Sebuah foto di Facebook membuat hati saya terkesiap. Kok ada sih orang setega ini terhadap seekor anjing betina yang lagi menyusui anak-anaknya?
Demi anak-anaknya, ibu anjing itu tetap berdiri dengan mengabaikan rasa perih di kepalanya. Bagaimana dengan kehidupan nyata? Ternyata banyak ibu-ibu yang terluka tetapi mencoba untuk tetap bertahan di dalam rumah tangganya.

“Apa yang membuat Anda tetap tegar dan tabah walau terluka sedemikian parah?”
Pertanyaan saya kepada seorang ibu di Singapura yang curhat kepada saya. Curhat itu saya tulis di “Saya Tidak Merasakan Ada Pahlawan di Rumah Kami”: Pengakuan Seorang Istri. Sebuah Refleksi tentang Relasi di Hari Pahlawan.”
Dalam percakapan lebih lanjut, saya mendapatkan jawaban ini. Ada beberapa fase yang membuat ibu tangguh itu dapat bertahan:
Fase 1: Waktu anak-anak masih kecil, kalau dibilang sudah tidak tahan, sebenarnya saat itu saya juga sudah tidak tahan karena sangat sering bertengkar.
Sumber pertengkaran kami seputar suami yang sering keluar kota tanpa terlebih dahulu memberitahu saya. Soal mertua yang selalu menurut suami kurang saya perhatikan. Karakter kami yang sama-sama keras dan tidak mau mengalah. Waktu bertengkar suami sering meninggalkan saya minum sampai mabuk. Dia tahu saya paling tidak suka dia minum, tapi justru itu yang dia lakukan. Dia malah dengan sengaja pergi ke luar kota atau luar negeri tanpa mau menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kami.
Waktu itu saya sering merasa sakit hati, sampai pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi saya tahu Tuhan sangat tahu saya sangat cinta anak-anak kecil dari dulu, sehingga setiap kali pikiran buruk itu menghampiri saya saya teringat anak-anak saya. Kalau saya mati siapa yang akan merawat mereka? Saya nggak tega melihat mereka diasuh orang lain. Itulah sebabnya saya bertahan pada masa itu.