Saya beruntung mendapat tiket gratis untuk menonton film Bumi Manusia dalam pemutaran gala premiere di Surabaya 9 Agustus 2019 kemarin. Pemutaran secara serentak baru dilaksanakan tanggal 15 Agustus nanti.

Film ini memang pas untuk menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebelum diputar, penonton diminta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Sebelum menonton saya sudah antusias karena tiga hal.

Pertama, penulis bukunya adalah Pramoedya Ananta Toer yang legendaris dengan pemikiran yang super kritis. Buku-bukunya bukan saja menyentak melainkan mengentak nurani dan daya pikir kritis.

Kedua, sutradaranya Hanung Bramantyo yang bertangan dingin dalam menggarap film-film bermutu tinggi. Di tangannya film Indonesia menjadi tontonan yang memikat.

Ketiga, pemainnya, Iqbaal Ramadhan. Aktor Dilan 1990 ini semula diragukan apakah bisa memerankan Minke dengan baik mengingat peran kedua film itu berbeda: di Dilan, sebagai anak mbeling zaman now, sedangkan di Bumi Manusia sebagai anak bupati yang belajar di sekolah elit HBS.

Rasa penasaran saya terbayar lunas dan puas.

Film yang semula hendak diputar pukul 19.00 itu molor sampai pukul 20.30 karena menantikan rombongan artis dan kru film.

Tepat saat mobil saya memasuki parkir Surabaya Town Square, sekitar 5 bus besar memasuki area parkirnya. Saya harus menunggu beberapa menit untuk masuk ke parkiran.

Begitu menginjak Sutos, karpet merah terbentang dan di wilayah terbuka ada panggung besar tempat konferensi pers berlangsung. Tampak Mawar Eva de Jongh dan Iqbaal Ramadhan mengapit Sha Ine Febrianti menapaki karpet merah disambut ‘pager ayu’ berpakaian tradisional.

Gala Premiere Bumi Manusia di Surabaya Town Square – Photo credit: Instagram @falconpictures_

Saya tidak membaca bahwa dress code untuk menonton film ini batik, tetapi karena hari Jumat, saya sengaja memakai pakaian kebanggaan Indonesia ini.

“Wah, kok pakai batik?” protes istri saya yang mendampingi saya menonton bersama Muhammad Yusuf, seorang sahabat karib saya. Kami memang nonton bertiga karena kedua anak saya ada keperluan masing-masing.

Sepanjang film, kami bertiga disuguhi adegan, dialog, dan setting yang memukau, yaitu Jawa Timur pada zaman dahoeloe. Kami seakan dibawa melalui lorong waktu ke zaman penjajahan Belanda saat kami bertiga belum lahir.

Apa yang kami petik dari film ciamik ini?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here