Efek pandemi Covid-19 telah dirasakan oleh segala lapisan masyarakat. Karyawan ataupun pengusaha ikut mengalami akibatnya. Ada banyak karyawan yang dirumahkan atau di-PHK, dan tidak sedikit yang mengalami pemotongan gaji. Para pengusaha juga tidak bebas dari dampak corona. Usaha menengah sampai bawah banyak yang tutup alias gulung tikar. Di bidang pendidikan, kegiatan pembelajaran dilakukan dari rumah. Artinya guru-guru tetap melakukan tugasnya meski itu dilakukan dari rumah.
Baru disadari, ternyata banyak orang tua yang kesulitan mengajar anaknya dari rumah. Tidak sedikit teman saya yang protes, karena merasa sudah membayar uang sekolah namun tetap harus disibukkan dengan mengajar anak sendiri. Hal itu diperparah ketika pembayaran SPP di bulan April tidak ada pemotongan. Tentunya, sekolah punya kebijakan dan pertimbangannya sendiri, yang saya tidak mungkin bisa ikut campur.
Namun sebagai pemilik sekolah atau pihak yayasan, saya memiliki pandangan sendiri. Covid-19 ini adalah sebuah musibah. Tidak ada yang menginginkannya, sayangnya ia datang tanpa diundang. Semua orang terkena imbasnya. Mulai dari pimpinan tertinggi sampai karyawan terbawah.
Sejak akhir bulan lalu, sekolah kami telah membuat keputusan untuk melakukan pemotongan SPP sekolah sebesar 15%. Memang tidak besar, tapi kami berharap ini cukup meringankan beban orang tua.
Kami sudah melakukan pemotongan sebelum sekolah lain melakukannya. Saat ini kami sedang mempertimbangkan agar potongannya ditambah lagi bulan depan. Syukurlah, banyak orangtua murid yang menghubungi kami untuk menyampaikan ungkapan terima kasih. Namun, masih ada pula yang berkata, “Potongannya kurang banyak”.
Mengapa sekolah seharusnya melakukan pemotongan SPP? Inilah 6 alasan yang menurut saya patut menjadi latar belakangnya.
1. Ini musibah di mana semua orang terkena imbasnya
Orangtua mengalami efek dari pandemi Covid-19 ini. Jadi, potongan SPP bukan sekadar karena berkurangnya biaya operasional sekolah, tapi lebih mengarah pada rasa kemanusiaan.
Masa sih tetap membiarkan nominal SPP seperti biasanya sedangkan orangtua murid “megap-megap” untuk membayarnya. Kalaupun keluarga memiliki dana cadangan, uang itu seharusnya diprioritaskan untuk makan.
2. Sekolah itu tidak seharusnya berbicara tentang keuntungan di depan
Sekolah harus mengedepankan pendidikan, kemanusiaan, pengabdian, karakter, dan masih banyak hal baik lainnya. Walaupun tidak bisa mengabaikan keuntungan, karena tentu sekolah memerlukannya untuk survive melalui keuntungan yang diperoleh.
Jika fokus pada pengabdian, kemanusiaan, karakter, termasuk keuntungan harus diambil dari sekolah, maka keuntungan harus bisa “dikorbankan” lebih dahulu. Jangan mempertahankannya dan malah kehilangan yang lainnya.
Bagi saya keuntungan harus ada di titik terakhir untuk dipertahankan dan titik terdepan jika harus dikorbankan.
3. Sekolah harus mau “rugi”. Kami sendiri para pengurus mengalami pukulan yang sangat besar
Semua orang harus mau menanggung risiko ini bersama. Jangan biarkan orang tua menghadapi sendirian. Mari kita tanggung bersama-sama.