Dea mampu mengusung sebuah pemahaman baru, bahwa bisnis akan menjadi lebih bermakna jika disertai dengan tujuan. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan Dea adalah memberdayakan kaum difabel menjadi manusia yang mandiri.
“Pernah saat piknik bersama, ada salah satu orang (normal secara fisik) yang masih muda mengemis di keramaian. Raut wajah orang muda itu menjadi beda, ketika melihat salah satu karyawan “Batik Kultur” (yang difabel) memberikan uang kepadanya,” kata Dea.
Dea tidak hanya mengasah keterampilan kaum difabel, tetapi juga menyalakan pelita pengharapan dalam diri setiap karyawannya, bahwa mereka mampu menjadi manusia yang berdampak di tengah keterbatasan fisik.
3. Matematika Tuhan Tidak Pernah Salah
Melesat dengan brand “Batik Kultur” tidak lantas membuat perempuan berusia 25 tahun ini jemawa. Saat berkesempatan mengunjungi workshop “Batik Kultur”, saya melihat betapa Dea memiliki kedekatan alami dengan karyawannya.
Dea memperhatikan kebutuhan karyawannya dengan mendalam. Saya pernah melihat ada sebuah kursi yang di-custom khusus bagi seorang karyawannya yang menderita polio, agar beliau menjadi makin produktif bekerja. Dalam satu periode tertentu, ia mengadakan acara kebersamaan dengan karyawan hingga ke luar provinsi.
Dea mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari ayahnya, untuk berkeyakinan bahwa matematika ala Tuhan tidak pernah keliru.
Saat terdorong melakukan suatu hal dengan tulus, pada waktu yang tepat, akan kembali sesuai dengan kasih dan kemurahan Pencipta.
Hal itu terbukti dengan brand usaha yang semakin dikenal dan meningkat tahun demi tahun. Bahkan Dea baru saja membuka cabang di Jakarta. Nah, semoga tiga hal tersebut bisa memacu kita untuk menjadi generasi muda yang berdampak dan memberkati sesama.
Baca Juga:
Karena Bekerja Bukan Cuma Perkara Hasilnya Berapa