Sejak diberlakukannya Social Distancing, segala sesuatu mengalami perubahan. Pembatalan dan peniadaan kegiatan harus terjadi. Dari acara penting hingga sekedar kongkow pun mesti hati-hati, bahkan dihindari.
Saya sendiri tidak jadi menghadiri beberapa acara karena dibatalkan. Ya, imbas virus ini memang begitu dahsyat, hingga sejumlah negara terpaksa melakukan lockdown.
Kepanikan pun muncul yang dibarengi oleh pembelian barang-barang dalam jumlah banyak oleh sebagian orang. Memborong bahan makanan, obat-abatan tradisional dan antiseptik menjadi pemandangan lumrah, baik di pasar maupun supermarket.
Ketakutan itu merambat hingga memunculkan pelbagai aturan baru, mulai dari meniadakan sementara pertemuan yang melibatkan banyak orang, seperti seminar, pelatihan, reuni, ibadah dan lain sebagainya. Salam jabat tangan pun harus diganti dengan salam model lain guna menghindari kontak secara langsung.
Di sisi lain muncul orang-orang yang mendadak tahu tentang per-jamu-an tradisional, tahu bagaimana menjaga kesehatan tubuh, sangat peduli dengan kebersihan, serta memproteksi diri dari segala bentuk kuman. Pokoknya kesadaran akan kesehatan mendadak meningkat drastis.
Meliburkan semua sekolah dalam jangka waktu tertentu adalah salah satu kebijakan yang dibuat pemerintah. Tujuannya jelas, yaitu agar bisa menghentikan penyebaran virus corona tersebut. Siswa diharapkan belajar di rumah dan mengisolasi diri. Namun, bagi sebagian orang tua maupun siswa, libur ini malah dimanfaatkan untuk bepergian. Bagi siswa, mendengar kata ‘libur’ merupakan hal yang menyenangkan, tak peduli alasan di balik semua itu.
Lantas bagaimana seharusnya sikap kita terhadap gelombang ancaman virus ini? Dua hal ini patut dilakukan.
Boleh rasional tapi jangan membabi buta
Perasaan takut dan panik akan mengubah sifat dan perilaku seseorang. Dari hal yang sebenarnya gampang akan menjadi sulit. Kepercayaan diri menjadi luntur, pengetahuan tiba-tiba undur dari pikiran kita, dan sebagainya.