Seorang remaja putri datang kepada saya. Begitu saya tanya, “Mengapa?” air mata langsung mengalir tak henti-hentinya. Sesi konseling terpaksa saya hentikan sejenak. Saya biarkan dia menangis sejadi-jadinya. Saya sodorkan segelas air putih dan tempat tisu.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini meneruskan tangisnya. Dia berusaha untuk berhenti, tetapi tidak bisa.
“Teruskan Cin, nggak apa-apa saya tunggu,” ujar saya.
Saya sudah ditolak sejak dalam kandungan
Setelah bisa mengatur nafasnya yang sedikit tersengal, gadis mungil berkacamata ini mengeluarkan semua unek-uneknya.
Meskipun dilahirkan dari keluarga berada, dia hampir tidak mendapat sentuhan kasih sayang.
“Papa menginginkan anak lak-laki. Kedua kakak saya perempuan. Jadi waktu Mama hamil saya, Papa sangat berharap agar anak ketiga ini laki-laki. Begitu tahu hasil USG bahwa anak ketiganya perempuan, dia tidak lagi peduli sama Mama,” sambungnya.
Sejak itu gadis—maaf—kurus ini, mengalami penolakan demi penolakan. “Saya sudah ditolak sejak dalam kandungan,” ceritanya, “apalagi setelah saya dilahirkan.”
Sang ayah sengaja pergi keluar negeri untuk bermain golf saat istrinya melahirkan. Alasannya karena diundang klien besar.
“‘Toh hasilnya juga untuk kalian semua,’ ujar Papa kepada Mama seperti yang Mama ceritakan kepada saya.”
Rupanya itu hanya basa-basi.
Sejak itu ayah Cin—sebut saja begitu—makin berubah. Diam-diam dia memiliki simpanan.
Saat simpanannya memberikan anak laki-laki, hidup Cin sekeluarga jadi ditelantarkan. Ayahnya lebih senang berada di rumah gundiknya ketimbang bersama istri sahnya.
Baca Juga: Kunci Utama Menghindari Perselingkuhan Justru yang Paling Sering Disalahgunakan