“Lebih dari 35 tahun kami menikah, saya baru menyadari bahwa sebenarnya saya dan suami punya banyak ketidakcocokan, justru setelah dia memasuki masa pensiun,” ujar seorang sahabat.
“Mengapa baru tahu sekarang?” tanya saya.
Pernyataannya cukup menyentak saya karena selama saya mengenal sahabat saya dan suaminya selama berbertahun-tahun, hubungan mereka harmonis-harmonis saja. Selama ini saya sering berjumpa dan saling curhat dengan sahabat saya yang usianya lebih tua 20 tahun dari saya itu, dan dalam beberapa kesempatan, di hari Sabtu dan Minggu, saya sempat melihatnya berduaan dengan suaminya di rumah ibadah. Mereka tampak harmonis dan humoris.
Ia tersenyum sambil melanjutkan bahwa sejak menikah ia berprofesi sebagai ibu rumah tangga purnawaktu, sementara suaminya bekerja dari pagi hingga sore hari selama lima hari seminggu. Setiap hari selama lebih dari 35 tahun, pola hidup mereka begitu-begitu saja. Saat bangun pagi, teman saya menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga, lalu suaminya berangkat kerja. Dari pagi hingga sore, ia, sebagai istri dan ibu, sepenuhnya mengatur rumah dan mengasuh anak-anak hingga mereka dewasa. Sore hari, ketika hampir makan malam tiba, suaminya pun tiba di rumah. Saat itu makan malam telah siap dan mereka makan bersama, lalu aktivitas santai bersama.
Selama suaminya bekerja, ia benar-benar memiliki kebebasan menjadi manager atas rumah tangganya. Ia mengatur waktunya sendiri. Kapan harus ke pasar, membersihkan rumah, keluar bertemu dengan komunitas para istri, hang out dengan anak-anak, maupun bermeditasi di rumah.
Namun setelah suaminya pensiun, mereka 24 jam berada di rumah bersama. Saat itu badai mulai melanda jiwa teman saya ini. Suaminya yang terbiasa bekerja dengan bantuan office boy, office girl, sekretaris, dan para staf, kini bolak-balik memanggil dirinya dan minta bantuan ini itu. Mulai dari minta dibuatkan kopi, lalu teh, lalu request snack yang ia mau, minta diambilkan ini itu, minta membersihkan ini itu, dan semua harus cepat sesuai perintah.