#2 SPP Anak
Mendadak grup Whatsapp yang beranggotakan para ibu teman sekelas anak saya riuh, pokok bahasannya bukan lagi jadwal arisan tetapi uang SPP anak-anak. Sebagian menyatakan keberatan membayar uang sekolah dan menuntut sekolah memberikan potongan; beberapa bahkan tidak mau membayar. Mereka merasa berat harus tetap membayar SPP dalam kondisi ekonomi yang menurun. Bahkan ada yang merasa pihak sekolah dan guru-guru tidak berupaya maksimal, mungkin malah sedang asyik rujakan di saat anak-anak di rumah mengerjakan tugas yang mereka berikan.
Sebagian lain berusaha berpikir logis dan menyatakan tetap akan membayar. Salah seorang ibu dari kubu ini mengatakan para guru dan karyawan sekolah tentu juga membutuhkan penghidupan. Sumber dana sekolah tentu dari SPP yang dibayarkan orang tua. Tentu opini yang baik pula.
Sejak awal, saya cukup pede membayar SPP. Tak menunggu lama, sehari setelah pihak sekolah menyebar pemberitahuan moda pembayaran dan jumlah yang harus dibayarkan, saya langsung mengirim uang SPP ke rekening pihak sekolah. Sebenarnya bukan karena rajin, tapi takut uangnya terpakai belanja online. Hahahahaha…
Siang itu, entah mengapa kegalauan mengusik saya. Suara mayoritas yang ogah membayar SPP anaknya memaksa saya becermin, benarkah tindakan saya membayarkan SPP? Namun di sudut lain, suara ibu-ibu yang memikirkan kehidupan para guru dan karyawan seakan melawan dan berusaha menarik saya keluar dari kegalauan.
Suami saya hanya terdiam mendengar kegundahan ini saya muntahkan lewat kata-kata. Tanpa sadar saya menutup sesi curhat dan berkata, “Kita bayar aja SPP-nya. Kalau memang harus keluarkan uang tabungan, ini demi pendidikan anak.” Suami saya hanya tersenyum kecut sembari berkata, “Sudah tahu jawabannya masih galau juga?”