Kisahku bermula 12 tahun lalu, saat aku berkenalan dengan seorang wanita, Amai namanya.

Kami berpacaran selama tiga tahun. Tiada hari berlalu tanpa saling berbicara lewat telepon atau sekadar berkirim pesan singkat. Jangan sampai HP tertinggal atau habis baterai, salah satu di antara kami pasti akan marah besar. Entah Amai atau aku …

Amai berikan semua untukku. Ia pernah memberiku parfum, sapu tangan, sisir kecil. Kala itu aku memang orang yang tidak memperhatikan penampilan sendiri.

Bahkan semasa pacaran pun ia rela memberikan satu hal yang amat berharga dalam hidupnya untukku. Semua ia lakukan karena tak ingin kehilangan diriku.

Januari 2008 kami menikah. Sebuah pernikahan yang sederhana, hanya dihadiri keluarga dan beberapa tetangga.

Sebenarnya Mamah, ibuku, keberatan dengan pernikahan di bulan Januari itu. Beliau berharap kami menikah di bulan Juli. Namun, orangtua Amai berkeras menyegerakan, mengingat hubunganku dengan Amai yang kian lekat. 

Kehidupan pernikahan kami cukup bahagia, meski di awal sempat ada masalah antara Amai dan Mamah, lantaran rencana pernikahan yang tak sesuai harapan.

Saat kami mengabarkan berita gembira akan hadirnya anak dalam pernikahan kami, Mamah tidak menunjukkan ekspresi bahagia. Mungkin karena Mamah memandangku masih belum mapan. 

Anak pertama kami lahir di bulan November, selisih seminggu dengan ulang tahun Amai. Kembali, tanggapan datar yang kudapatkan ketika menyampaikan kabar bahagia ini ke keluargaku. 

Amai melahirkan anak kami lewat operasi caesar. Sebagian besar biaya persalinan kala ituditanggung keluarga Amai. Keluargaku hanya membantu sedikit. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here