menginterogasiku. Mereka beranggapan aku telah membuang-buang waktu anaknya. Mereka ga mikir apa, kalau sebenarnya aku yang lebih dirugikan dalam hal ini?”

Saya bisa ikut merasakan kekesalannya. Saya paham bagaimana rumitnya keadaan yang ia alami di masa itu.

“Aku ini cewek lho, Fel. Kamu tahu kan cewek yang rugi kalau putus pacaran apalagi putus tunangan. Aku ya sudah mikir, kalau setelah putus belum tentu aku bisa dapat penggantinya. Uang muka yang sudah dibayar ke vendor-vendor juga pasti hangus. Belum lagi malu kalau menghadapi keluarga, yang pasti hubungan kedua keluarga pasti tidak bisa kembali seperti semula. Ya, kan? Tapi, aku tidak bisa memutuskan untuk lanjut.

Hati nuraniku tidak bisa menerima kesalahannya, walau itu terjadi di masa lalunya. Aku merasa jijik setiap melihatnya. Hanya kesalahannya yang terbayang-bayang setiap saat. Aku tidak bisa melihatnya sama seperti dahulu aku melihatnya. Aku tidak bisa mengembalikan perasaan cintaku lagi kepadanya. Jika tetap kulanjutkan, aku tidak akan bahagia, Fel. Pernikahanku pasti berubah menjadi neraka.”

“Iya, aku paham. Jika aku berada di posisimu, aku juga tak akan bisa menerima kenyataan itu. Aku pernah berada di posisi yang kurang lebih sama denganmu, jadi aku paham.”

“Entah berapa lama akhirnya kami bisa memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku merasa sedih karena kedua orangtuaku ternyata memang benar-benar tak mau membela anaknya. Setidaknya, jika memang perasaanku berubah, aku berharap orangtuaku bisa memahaminya dan bertanya apa alasannya.

Jika saja mereka bertanya, mungkin aku bisa memberi tahu alasan sesungguhnya. Sayangnya, mereka tak pernah bertanya. Mereka hanya menyalahkan diriku saja dan menganggap aku anak yang tidak tahu berterima kasih. Padahal mereka sudah keluar uang banyak dan aku tidak menghargai itu.”

Kehidupan Terus Harus Berjalan

“Sekarang bagaimana relasimu dengan orangtuamu?” Tanya saya.

“Mereka masih sering mengungkit masalah itu, jika kami sedang ribut. Tapi sekarang sudah jarang, aku juga sudah tinggal jauh dari mereka. Di sini aku bekerja mati-matian agar kelak bisa mengumpulkan uang dan menikah dengan uang tabunganku sendiri. Mantan tunanganku malah sudah menikah dengan wanita lain. Ironis ya?”

“Wkwkwkk…” Saya tertawa online.

Kisah teman saya ini semoga menjadi sebuah pelajaran, bagi setiap orang yang sedang menggumulkan pasangan hidup. Kenali terlebih dahulu calon pasanganmu, jangan terburu-terburu membuat keputusan untuk menikah. Walau mungkin kita sudah saling mengenal cukup lama, ternyata tak semuanya bisa kita ketahui dari pasangan. Apalagi kita menjalani relasi secara LDR, makin banyak misteri yang tak terungkap dari pasangan.

Jika kalian mengalami seperti yang teman saya alami, ketika masa lalu pasanganmu menjadi beban dalam hubungan kalian, cepat putuskan. Menyeret-nyeret masalah apalagi jika sudah masuk dalam pernikahan, hanya akan menjadi bola salju yang sewaktu-waktu dapat menelan Anda bulat-bulat.

Lalu, bagaimana pendapat saya tentang keputusannya untuk membatalkan pertunangan? Jauh lebih baik membatalkan pertunangan daripada memilih untuk menikah dan bercerai di kemudian hari. Pernikahan seharusnya berdasarkan kemauan diri sendiri, bukan memenuhi harapan orang lain. Termasuk harapan keluarga. Jangan menciptakan neraka bagi kehidupanmu sendiri. Jika memang perlu putus hubungan, ya lakukanlah, sebelum menyesal di kemudian hari.

Sama seperti yang dilakukan teman ini, saya mengagumi keberaniannya untuk membuat keputusan, walau saya yakin tak mudah ia memilih untuk memutuskan relasi pertunangan. Kini hidupnya lebih bahagia dibandingkan dengan sebelumnya.

“Oh ya, satu hal lagi, aku masih penasaran, kok bisa-bisanya ya mantan tunanganmu itu tiba-tiba membuat ‘pengakuan dosa’ seperti itu?” Tanya saya padanya.

“Entahlah! Aku juga tak tahu alasannya. Aku sempat bercerita pada pembina rohaniku, dan ia berkata: itulah kekuatan doa.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here