Siapa bilang bahwa belanja itu hanya bikin kantong bolong? Jika dilakukan dengan cermat, pernyataan tersebut tidak selalu benar. Konsumen yang berbelanja barang tertentu memang harus mengeluarkan sejumlah uang sebagai ganti barang, tetapi ternyata ada juga value lain yang bisa didapatkan.
Hal ini saya alami saat memutuskan berbelanja baju batik keluaran brand lokal asal Semarang, yaitu “Batik Kultur”. Brand ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain desainnya yang bagus, owner-nya pun memiliki pesona tersendiri.
Dea Valencia, sang pendiri “Batik Kultur”, adalah anak muda yang cukup menginspirasi. Bahkan pemenang Kick Andy Young Heroes 2017 ini layak dipandang sebagai role model generasi masa kini.
Apa saja pembelajaran dari gadis yang masuk dalam daftar anak muda berprestasi (under 30) versi majalah Forbes Indonesia ini? Setidaknya ada tiga hal yang saya cermati:
1. Hobi Tidak Menjadi Cost Berlebihan
Meskipun lahir dari orangtua yang berkecukupan, Dea selalu berusaha untuk memiliki sesuatu dengan hasil keringat sendiri. Siapa sangka, awal berdirinya “Batik Kultur” bermula dari keinginannya yang tidak terpenuhi?
Saat itu, Dea ingin sekali membeli batik kuno yang dibanderol dengan harga tinggi. Karena tidak memiliki cukup uang, akhirnya Dea memutar otak untuk menghasilkan sesuatu. Batik lawasan koleksinya yang sudah agak rusak mulai digunting dengan hati-hati, untuk didesain menjadi baju yang unik dan menarik.
Bagi gadis yang memang memiliki ketertarikan tinggi terhadap dunia fashion ini, sangat penting mengelola hobi menjadi sesuatu yang menghasilkan, bukan sekedar mengosongkan kantong semata. Setuju, fRRiends?
2. BUSINESS = Mission with a Purpose
Keunikan lain dari “Batik Kultur” adalah adanya pemberdayaan kaum difabel. Hampir sebagian besar karyawan “Batik Kultur” adalah orang yang memiliki cacat tubuh. Sungguh hal yang tidak biasa, tetapi jelas menuai respek.